Thursday, 6 August 2020

Syarat, Etika dan Ilmu Mufassir (Makalah Ulumul Qur'an/ Tafsir)

   
MAKALAH
 
     A.  Syarat-syarat Mufassir
Menafsirkan al-Qur'an merupakan amanah yang berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah tersebbut. Siapa saja yang ingin menefsirkan al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratn ini merupakan suatau hal yang wajar dalam semua bidang ilmu, demikian juga halnya dengan tafsir al-Qur’an, syarat yang ketet mutlak diperlukan agar tidak terjadi ksalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Sebelum mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir maka terlebih dahulu kami paparkan arti kata syarat dan mufassir itu sendiri.
Syarat secara kebahasaan, dalam bahasa arab asy-syarthu yang artinya adalah janji atau suatu yang dimustikan[1]. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, syarat adalah tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi, segala sesuatu yang perlu atau haraus ada[2]. Sedangkan Mufassir menurut Husain bin Ali bin Husain Al-Harby adalah sebagai berikut. “Mufassir adalah orang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta’ala dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat menegnai tafsir Kitabullah”[3].
Adapun Syarat-syarat seorang mufassir menurut Manna’ al-Qahan adalah sebagai berikut:
1.     Sehat Akidahnya
Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai akidah yang melenceng, tentu saj ia akan menafsirkan alQr’an dengan berbagai penyimpangan, yang nantinya akan merusak pemahaman akan Al-Qur’an itu sendiri.
2.     Terlepas dari hawa nafsu.
Tidak menggunakan hawa nafsu yang mendorongnya untuk menyokong mazhabnya.
3.     Mula-mula menafsirkan Al quran dengan Al qur’an pula.
4.     Mengambil tafsir itu dari sunnah.
5.     Apabila tidak ada di sunnah, maka dikembalikan keperkataan sahabat
6.     Apabila tidak ada tafsir dalam al Qur’an, dan tidak ada pula pada sunnah, tidak ada pula pada perkataan sahabat,maka dikembalikan pada perkataan Tabiin.
7.     Mengetahui bahasa arab dan cabang-cabangnya
Al qur’an itu diturunkan dalam bahasa arab. Memahaminya itu ialah dengan menerangkan mufradat-mufradat dan lafaz-lafaz. Inilah yang dijadikan dalil untuk menempatkannya.
8.     Mengertahui dasar-dasar ilmu yang berhubungan dengan Al quran.[4]
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada dunia keilmuan lainya ialah bahwa mufassir harus orang yang dewasa (baliq) dan berakal sehat, anak kecil dan orang gila tidak bisa diterima penafsiranya. Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga memiliki etika etika penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yaitu harus sehat I’tiqadnya, bagus niatnya, lurus tujuan/maksudnya, baik akhlaknya, dan patut diteladani amal perbuatanya.[5]
Syarat lain yang tidak kurang pentingnya ialah beragam Islam (muslim). Orang kafir tidak dibenarkan menafsirkan al Quran, karena dia tidak memiliki kepentingan apa pun dengan al Quran. Karenanya, tidaklah mengherankan jika hingga dewasa ini, tidak ada satupun orientalis yang menafsirkan al Qur’an dalam konteksnya yang utuh dan menyeluruh.
Salah satu syarat penting untuk mufassir adalah mengetahui biografi Nabi saw. Setiap penafsiran tidak boleh menyimpang, apalagi bertentangan dengan apa yang telah digasislan Nabi saw. Apabila hal itu terjadi, maka penafsiran tersebut harus ditolak. Salah satu upaya untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan tersebut ialah dengan mengetahui biografi Nabi saw karena biografi beliau tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an, meskipun bisa dibedakan. Dengan demikian dapat dikatakan kehidupan beliau merupakan personifikasi bagi pemahaman al-Qur’an sehingga dapat dilihat wujud pengamalannya oleh umat dalam perilaku dan aktivitas keseharian Rasul Allah; baik secara individual, berkeluarga, maupun bermasyarakat dan berbangsa.
Dalam mengkaji biografi Nabi saw sekaligus akan terbicarakan situasi dan kondisi yang dihadapi beliau semasa hidupnya; baik di rumahtangga, di tengah masyarakat, maupun hubungan diplomatik antara sesama bangsa di dunia, dan sebagainya. Kajian serupa ini berkaitan erat dengan masalah-masalah sosiokultural suatu bangsa. Jika begitu, maka tidaklah salah, bila Rasyid Ridha menjadikan pengetahuan tentang situasi dan kondisi kehidupan umat manusia sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir.[6]  
      B.    Etika dan Adab Mufassir dalam Menafsirkan al Qur’an
Dalam kamus al-Munawir, adab mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[7] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[8] Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik. Sedangkan adab mufasir diartikan dengan tingkah laku sesorang yang hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufasir boleh menfsirkan ayat-ayat al Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh para ulama.
Al-Qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya. Seorang mufassir tidak cukup hanya menguasai ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tafsir saja, melainkan ia pun dituntut untuk melakukannya dengan dibarengi hati yang jernih, yaitu ikhlas, niat yang baik dan takwa kepada Allah SWT         
Al-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Burhan: “Ketahuilah bahwa memahami makna wahyu Ilahi tidak akan berhasil dan tidak akan mendapatkan rahasianya apabila di dalam hatinya ada kesombongan, hawa nafsu, cinta dunia, melakukannya demi perbuatan dosa, tidak mengetahui hakekat iman, mengambil pandangan orang lain tanpa dilandasi ilmu, atau cenderung menggunakan akalnya. Ini semua adalah penghalang yang harus disingkirkan dari dalam diri seorang mufassir.
Berikut adalah etika yang harus dimiliki oleh seorang mufasir dalam menafsirkan Al Qur’an;                    
1.     Baik niat dan tujuannya. Bahwa segala pekerjaan itu dimulai dengan niat. Ilmu syariat yang lebih diutamakan menganjurkan berbuat makruf guna untuk kebaikan islam. Mensucikan niat duniawi untuk menutupi kesalahan–kesalahannya terhadap Allah. Memamfaatkan dengan ilmu dalam hal ini membuahkan keikhlasan.
2.     Baik akhlaknya. Ahli-ahli tafsir  itu berdiri di atas budi pekerti yang baik dan terpuji. Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan, selain dari itu menjadi contoh tauladan bagi orang banyak dalam segi akhlak dan moral.
3.     Mengingat perintah Allah  dan beramal. Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal  itu hasilnya akan berlipat ganda.
4.     Meneliti dan memeriksa Al qur’an dan hadis. Jangan berbicara atau menulis, selain dari apa yang telah ditetapkan oleh para peneliti, sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari kesalahan dalam kata-kata dan salah tulis.
5.     Bersikap rendah hati dan lemah lembut                                     
6.     Bersikap terus terang dalam kebenaran
7.     Jangan ceroboh. Hendaklah berbicara dengan pelan, sehingga dapat di mengerti dan jelas
8.     Mendahulukan orang yang lebih pantas daripadanya.
9.     Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam membuat tafsir. Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan sebab-sebab turunya ayat, sudah itu mufradat, sudah itu menjelaskan duduk persoalanya, susunan hurufnya, menerangkan bentuk balagah dari i’rab sampai kepada membatasi arti. Sudah itu menerangkan arti itu secara umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada masanya.sudah itu mengambil kesimpulan kesimpulan dan hukum-hukumnya.juga menyebutkan hal-hal yang bersesuaian dengan mengikat di antara ayat-ayat permulaan dengan kemudian.
Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:
1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.
3.   Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsân).
4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara.
5.   Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169).[9]
Adapun kepribadian mufasir adalah sebagai berikut:
1.     Ikhlas
Setelah mufassir bebas dari paham yang atau aliran yang akan membelokkannya dari jalan yang benar maka ia harus meluruskan niatnya. Artinya, dia  menafsirkan al Qur’an  semata-mata karena Allah, tidak didorong oleh motivasi kepentingan diri pribadinya,keluarganya maupun golongannya.karena iti dia selalu menafsirkan Al qur’an apa adanya. Artinya dia tidak mau dipengaruhi oleh pihak lain; bahkan termasuk oleh dirinya sendiri. Dia tidak peduli apakah orang lain menerima atau menolak penafsirannya karena  dia menyadari bahawa Al qur’an ialah pedoman abadi bagi umat  dalam menjalani hidup dalam dan kehidupan mereka di bumi ini,demi meraih kebahagiaan dunia akhirat.


2.     Netral
Yang dimaksud netral dalam kajian ini ialah mufassir tidak boleh memihak kepada pendapat siapa pun kecuali al Qur’an dan hadis. Untuk mewujudkan sikap netral, mufassir dituntut mengosongkan  pikiranya dari segala bentuk ajaran dan aliran serta pendapat-pendapat yang akan mengganggu pada waktu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
3.     Sadar
Mufasir harus sadar bahwa yang sedang dikajinya firman Allah, bukan kalam manusia, dan bukan pula kalam makhluk lain seperti malaikat, jin dan lain-lain. Apabila kondisi ini tidak disadari oleh mufasir, maka kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkan Al qur’an semakin besar.
Selain menyadari posisi kitab al Qur’an yang demikian sakral serta merupakan firman langsung dari Allah, maka seorang mufasir juga harus selalu sadar bahwa penafsiranya akan dijadikan tuntunan oleh umat, sehingga bila ia salah atau sengaja melakukan kesalahan, maka berarti dia telah tersesat dan menyesatkan orang lain.
4.     Ilmu  Mawhibah
Ilmu Mawhibah dapat diartikan pengetahuan pemberian atau hibah dari Allah. Akan tetapi, apakah Allah akan memberikan tanpa usaha seperti layaknya hibah? Tentu tidak. Al-Suyuthi mendefinisikan ilmu ini dengan”ilmu yang diwariskan Allah kepada orang yang mengamalkan ilmu yang diperolehnya”.Inilah –katanya-yang diisyaratkan Nabi dengan hadisnya yang artinya (Barang siapa mengamalkan ilmu yang diperolehnya, niscaya diwariskan Allah kepadanya ilmu yang belum diketahuainya.
Jadi yang dimaksud dengan ilmu Mawhibah ialah pengetahuan yang  didapat setelah bekerja dan berusaha maksimal dalam mengamalkan ilmu yang sudah ada.[10]
      C.    Ilmu-ilmu yang Harus Dimiliki Mufassir
Imam Jalaluddin as-Sayuthy dalam bukunya al-Itqan menyebutkan lima belas syarat untuk menjadi mufassir, yaitu:
1.     Ilmu bahasa Arab yang dengannya dia mengetahui makana kosakata dalam pengertian kebahasaan dan mengetahui pula yang Musytarak.
2.     Ilmu Nahwu karena amakna dapat berubah akibat perubahan Irab.
3.       Ilmu Sharaf karena perubahan bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
4.       Pengetahuan tentang Istiqaq (akar kata).
5.       Ilmu al-Ma’any, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi pemaknaannya.
6.       Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan atau kesamarannya.
7.       Alimu al-Badi’, yaitu ilmu yang berkaitan dengan kaindahan susunan kalimat.
8.       Ilmu al-Qira’at, yang dengannya dapat diketahui makna yang berbeda-beda sekaligus membantu dalam menetapkan salah satu dari aneka kemungkinan makna.
9.       Ilmu Ushul ad-Din, karena dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang lafazhnya mengesankan kemustahilannya dinisbatkan kepada Allah.
10.    Ilmu Ushul al-Fiqih, yaitu landasan dalam menng-istinbath-kan/menetapkan hukum yang dikandung oleh ayat.
11.    Asbab an-Nuzul, karena dengannya dapat diketahui konteks ayat guna kejelasan maknanya.
12.    Nasekh dan Mansukh, yakni ayat-ayat yang telah dibatalkan hukumnya, sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.
13.    Fiqih/Hukum Islam
14.    Hadits-hadits nabi yang berkaitan dengan fenafsiran ayat.
15.    ‘Ibn al-Mauhibah, yakni sesuatu yang dianugerahkan Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi Mufassir. Itu bermula dari upaya membersihkan hati, meluruskan akidah, atau apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan Shihhat al-‘Aqidahh/Lurusnya ‘Akidah.[11]
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufasir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan al-Qur’an. Imam Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan, “siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an yang mulia maka yang pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari al-Qur’an. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelasan pada al-Qur’an. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran al-Qur’an. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberikan kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, amak harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna-makna huruf hija’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang menyatakan, maknanya adalah qasam (sumpah).”[12]


[1] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990), h. 194
[2] Kamus Bahasa Indonesia Online, Syarat, http://kamusbahasaindonesia.org/syarat. 10 Oktober 2015
[3] Muuhammad Isya Anshory, Syarat-syarat Mufassir al-Qur’an E Book. http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html. 12 Oktober 2015
[4] Mana’ khalil al-Qathan. Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an (terjemah) Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). h. 463-464
[5] Dr.H.Muhammad Amin Suma,MA.SH. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus), cetakan pertama,2001.hal         
[6] Nashruddin Baidan. Metode Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002). h. 278-279
[7] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002). h. 9
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008), h. 9
[9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur”an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang). cetakan kedelapan 1980. h  207
[10] Nashruddin baidan.Op.Cit h.354-357
[11] Quraishi Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati. 2015). h. 395-396

No comments: