MAKALAH
A.
PENGERTIAN
HADITS SHAHIH
Hadits
shahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar
berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya
oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung
sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga)
adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
cacat (illat).[1]
Shahih menurut lughat
adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan bathil.
Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir
pada Rasulallah SAW, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat
yang menyebabkan cacat dalam menerimanya.[2]
Dalam definisi lain, hadits shahih adalah
;
“Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal ”[3]
B. SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH
Dari definisi hadits shahih
di atas, mengandung lima syarat yang harus dimiliki oleh suatu hadits agar
dapat dinilai sebagai hadits shahih, yaitu :
1. Rawinya Harus Adil
Keadilan rawi merupakan faktor
penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah
tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa
kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri),
seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan
bergurau yang berlebihan.[4]
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil
adalah :
- Beragama islam
- Berstatus mukallaf
- Melaksanakan ketentuan agama
- Memelihara muruah (harga diri)
2. Rawinya Bersifat Dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat
menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat
ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya kembali.[5] Persyaratan ini menghendaki agar seorang
perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima
hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan
kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu
shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu berdaar pada buku
catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan rawi yang adil sekaligus
dhabit, maka ia disebut tsiqat.
3. Sanadnya Bersambung
Sanadnya
bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya
sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits
dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang
rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung,
apabila :
· Seluruh rawi dalam sanad
itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
· Antara masing-masinng rawi
dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa
ada al-hadits.[7]
4. Tidak Ber-illat
Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari
cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang
membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya
cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang
shahih.[8]
5. Tidak Janggal (Syadz)
Syadz adalah suatu kondisi dimana
seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi
ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih
kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan
ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[9]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits
itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para
muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi
yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat
kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat
ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian
tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.
C. KLASIFIKASI HADITS SHAHIH
Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih
al-dzatih dan shahih li ghairih, berikut penjelasannya :
1. Hadits Shahih Al-Dzatih
Merupakan hadits shahih
yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada pada tingkatan
pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi
syarat di atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan kedua, maka
hadits tersebut dinamakan hadits hasan.
2. Hadits Shahih Li Ghairih
Merupakan hadits shahih
yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang
tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits
tersebut menjadi hadits li ghairih. Dengan demikian
shahih li ghairih adalah hadits yang
keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara
maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa
naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih.[10]
D. MARTABAT HADITS SHAHIH
Mengingat bahwa mengetahui hadits shahih pada sumber-sumber
khusus yang memuat hadits shahih begitu penting, maka para ulama membagi hadits
shahih menjadi beberapa tingkatan.
Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya
adalah yang bersanad ashatul asa’id. Kemudian beturut-turut sebagai berikut :
1. Hadits yang disepakati oleh
Al-Bukhari dan Muslim
2. Hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari sendiri
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
4. Hadits yang diriwayatkan
oleh rawi lain yang sejalan dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim
5. Hadits shahih menurut
syarat selain Al-Bukhari dan Muslim, maksudnya bahwa pentakhrij tidak mengambil
hadits dari rawi-rawi atau guru-guru, seperti Al-Bukhari dan Muslim, yang telah
beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan.[11] Akan tetapi hadits yang
ditakhrijkan tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits, seperti hadits Ibnu
Khuzauimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Al-Hakim.
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’
mengenai Ashahhul A’sanid. sebagian mengatakan, sebagai berikut :
1. Riwayat ibn syibah
az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.
2. Sebagian lain mengatakan,
ashahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari
‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3.
Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid
adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar.
Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang
meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama
yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung
menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari
imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz-
dzahab (rantai emas).
E. KARYA-KARYA YANG HANYA MEMUAT HADITS SHAHIH
Ada beberapa
kitab yang akan saya paparkan dalam makalah ini, antara lain :
a.
Shahih
Al-Bukhari
Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat
perwalian). Beliau lahir pada 194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara
dan wafat di desa yang sama pada 256 H.
Dalam menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud
mengungkap fiqh hadits shahih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang
berfaidah. Beliau
juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh karena itu,
kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad. Al-Bukhari
banyak mengulang-ulang hadits di beberapa tempat dalam kitabnya yang ada
hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadits tersebut.[12]
b. Shahih Muslim
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi.
Beliau lahir di kota Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota yang sama pada
261 H. Beliau adalah seorang imam agung dan disegani. Beliau sangat antusias
terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau cukup lama berguru kepada dan
senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh karenanya beliau menghindari
orang-orang yang berselisih pendapat dengan Al-Bukhari.
Kitab Musnal Al-Shahih dan disebut pula Al-Jami Al-Shahih disusun
dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam
menyusunnya kitab shahihnya. Perbedaan metode penyusunan kitab ini adalah bahwa
Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadits, melainkan ia bermaksud
untukmengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena
beliau meriwayatkan setiap hadits dengan di tempat yang paling sesuai, serta
menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan
Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap
tempat ia sebutkan lagi sanadnya.[13]
c.
Shahih Ibnu Khuzaimah.
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin besar Abu
Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau
dikenal sangat teliti, sehingga dalam menshahihkan suatu hadits beliau
menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.[14]
d. Shahih Ibnu Hibban
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin Al-Hafizh Abu
Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu Khuzaimah. Beliau
memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab ini disusun dengan
sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak berdasarkan musnad,
dan sulit untuk di ungkapkan.
Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan bab oleh
Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan diberi
nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban.
Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
iniberisi hadits shahih menurut para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak
sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadits mereka,
disebabkan mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan
menshahihkan suatu hadits.[15]
e.
Al
– Muktharah
Kitab ini disusun oleh Hafizh
Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat
Al-Musthathafah, nama kitab ini disebut Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah
Mimma Laisa fi Shahihain au Ahaditsina. Kitab ini hanya memuat hadits yang
dapat dipakai sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh haditsnya shahih.[16] Kitab ini disusun
berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan bukan
berdasarkan bab.
F.
PERMASALAHAN HADITS SHAHIH
Untuk
mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari
beberapa syarat yang yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam
syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis
tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah
hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam
kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabithnya
berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka
dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi.
Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan
satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang
pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk
hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi.
Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka haditst itu akan naik
derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat
menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh
beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut
adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun
derajat haditst hasan sama dengan haditst shahih dalam segi kehujjahannya,
sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah haditst shahih. Oleh karena itu
mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul)
berpendapat bahwa haditst hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh
mengamalkannya.
Pendapat
berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang
menyatakan bahwa haditst hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah.
Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban,
Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis haditst yang bisa
dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits shahih.
[1] Drs.Mujiyo.Ulum
Al-Hadits 2.,PT.Remaja Rosdakarya,.h.2
[2] Ibid,.h.132 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulum Hadits.Pustaka Setia,.h.141
[3] M.Solahudin
dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h141
[4] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[5] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[6] ‘Itr.Op.Cit,.h.2
dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143
[7] Ismail.,Op.Cit,.h.128 dalam Ibid,.Op.Cit,.h.13
[8] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.4
[9] Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah
dan Diriyah.Bandung : Mimbar pustaka,.h.140
[10] M.Solahudin
dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h.144
[11] Ibid,.Op.Cit,.h.145
[12] Endang
Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.143
[13] Endang
Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.145
[14] Ibid,.Op.Cit,.h.146
[15] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.20
[16] Ibid,.Op.Cit,.h.146-147
1 comment:
poker online dengan pelayanan CS yang baik dan ramah hanya di AJOQQ :D
ayo di kunjungi agen AJOQQ :D
WA;+855969190856
Post a Comment