MAKALAH
A. Syarat-syarat Mufassir
Menafsirkan al-Qur'an merupakan amanah yang berat. Oleh
karena itu, tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah
tersebbut. Siapa saja yang ingin menefsirkan al-Qur’an harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratn ini merupakan suatau hal yang wajar
dalam semua bidang ilmu, demikian juga halnya dengan tafsir al-Qur’an, syarat
yang ketet mutlak diperlukan agar tidak terjadi ksalahan atau kerancuan dalam
penafsiran. Sebelum mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
mufassir maka terlebih dahulu kami paparkan arti kata syarat dan mufassir itu
sendiri.
Syarat secara kebahasaan, dalam bahasa arab asy-syarthu
yang artinya adalah janji atau suatu yang dimustikan[1].
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, syarat adalah tuntutan atau permintaan yang harus
dipenuhi, segala sesuatu yang perlu atau haraus ada[2].
Sedangkan Mufassir menurut Husain bin Ali bin Husain Al-Harby adalah sebagai
berikut. “Mufassir adalah orang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia
mengetahui maksud Allah ta’ala dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya ia
melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat
menegnai tafsir Kitabullah”[3].
Adapun Syarat-syarat seorang mufassir menurut
Manna’ al-Qahan adalah sebagai berikut:
1. Sehat Akidahnya
Akidah mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai akidah
yang melenceng, tentu saj ia akan menafsirkan alQr’an dengan berbagai
penyimpangan, yang nantinya akan merusak pemahaman akan Al-Qur’an itu sendiri.
2. Terlepas dari hawa nafsu.
Tidak menggunakan hawa nafsu yang
mendorongnya untuk menyokong mazhabnya.
3. Mula-mula menafsirkan Al quran dengan Al qur’an pula.
4. Mengambil tafsir itu dari sunnah.
5. Apabila tidak ada di sunnah, maka dikembalikan
keperkataan sahabat
6. Apabila tidak ada tafsir dalam al Qur’an, dan tidak ada
pula pada sunnah, tidak ada pula pada perkataan sahabat,maka dikembalikan pada
perkataan Tabi’in.
7. Mengetahui bahasa arab dan cabang-cabangnya
Al qur’an itu diturunkan dalam bahasa arab. Memahaminya
itu ialah dengan menerangkan mufradat-mufradat dan lafaz-lafaz. Inilah yang
dijadikan dalil untuk menempatkannya.
8. Mengertahui dasar-dasar ilmu yang berhubungan dengan Al
quran.[4]
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum
berlaku pada dunia keilmuan lainya ialah bahwa mufassir harus orang yang dewasa
(baliq) dan berakal sehat, anak kecil dan orang gila tidak bisa diterima
penafsiranya. Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga memiliki etika
etika penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yaitu harus
sehat I’tiqadnya, bagus niatnya, lurus tujuan/maksudnya, baik akhlaknya, dan
patut diteladani amal perbuatanya.[5]
Syarat lain yang tidak kurang
pentingnya ialah beragam Islam (muslim). Orang kafir tidak dibenarkan
menafsirkan al Qur’an, karena dia tidak memiliki
kepentingan apa pun dengan al Qur’an. Karenanya, tidaklah
mengherankan jika hingga dewasa ini, tidak ada satupun orientalis yang
menafsirkan al Qur’an dalam konteksnya yang utuh dan menyeluruh.
Salah satu syarat penting untuk mufassir adalah mengetahui
biografi Nabi saw. Setiap penafsiran tidak boleh menyimpang, apalagi
bertentangan dengan apa yang telah digasislan Nabi saw. Apabila hal itu
terjadi, maka penafsiran tersebut harus ditolak. Salah satu upaya untuk
menghindarkan terjadinya penyimpangan tersebut ialah dengan mengetahui biografi
Nabi saw karena biografi beliau tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an, meskipun
bisa dibedakan. Dengan demikian dapat dikatakan kehidupan beliau merupakan
personifikasi bagi pemahaman al-Qur’an sehingga dapat dilihat wujud
pengamalannya oleh umat dalam perilaku dan aktivitas keseharian Rasul Allah;
baik secara individual, berkeluarga, maupun bermasyarakat dan berbangsa.
Dalam mengkaji biografi Nabi saw
sekaligus akan terbicarakan situasi dan kondisi yang dihadapi beliau semasa
hidupnya; baik di rumahtangga, di tengah masyarakat, maupun hubungan diplomatik
antara sesama bangsa di dunia, dan sebagainya. Kajian serupa ini berkaitan erat
dengan masalah-masalah sosiokultural suatu bangsa. Jika begitu, maka tidaklah
salah, bila Rasyid Ridha menjadikan pengetahuan tentang situasi dan kondisi
kehidupan umat manusia sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufasir.[6]
B. Etika dan Adab Mufassir dalam Menafsirkan
al Qur’an
Dalam kamus
al-Munawir, adab mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[7] Sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang
baik.[8]
Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik.
Sedangkan adab mufasir diartikan dengan tingkah laku sesorang yang hendak
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufasir boleh
menfsirkan ayat-ayat al Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh
para ulama.
Al-Qur’an adalah
kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat
Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang
merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah,
etika, mu’amalah dan sebagainya. Seorang mufassir tidak cukup hanya menguasai
ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tafsir saja, melainkan ia pun dituntut untuk
melakukannya dengan dibarengi hati yang jernih, yaitu ikhlas, niat yang baik
dan takwa kepada Allah SWT
Al-Zarkasyi
mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Burhan: “Ketahuilah bahwa memahami
makna wahyu Ilahi tidak akan berhasil dan tidak akan mendapatkan rahasianya
apabila di dalam hatinya ada kesombongan, hawa nafsu, cinta dunia, melakukannya
demi perbuatan dosa, tidak mengetahui hakekat iman, mengambil pandangan orang
lain tanpa dilandasi ilmu, atau cenderung menggunakan akalnya. Ini semua adalah
penghalang yang harus disingkirkan dari dalam diri seorang mufassir.
Berikut adalah etika yang harus dimiliki oleh seorang
mufasir dalam menafsirkan Al Qur’an;
1. Baik niat dan tujuannya. Bahwa segala pekerjaan itu
dimulai dengan niat. Ilmu syariat yang lebih diutamakan menganjurkan berbuat
makruf guna untuk kebaikan islam. Mensucikan niat duniawi untuk menutupi
kesalahan–kesalahannya terhadap Allah. Memamfaatkan dengan ilmu dalam hal ini
membuahkan keikhlasan.
2. Baik akhlaknya. Ahli-ahli tafsir itu berdiri di atas budi pekerti yang baik
dan terpuji. Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan, selain dari itu
menjadi contoh tauladan bagi orang banyak dalam segi akhlak dan moral.
3. Mengingat perintah Allah
dan beramal. Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal itu hasilnya akan berlipat ganda.
4. Meneliti dan memeriksa Al qur’an dan hadis. Jangan berbicara
atau menulis, selain dari apa yang telah ditetapkan oleh para peneliti, sehingga
dengan demikian dia akan terhindar dari kesalahan dalam kata-kata dan salah
tulis.
5. Bersikap rendah hati dan lemah lembut
6. Bersikap terus terang dalam kebenaran
7. Jangan ceroboh. Hendaklah berbicara dengan pelan, sehingga
dapat di mengerti dan jelas
8. Mendahulukan orang yang lebih pantas daripadanya.
9. Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk
dipergunakan dalam membuat tafsir. Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan
sebab-sebab turunya ayat, sudah itu mufradat, sudah itu menjelaskan duduk
persoalanya, susunan hurufnya, menerangkan bentuk balagah dari i’rab sampai
kepada membatasi arti. Sudah itu menerangkan arti itu secara umum dan
menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada masanya.sudah itu
mengambil kesimpulan kesimpulan dan hukum-hukumnya.juga menyebutkan hal-hal
yang bersesuaian dengan mengikat di antara ayat-ayat permulaan dengan kemudian.
Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib
menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:
1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam
firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta
tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah,
seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh
terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya
sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas
hamba-hamba-Nya.
3. Mengikuti hawa nafsu dan
anggapan baik (istihsân).
4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab
tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang
akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya
dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara.
5. Tafsir dengan memastikan bahwa
maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang
secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
وَأَنْ تَقُولُوا
عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169).[9]
Adapun kepribadian mufasir adalah
sebagai berikut:
1. Ikhlas
Setelah mufassir bebas dari paham yang atau
aliran yang akan membelokkannya dari jalan yang benar maka ia harus meluruskan
niatnya. Artinya, dia menafsirkan al Qur’an semata-mata karena Allah, tidak didorong oleh
motivasi kepentingan diri pribadinya,keluarganya maupun golongannya.karena iti
dia selalu menafsirkan Al qur’an apa adanya. Artinya dia tidak mau dipengaruhi
oleh pihak lain; bahkan termasuk oleh dirinya sendiri. Dia tidak peduli apakah
orang lain menerima atau menolak penafsirannya karena dia menyadari bahawa Al qur’an ialah pedoman
abadi bagi umat dalam menjalani hidup
dalam dan kehidupan mereka di bumi ini,demi meraih kebahagiaan dunia akhirat.
2. Netral
Yang dimaksud netral dalam kajian ini ialah
mufassir tidak boleh memihak kepada pendapat siapa pun kecuali al Qur’an dan
hadis. Untuk mewujudkan sikap netral, mufassir
dituntut mengosongkan pikiranya dari
segala bentuk ajaran dan aliran serta pendapat-pendapat yang akan mengganggu
pada waktu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
3. Sadar
Mufasir harus sadar bahwa yang sedang
dikajinya firman Allah, bukan kalam manusia, dan bukan pula kalam makhluk lain
seperti malaikat, jin dan lain-lain. Apabila kondisi ini tidak disadari oleh
mufasir, maka kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkan Al qur’an
semakin besar.
Selain menyadari posisi kitab al Qur’an yang
demikian sakral serta merupakan firman langsung dari Allah, maka seorang
mufasir juga harus selalu sadar bahwa penafsiranya akan dijadikan tuntunan oleh
umat, sehingga bila ia salah atau sengaja melakukan kesalahan, maka berarti dia
telah tersesat dan menyesatkan orang lain.
4. Ilmu Mawhibah
Ilmu Mawhibah dapat diartikan pengetahuan pemberian
atau hibah dari Allah. Akan tetapi, apakah Allah akan memberikan tanpa usaha
seperti layaknya hibah? Tentu tidak. Al-Suyuthi mendefinisikan ilmu ini
dengan”ilmu yang diwariskan Allah kepada orang yang mengamalkan ilmu yang
diperolehnya”.Inilah –katanya-yang diisyaratkan Nabi dengan hadisnya yang
artinya (Barang siapa mengamalkan ilmu yang diperolehnya, niscaya diwariskan
Allah kepadanya ilmu yang belum diketahuainya.
Jadi yang dimaksud dengan ilmu Mawhibah ialah
pengetahuan yang didapat setelah bekerja
dan berusaha maksimal dalam mengamalkan ilmu yang sudah ada.[10]
C. Ilmu-ilmu yang Harus Dimiliki Mufassir
Imam Jalaluddin as-Sayuthy dalam bukunya al-Itqan
menyebutkan lima belas syarat untuk menjadi mufassir, yaitu:
1. Ilmu bahasa Arab yang dengannya dia mengetahui makana
kosakata dalam pengertian kebahasaan dan mengetahui
pula yang Musytarak.
2. Ilmu Nahwu karena amakna dapat berubah akibat perubahan
Irab.
3. Ilmu Sharaf karena perubahan bentuk kata dapat
mengakibatkan perbedaan makna.
4. Pengetahuan tentang Istiqaq (akar kata).
5. Ilmu al-Ma’any, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan
kalimat dari sisi pemaknaannya.
6. Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan
makna dari sisi kejelasan atau kesamarannya.
7. Alimu al-Badi’, yaitu ilmu yang berkaitan dengan
kaindahan susunan kalimat.
8. Ilmu al-Qira’at, yang dengannya dapat diketahui makna
yang berbeda-beda sekaligus membantu dalam menetapkan salah satu dari aneka
kemungkinan makna.
9. Ilmu Ushul ad-Din, karena dalam al-Qur’an ada ayat-ayat
yang lafazhnya mengesankan kemustahilannya dinisbatkan kepada Allah.
10. Ilmu Ushul al-Fiqih, yaitu landasan dalam menng-istinbath-kan/menetapkan
hukum yang dikandung oleh ayat.
11. Asbab an-Nuzul, karena dengannya dapat diketahui
konteks ayat guna kejelasan maknanya.
12. Nasekh dan Mansukh, yakni ayat-ayat yang telah
dibatalkan hukumnya, sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.
13. Fiqih/Hukum Islam
14. Hadits-hadits nabi yang berkaitan dengan fenafsiran ayat.
15. ‘Ibn al-Mauhibah, yakni sesuatu yang dianugerahkan
Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi Mufassir. Itu
bermula dari upaya membersihkan hati, meluruskan akidah, atau apa yang
diistilahkan oleh sementara ulama dengan Shihhat al-‘Aqidahh/Lurusnya ‘Akidah.[11]
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas,
seorang mufasir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan
al-Qur’an. Imam Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan, “siapa yang ingin menafsirkan
al-Qur’an yang mulia maka yang pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari
al-Qur’an. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat
pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas
penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya dari
As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelasan pada al-Qur’an. Apabila
tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada
pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran al-Qur’an.
Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat.
Selain itu, mereka juga diberikan kekhususan berupa pemahaman yang sempurna,
ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar
pendapat para sahabat, amak harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat
dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna-makna huruf hija’
(alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang menyatakan,
maknanya adalah qasam (sumpah).”[12]
[1] Muhammad
Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990), h. 194
[2] Kamus Bahasa
Indonesia Online, Syarat, http://kamusbahasaindonesia.org/syarat. 10 Oktober
2015
[3] Muuhammad Isya
Anshory, Syarat-syarat Mufassir al-Qur’an E Book. http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html.
12 Oktober 2015
[4] Mana’
khalil al-Qathan. Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an (terjemah) Mudzakir AS.
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). h. 463-464
[5] Dr.H.Muhammad Amin Suma,MA.SH. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus), cetakan pertama,2001.hal
[6] Nashruddin
Baidan. Metode Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2002). h. 278-279
[7] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2002). h. 9
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta;
Pusat Bahasa, 2008), h. 9
[9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur”an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang). cetakan kedelapan 1980. h
207
[10] Nashruddin baidan.Op.Cit
h.354-357
[11] Quraishi
Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati. 2015). h. 395-396
No comments:
Post a Comment