Friday, 7 August 2020

Hadits Dhaif (Makalah Ulumul Hadits)


MAKALAH

A.    Pengertian Hadits Dha’if

Hadits dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dha’id berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dha’if ini karena sanad  dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujah. Dalam istilah hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung(muttashil), para perawinya tidak adil dan tidakdhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illah) pada sanad dan matan.[1]

Dari sini kemudian, kita perlu mengetahui sebab-sebab kedho’ifan hadits. Tidak semua hadits dha’if berarti tertolak sama sekali. Ada beberapa hadits dho’if yang masih dapat terangkat kualitasnya dan dapat meningkat statusnya.

Hadits yang dikatakan dha’if oleh para ulama, sebenarnya tidak selalu bermakna tertolak. Ada hadits dha’if yang masih bisa diamalkan.[2]

Dengan kaidah ini, sesungguhnya suatu hadits itu dianggap dha’if, selama belum dapat dibuktikan keshahihan atau kehasanannya. Sebab, yang diharuskan disini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah Hadits shahih dan Hadits Hasan, serta bukan hadits dha’if. Tetapi, Ulama hadits dalam membicarakan kualitas hadits sudah berusaha menjelaskan letak kedha’ifannya.[3]



B.     Contoh Hadits Dha’if

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:

مَنْ َأتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً مِنْ دُبُرٍ أًوْ كَاهِناً فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Artinya:”Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Contoh hadits dha’if yang lain:

كُنْ عَالِمًا اَوْ مُتَعَلِّمًا اَوْ مُسْتَمِعًا اَوْ مُحِبًا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتُهْلِكَ

Artinya:”Jadilahengkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkanilmuatau yang mencintaiilmu. Dan janganlahengkaumenjadi orang yang kelimamakakamuakancelaka.[4]

Dalamsanaddiatasterdapatseorangdha’ifyaitu Hakim Al-Atstram yang dinilaidha’ifolehparaulama.[5]

Kedha’ifan suatu hadits dapat dinilai dari sanad dan dapat pula dinilai dari segi matannya. Apabila di dalam sanadnya terdapat orang yang dipandang dha’if oleh sebagian ulama hadits, sedang ulama lainnya menilai sebagian periwayat yang kuat maka hadits demikian dinamakan hadits mudha’af (hadits yang diperselisihkan kuat atau lemahnya). Ulama yang mula-mula memakai hadits mudha’af ini ialah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, sedangkan Muhammad Ajjaj Al-Khatib menilai hadits mudha’af ini hadits yang paling tinggi nilainya di antara jajaran hadits-hadits dha’if.[6]Dan setelah itu, hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat saja dan periwayat tersebut dituduh dusta atau tertuduh berbuat maksiat atau banyak pelupa dan lain sebagainya, maka hadits demikian dinamakan hadits matruk (hadits yang salah satu periwayat yang tertuduh dusta), demikian pula dengan hadits mathruh.

Suatu hadits dimungkinkan menjadi dha’if kualitasnya apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

1.       Periwayatnya seorang pendusta

2.       Atau tertuduh dusta

3.       Banyak membuat kekeliruan

4.       Suka pelupa

5.       Suka maksiat dan fasik

6.       Banyak angan-angan

7.       Menyalahi periwayat kepercayaan

8.       Periwayatnya tidak dikenal

9.       Penganut bid’ah dibidang aqidah

10.    Tidak baik hafalannya[7]



C.    Hukum Periwayatan Hadits Dha’if

Hadits dha’if tidak identik dengan hadits maudhu’ (haditspalsu). Diantara hadits dha’if  terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi ia adil dan jujur. Sedang hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para  ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dha’if sekalaipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu:

1.     Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.

2.     Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’izhah, targhib watarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadits dha’if, jika tanpa sanad sebaiknya menggunakan bentuk kata aktif (mabnima’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapai cukup menggunakan bentuk pasif (mabnimajhul) yang meragukan (tamridh).



D.    Pengamalan Hadits Dha’if

Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadits dha’if. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat:

1.   Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya Bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan IbnuHazam.

2.   Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak dalam keutamaan amal atau dalam masalah hukum, pendapat abu dawud dan imam ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dha’if lebihkuat dari pada pendapat para ulama.

3.   Hadits dha’if dapat diamalkan dalam  fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:

a.   Tidak terlaludha’if, seperti di antara perawinya pendusta (hadits mawdu’) atau dituduh dusta (hadis tmatruk) orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (haditsmunkar).

b.   Masuk dalam kategori hadits yang diamalkan, seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajih (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

c.   Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.[8]

Mayoritas ulama yang mengamalkan hadits dha’if baik yang menerima secara mutlak maupun yang menentukan berbagai syarat untuk fadhail al-a’mal (keutamaan suatu amaliyah), targhib (kabar gembira) dan tarhib (suatu ancaman) umumnya berdasarkan pada suatu pendapat dari Ahmad Ibn Hambal yang mana bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat untuk fadhail dan yang sejenisnya maka akan kami peringan.

Selain itu mereka juga berpendapat, bagaimana dha’ifnya suatu hadits dalam masalah tertentu, maka itulah yang terkuat selama tidak ada hadits shahih lainnya yang mengingkari dalam masalah itu, juga bagaimanapun lemahnya suatu hadits akan dapat kemungkinannya dinisbatkan kepada Nabi, lain halnya dengan hasil ijtihat seseorang yang tidak akan dapat dinisbatkan kepada Nabi.

Sementara itu ulama yang menolak mengamalkan hadits dha’if berpendapat, bahwa hadits dha’if yang dimaksud Ibn Hanbal itu adalah hadits yang berstatus hasan. Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim menafsirkan ucapan Ahmad Ibn Hanbal tentang pengamalan hadits dha’if itu maksudnya adalah hadits hasan seperti klasifikasi hadits menurut Imam Tirmidzi.

Inti dari perbedaan pendapat ituadalah sikap kehati-hatian dalam pengamalan ibadah, apakah benar-benar bersumber dari Rasulullah ataukah tidak. Jalan pemecahannya, hendaknya kita berusaha mengamalkan hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, meskipun statusnya dha’if.[9]



E.     TingkatanDha’if

Sebagai salah satu syarat hadits dha’if yang dapat diamalkan adalah tidak terlalu dha’if atau tidak terlalu buruk kedha’ifannya. Hadits yang terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapatdiamalkan sekalipun dalam  fadhail al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dha’if yang terburuk adalah mawdu’, matruk, munkar, mu’alal, mudraj, maqlub, kemudianmudhtharib.



F.     Kitab-Kitab Hadits Dha’if

Diantarakitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadits dha’if adalah:

1.   Al-Marasil, karya Abu Dawud.

2.   Al-I’lal, karya Ad-Daruquthni.

3.   Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al i’tidal karya Adz-Dzahabi.[10]




[1]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 164
[2]Zeid B. Smeer, Pengantar Study Hadits Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 36
[3]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung: Angkasa, tt), h.183
[4]Zeid B. Smeer, Op.Cit, h. 38
[5]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 164
[6]M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 275-277
[7]Loc.Cit, h. 275-276
[8]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 165-166
[9]M. Alfatih Suryadilaga dkk,Op.Cit,  h. 281-282
[10]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 163-167

Hadits Shahih (Makalah Ulumul Hadits)


MAKALAH
 


A.    PENGERTIAN HADITS SHAHIH

            Hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak cacat (illat).[1]

            Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan bathil. Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam menerimanya.[2]

            Dalam definisi lain, hadits shahih adalah ;

Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal [3]



B.  SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH

               Dari definisi hadits shahih di atas, mengandung lima syarat yang harus dimiliki oleh suatu hadits agar dapat dinilai sebagai hadits shahih, yaitu :

1.   Rawinya Harus Adil

     Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang berlebihan.[4]

Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil adalah :

  • Beragama islam
  • Berstatus mukallaf
  • Melaksanakan ketentuan agama
  • Memelihara muruah (harga diri)

2.   Rawinya Bersifat Dhabit

      Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.[5] Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.

            Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu berdaar pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqat.

3.   Sanadnya Bersambung

            Sanadnya bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung  bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.

Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :

·      Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)

·      Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[7]

4.   Tidak Ber-illat

            Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih.[8]

5.   Tidak Janggal (Syadz)

            Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[9]

            Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.



C.  KLASIFIKASI HADITS SHAHIH

            Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih al-dzatih dan  shahih li ghairih, berikut penjelasannya :

1.     Hadits  Shahih Al-Dzatih

Merupakan hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan kedua, maka hadits tersebut dinamakan hadits hasan.

2.     Hadits Shahih Li Ghairih

Merupakan hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits li ghairih. Dengan demikian      shahih li ghairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih.[10]



D.  MARTABAT HADITS SHAHIH

            Mengingat bahwa mengetahui hadits shahih pada sumber-sumber khusus yang memuat hadits shahih begitu penting, maka para ulama membagi hadits shahih menjadi beberapa tingkatan.
Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya adalah yang bersanad ashatul asa’id. Kemudian beturut-turut sebagai berikut :

1.     Hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim

2.     Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari sendiri

3.     Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri

4.     Hadits yang diriwayatkan oleh rawi lain yang sejalan dengan syarat  Al-Bukhari dan Muslim

5.     Hadits shahih menurut syarat selain Al-Bukhari dan Muslim, maksudnya bahwa pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau guru-guru, seperti Al-Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan.[11] Akan tetapi hadits yang ditakhrijkan tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits, seperti hadits Ibnu Khuzauimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Al-Hakim.

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai Ashahhul A’sanid. sebagian mengatakan, sebagai berikut :

1.     Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.

2.     Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.

3.     Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).



E.  KARYA-KARYA YANG HANYA MEMUAT HADITS SHAHIH

                 Ada beberapa kitab yang akan saya paparkan dalam makalah ini, antara lain :

a.      Shahih Al-Bukhari

Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian). Beliau lahir pada  194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa yang sama pada 256 H. 

Dalam menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud mengungkap fiqh hadits shahih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang berfaidah. Beliau juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh karena itu, kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad. Al-Bukhari banyak mengulang-ulang hadits di beberapa tempat dalam kitabnya yang ada hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadits tersebut.[12]

b.     Shahih Muslim

Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota yang sama  pada 261 H. Beliau adalah seorang imam agung dan disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan Al-Bukhari.

Kitab Musnal Al-Shahih dan disebut pula Al-Jami Al-Shahih disusun dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shahihnya. Perbedaan metode penyusunan kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadits, melainkan ia bermaksud untukmengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.[13]

c.      Shahih Ibnu Khuzaimah.

            Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti, sehingga dalam menshahihkan suatu hadits beliau menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.[14]

d.     Shahih Ibnu Hibban

            Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu Khuzaimah. Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab ini disusun dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak berdasarkan musnad, dan sulit untuk di ungkapkan.

            Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan bab oleh Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan diberi nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban.

            Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban iniberisi hadits shahih menurut para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadits mereka, disebabkan mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan menshahihkan suatu hadits.[15]

e.      Al – Muktharah

            Kitab ini disusun oleh Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama kitab ini disebut Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah Mimma Laisa fi Shahihain au Ahaditsina. Kitab ini hanya memuat hadits yang dapat dipakai sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh haditsnya shahih.[16] Kitab ini disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan bukan berdasarkan bab.



F.   PERMASALAHAN HADITS SHAHIH

Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabithnya berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.

Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka haditst itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.

Adapun derajat haditst hasan sama dengan haditst shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah haditst shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul) berpendapat bahwa haditst hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.

Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang menyatakan bahwa haditst hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis haditst yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits shahih.




[1] Drs.Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2.,PT.Remaja Rosdakarya,.h.2
[2] Ibid,.h.132 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum Hadits.Pustaka Setia,.h.141
[3] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h141
[4] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[5] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[6] ‘Itr.Op.Cit,.h.2 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143
[7] Ismail.,Op.Cit,.h.128 dalam Ibid,.Op.Cit,.h.13
[8] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.4
[9] Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah.Bandung : Mimbar pustaka,.h.140
[10] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h.144
[11] Ibid,.Op.Cit,.h.145
[12] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.143
[13] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.145
[14] Ibid,.Op.Cit,.h.146
[15] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.20
[16] Ibid,.Op.Cit,.h.146-147