Thursday, 6 August 2020

Tafsir bil ma'tsur dan bil ra'yi (Makalah Ulumul Qur'an/ Tafsir)



MAKALAH


1.       Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (objek) dari kata atsara-ya’tsiru-yatsuru-atsaran-atsaratan yang secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-atsar juga bisa berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh atau kesan.[1] Jadi, kata-kata al-ma’tsur, an-naql, al-manqul, dan al-riwayah, pada hakikatnya, mengacu pada makna yang sama mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu. Jadi, tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur) yang juga dikenal dengan menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya, atau ayat Al- Qur’an dengan as-Sunnah Nabawiyyah, dan ayat Al-Qur’an dengan kalam (pendapat) sahabat dan Tabiin (menurut sebagian ulama).
          Muhammad Bin Ali as-Shabari memformulasikan tafsir al-riwayah atau bi al-ma’tsur adalah tafsir yang terdapat di dalam Al-Qurá’an atau sunnah atau pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang di kehendaki Allah tentang penafsiran Al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah Nabawiyyah .[2]
         Secara terminologi tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur), memiliki beberapa definisi sebagai mana yang diungkapkan oleh beberapa ahli berikut ini :
a.    Fahd ’abd al-Rahman Sulaiman al-Rumiy, menyatakan yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahih atau atsar yang datang sebagai penjelas ayat al-Qur’an, yang tidak akan menjelaskan makna tanpa adanya dalil, menghindarkan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, selama tidak ada riwayat yang shahih tentang itu.
b.   Menurut Mana’ al-Qatthan, beliau mengatakan tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahih, berupa tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau dengan sunnah (karena sunnah berfungsi sebagai penjelasan kitab Allah), atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat (karena mereka termasuk orang yang paling mengerti dengan kitab Allah), atau dengan perkataan tabi’in besar, karena mereka senantiasa mendapatinya dari para sahabat[3].
Jika dicermati dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat merumuskan  beberapa poin dari pengertian tafsir bi al-ma’tsur tersebut antara lain:
a.    Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan riwayat yang shahih
b.   Penafsiran tafsir bi al-ma’tsur dapat berupa Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat.
Jadi, yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur yakni cara yang harus ditempuh dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau menafsirkan Al-Qur’an dengan As-sunnah Nabawiyyah, menafsirkan Al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat atau menafsirkan Al-Qur’an dengan qaul tabi’in. Serta menghindari pembicaraan yang tidak terkait langsung dengan penafsiran, selama tidak ada riwayat yang  shahih tentang itu.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai sumber-sumber tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur).

a.        Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an merupakan sebaik-baik tafsir. Terkait dengan hal ini Ibnu Taimiyah berkata: “Metode yang paling shahih dari cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Karena sesuatu yang mujmal di suatu tempat (ayat), terkadang dijelaskan ditempat (ayat) lain. Apa yang diringkas dalam suatu ayat,  dirinci ditempat (ayat) lain.[4]
Perkataan Ibn Taimiyah ini sangat benar, tetapi meski demikian menurut penulis penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an ini, tetap tidak tertutup akan kesalahan, karena bagaimanapun usaha menafsirkan ayat dengan ayat juga membutuhkan ijtihad dari seorang mufassir (yaitu dalam menentukan mana ayat yang paling tepat menjadi tafsir bagi ayat tertentu). Jadi,  untuk menentukan sebuah ayat yang akan menjadi tafsir bagi ayat lain, mestilah seorang mufassir betul-betul memahami kedua ayat, sehingga tidak salah di dalam pemahaman dan penafsiran.
Tepatnya menurut penulis, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an barulah dikatakan tafsir terbaik, dan terhindar dari kesalahan, jika penafsiran itu di dasarkan pada riwayat yang shahih pula. Seperti adanya riwayat yang menjelaskan jika Nabi atau para sahabat memang menafsirkan sebuah ayat dengan ayat tertentu. Maka selama penafsiran itu tidak bersumber dari riwayat yang betul-betul shahih, kemungkinan salah di dalam penafsiran tersebut tetap ada.
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi al-Qur’an) ada yang berbentuk penafsiran bagian (tepatnya bagian kosakata tertentu) dari ayat Al-Qur’an dengan bagian ayat Al-Qur’an lainnya pada ayat dan surah yang sama. Ada yang berbentuk penafsiran ayat yang satu dengan ayat yang lainnya dalam surat yang sama. Ada pula yang berbentuk penafsiran ayat yang satu dengan ayat dan surat lain yang berbeda surat. Misalnya, penafsiran kata tertentu dengan kata lain dalam ayat yang sama. Sebagaimana yang terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah: 178 di bawah ini.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:187).
Kata  الْفَجْرِ  pada ayat di atas, menerangkan  maksud dari ungkapan الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ (benang putih dari benang hitam) pada ayat yang sama.
Penafsiran ayat dengan ayat lainnya dalam surat yang sama adakalanya ditemukan secara langsung (bergandengan), dan ada pula yang tidak secara langsung. Bahkan, adakalanya antara ayat yang ditafsirkan dan ayat yang menafsirkannya terdapat pada surat yang sama. Tetapi, banyak juga yang ditemukan pada surat lainnya yang secara terpisah. Misalkan,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (٧)
Artinya : “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S.Al-Fatihah, 1:7)
Ayat tersebut menafsirkan ayat sebelumnya, إهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦), tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Q.S.,al-Fatihah, 1:6).

b.       Tafsir Al-Qur’an dengan as-Sunnah Nabawiyyah
Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan seluruh makna ayata-ayat Al-Qur’an, termasuk lafal-lafalnya kepada para sahabatnya.[5] Sedangkan menurut pendapat lain, diantaranya Abu Syuhbah dan al- Dzahabiy, Nabi telah menjelaskan makna Al-Qur’an kepada para sahabat. Namun, karena mereka dianggap sudah memahami penjelasan-penjelasan yang disampaikan Nabi, maka beliau tidak meriwayatkan secara keseluruhannya.[6] Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang jelas bahwa nabi termasuk orang yang paling awal menafsirkan seluruh isi kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu, apabila penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tidak ditemukan, maka penafsiran Al-Qur’an dengan sabda Nabi dapat dilakukan. Penafsiran hadits terhadap ayat-ayat Al-Qur’an  itu dapat  berbentuk menjelaskan kemujmalan ayat, menerangkan kemusykilannya, mengkhususkan keumumannya dan menentukan kemutlakannya.
Jadi, Tafsir Al-Qurán dengan sunnah Nabawiyyah (tafsir Al-Qur’an bi as-sunnah an-Nabawiyyah) yang dimaksud adalah penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad Saw. Misalnya Nabi Muhammad Saw. menafsirkan kata al-Maghdhub (orang-orang yang terkutuk) dengan orang-orang Yahudi dan ad-dhallin (orang-orang yang sesat)  terhadap orang-orang Nashrani, seperti yang tertuang di dalam ayat berikut.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (٧)         
Artinya : “Tunjukilah [7]Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[8].” (Q.s. Al-fatihah : 6-7)
Di dalam Al-Qur’an sering dijumpai beberapa ayat menjelaskan kebencian Allah Swt. terhadap orang-orang Yahudi, selain kebencian-Nya kepada orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Sebagaimana yang tertuang di dalam Al-Qur’an surah al-Fath : 6, berikut di bawah ini.

وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٦)

Artinya: “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.(Q.S.al-Fath, 48:6).
Demikian pula, Nabi Muhammad Saw. Menafsirkan kata-kata zhulmun (kegelapan) dengan syirik (penyekutuan Allah) ketika menafsirkan firman Allah Swt berikut ini.
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (٨٢)
Artinya : “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Anám, 6:82).
Penafsiran kata Zhulmun dengan asy-syirk juga didasarkan pada ayat Al-Qur’an lainnya yang menyatakan bahwa,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Lukman: 13)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang musyrik telah menyerang seorang muslim dan kemudian membunuhnya. Kemudian,ia pun menyerang muslim lainnya dan juga membunuhnya. Sesudah itu,musyrik itu bertanya kepada Nabi Muhammad Saw:apakah diterima Islamnya jika ia memeluk Islam setelah bergelimang dosa atas serentetan perbuatannya itu tadi?” Rasulullah saw. Menjawab bahwa ia akan diterima tobatnya selama tobat itu dilakukan secara sungguh-sungguh, dan memperjuangkan Islam sebagaimana ia ingin menghancurkannya. Lalu, ia memecut kudanya dengan cepat untuk menyerbu pihak musuh Islam seraya ia membunuh beberapa orang hingga akhirnya ia sendiri mati terbunuh. Menurut Bakr bin Sadawah, para sahabat menganggap bahwa ayat di atas (Q.S. Al-An’am, 6: 82) berkenaan dengan peristiwa orang di atas yang menegaskan bahwa iman seseorang yang tidak dicampuri syirik keamanannya dijamin oleh Allah.[9]
Para sahabat merasa kecil hati atas turunnya ayat 82 surat al-an’am (6) ini. Mereka bertanya-tanya apakah ada diantara mereka yang tidak imannya benar-benar murni, dalam arti sama sekali tidak terkontaminasi oleh kemusyrikan atau tidak. Rasa cemas diantara para sahabat itu dirasakan oleh Rasulullah Saw. Sehingga beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Zhulm pada ayat di atas adalah syirik seraya merujuk ayat 13 surat lukman (31). Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits masih teramat banyak jumlahnya untuk disebutkan satu-persatu. Masalah ini dapat dilacak secara runtut melalui kitab-kitab hadits yang jumlahnya cukup banyak yang hampir semua kitab hadits memuat bab tentang tafsir.

c.        Tafsir Al-Qur’an dengan  pendapat para sahabat
Sebagaimana diketahui bahwa para sahabat termasuk orang yang tahu hal ihwal turunnya Al-Qur’an, karena itu mereka dianggap memiliki kemampuan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat dan benar. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, oleh sebagian ulama dianggap menduduki hadits yang marfu’ yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Hakim.[10]
Menjadikan perkataan sahabat sebagai sumber tafsir bi al-ma’tsur dengan alasan, mengingat para sahabat merupakan orang yang lebih tahu dan menyaksikan bagaimana kondisi ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, serta mereka memiliki pemahaman yang sempurna terhadap makna ayat.[11] Alasan lain adalah bahwa mereka adalah orang yang hari-harinya banyak bersama Rasul, mengetahui asbab al-nuzul dan memiliki nilai lebih terkait fashahah dan bayan.[12] Maka penafsiran sahabat berada pada posisi kedua setelah hadits Rasul.
Mengenai bagaimana pengetahuan sahabat terhadap ayat al-Qur’an, berikut penulis kemukakan beberapa perkataan ulama, termasuk perkataan sahabat itu sendiri:
a)   Ibn Mas’ud Berkata:
Tanyakanlah kepadaku, demi Allah yang tidak ada Tuhan Selain Dia, Tidaklah sesuatu ayat yang diturunkan Allah, kecuali saya mengetahui bagaimana kondisi ayat itu turun dan di mana ayat itu diturunkan. Jikalaulah Saya mengetahui ada seseorang di suatu tempat yang lebih mengetahui kitab Allah (Al-Qur’an) dibanding saya, niscaya saya akan menemuinya.[13]
b)   Abu ‘Abd al-Rahman al-Sullamiy berkata:
Telah meriwayatkan kepada kami mereka yang senantiasa mengajarkan Al-Qur’an kepada kami yaitu para sahabat Nabi seperti Usman bin Affan dan Abdullah ibn Mas’ud, bahwasanya jika mereka mengajarkan 10 ayat Al-Qur’an dari Nabi, mereka tidak akan menambah hingga mereka dapat mengetahui dan mengamalkannya, mereka berkata:kami mempelajari Al-Qurán, sekaligus mengetahui dan mengamalkannya.[14]
Meski demikian para ulama juga tetap mewanti-wanti bahwa perkataan sahabat yang dianggap sebagai tafsir bi al-ma’tsur adalah perkataan mereka yang terkait dengan tafsir dan diriwayatkan dengan jalur sanad yang shahîh.  Secara umum bentuk-bentuk penafsiran sahabat itu adalah: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan Sunnah, dengan ungkapan/riwayat yang di-marfu’kan kepada Nabi tetapi tidak secara sharih, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihad ataupun dengan pendapat sahabat lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka dengan kondisi turunnya ayat.[15]
Diantara contoh tafsir Al-Qur’an dengan atsar para sahabat, sebagaimana yang tertuang di dalam ayat Al-Qur’an surat al-Hijr, 15: 99. Di bawah ini :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (٩٩)
 Artinya: “dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”
Yang dimaksud dengan   الْيَقِينُ (yang diyakini) pada ayat tersebut di atas ialah al-Mautu (kematian). Demikian, Mujahid sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarrir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim.

d.       Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in
Mengenai tafsir Al-Qur’an dengan qaul (ucapan) tabi’in, terdapat  perselisihan yang tajam di kalangan para ulama. Sebagian  ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk kepada tafsir bi al-ma’tsur. Kelompok ini berargumentasi “karena para Tabi’in pada ghalibnya mendapatkan pengetahuan dan pelajaran termasuk dalam hal tafsir adalah dari para sahabat juga”.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir Al-Qur’an dengan qaul tabi’in adalah termasuk kepada tafsir bi al-ra‎'yi (tafsir dengan akal dan ijtihad). Kelompok ini menegaskan bahwa kedudukan para tabi’in adalah sama dengan kedudukan para mufassirin lainnya, selain Nabi dan sahabat, mereka menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak murni mengikuti prosedur penafsiran secara ma’tsur. Yang artinya mereka tidak jarang melakukan ijtihad dan menginterpretasikan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an.[16] Disamping itu, mereka juga berbeda-beda keberadaannya dengan sahabat, karena tanpa mendengar atau menerima langsung dari Nabi Saw dan tidak menyaksikan secara langsung situasi dan kondisi ketika suatu ayat di turunkan. Oleh karena itu, otoritas mereka masih menjadi bahan perdebatan. Tokoh-tokoh seperti Abu Syuhbah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Aqil, termasuk  di antara mereka yang menolak otoritas pendapat tabi’in tersebut.
Diantara contoh  tafsir yang berasal dari perkataan para Tabi’in dapat dijumpai pada penafsiran mereka terhadap Q.S. al-Shaffat (37) ayat 65 berikut ini.
طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ (٦٥)
Artinya: “mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.” (Q.S. al-Shaffat :65)
           Kepala syaitan sebagaimana yang diungkapakan pada ayat tersebut di atas adalah sesuatu yang bersifat sangat abstrak, karena pada dasarnya manusia tidak pernah melihat kepala syaitan itu sendiri.

2.       Tafsir Bi Al-Ra’yi
Secara bahasa kata[17]الرأي   merupakan mashdar dari kataرأى، يرى  yang di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk istilah penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan  إعتقاد(keyakinan), تدبير (pandangan) danتفكير  (pemikiran). Menurut Husain al-Dzahabiy juga dapat dipakai untuk makna إجتهاد  (ijtihad) dan قياس  (qiyas).[18] Selain dengan istilah ra’yi, tafsir ini juga dikenal dengan istilah ‘aqli atau nazhri.
Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di dalam penafsirannya, seorang mufasssr sangat memberdayakan akal dan fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhri karena memang tafsir ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.[19]
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama yaitu: 
1) Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan
هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه ا لخاص  و ستنباطه با لرأي المجرد[20]
Artinya: “Yaitu tafsir yang mufassirnya di dalam menjelaskan  makna hanya mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya dengan menggunakan logika semata.”
Kemudian Mana’ Khalîl al-Qaththan menambahkan keterangan terkait defenisi ini. Menurutnya yang dimaksud logika semata adalah logika yang pemahamannya tidak sejalan dengan nilai syari’at, dan biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.[21]  
2). Menurut al-Rumiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد[22]
Artinya: “Yaitu istilah untuk penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad.”
3) Menurut al-Dzahabiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد، بعد معرفة المفسّر لكلام العرب و مناحيهم في القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالتها، واستعانته في ذالك بالشعر الجاهلي، ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفته بالناسخ و المنسوخ من ايات القرأن، وغير ذالك من الأدوات التي يحتاج اليه المفسر
Artinya: "Yaitu istilah untuk penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad, setelah seorang mufassir tersebut menguasai kalam Arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan wujuh dilalahnya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab jahiliyah, asbab al-nuzul, mengetahui nasikh dan mansukh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassir.”
4) Menurut al-Shabuniy                                                                  
...يعتمد على إجتهاده المبني على اصول الصحيحة، وقواعد سليمة متبعة[23]
Artinya: "Yaitu tafsir dengan menggunakan ijtihad, yang dibangun atas dasar yang shahih  serta ka’idah yang benar dan patut diikuti.”
Singkatnya, tafsir bi al-ra’yi dapat diartikan dengan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad, baik berangkat dengan menggunakan ilmu yang terkait dengannya, maupun hanya dengan logika semata.
Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi al-ra’yi. Sebagian ulama dan mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an, meski ia dikatakan alim (ulama), mengerti bahasa dan sastra Arab (adib), banyak menguasai dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu, hadis Nabi dan mengetahui atsar para sahabat Nabi. Yang diperbolehkan hanyalah menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan Nabi SAW melalui para sahabat dan tabi’in.[24]
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan luas, hendaknya menafsirkan al-Qur’an dengan akal dan ijtihadnya.
Kelompok ulama yang menolak dan mendukung tasir bi al-ra’yi mengemukakan beberapa argumen sebagai berikut: Pertama, tafsir bi al-ra’yi adalah menafsirkan atau berbicara mengenai firman Allah SWT tanpa ilmu. Tentu saja ini tidak diperbolehkan. Menurut para penolak tafsir bi al-ra’yi, orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir bi al-ra’yi tidak yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah SWT. Artinya mufassir bi al-ra’yi, hanya berdasarkan pada perkiraan (Dzhan) saja. Menafsirkan atas dasar dzan adalah menafsirkan ayat Allah SWT dengan tanpa ilmu. Ini dilarang sebagaimana Firman Allah SWT :
Artinya: “…..Kalian mengatakan kepada Allah apa yang kalian tidak ketahui”. (Q.S. Al-A’Raaf: 33)[25]
Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi membantah argumen diatas. Menurut mereka, bagaimanapun dzhan juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memiliki potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka, dzhan bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang tidak ada yang qath’iy. Ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut :
Artinya: “Allah tidak akan membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya……” (QS. Al-Baqarah : 286)[26]
Kedua, Sebagian ulama menolak tafsir bi al-ra’yi karena berkeyakinan bahwa yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanya Nabi Muhammad Saw., baik melalui perbuatan, perkataan atau penetapan dan sikap serta sifat beliau. Argumen ini melandaskan diri pada  QS. Al-Nahl: 44 :
  
Artinya: “Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab, dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka……” (QS. An-Nahl : 44)[27]
Para Ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi, membantah argumen di atas. Menurut mereka, ketika nabi Muhammad Saw. masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an memang menjadi otoritas beliau. Tapi sepeninggal nabi Saw., sementara masalah-masalah baru bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir al-Qur’an adalah penafsiran yang didukung oleh ulama (Mufassir) dengan menggunakan akal dan ijtihadnya. Ini sesuai dengan akhir QS. An- Nahl: 44, berikut :
Artinya:  “…….dan Supaya mereka memikirkan”.
Ketiga, Kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi, mendasarkan argumennya pada hadits yang menggharamkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal (ra’yu). Berikut terjemahan hadits yang dimaksud: “Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan logikanya, maka disediakan tempatnya di api neraka”. (H.R. Al-Turmuzi).
Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi membantah alasan penolakan tafsir bi al-ra’yi dengan mengunakan hadis di atas. Menurut mereka, larangan itu dimaksudkan bagi orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan hawa nafsunya saja, tanpa dalil. Larangan itu juga dimaksudkan khusus bagi ayat atau lafadz di dalam al-Qur’an yang mengandung musykilat dan mutasyabihat, yang hanya dipahami dengan penjelasan dari Nabi SAW. Sedangkan bagi ayat-ayat yang tidak mengandung musykilat dan mutasyabihat, tentu saja tidak ada larangan menafsirkan dengan dasar ijtihad. Dan juga bagi orang menafsirkan ayat dengan berpegang pada dalil dan pertimbangan akal sehat saja dibolehkan.
Keempat, Kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi juga mendasarkan argumennya pada fakta bahwa para sahabat dan tabi’in sangat menghormati tafsir Al-Qur,an dan menghindari penggunaan akal. Untuk menyebut salah satu contoh, misalnya saja Sa’id ibn Musib, ketika ditanya soal halal haram, dia menjawab, tetapi ketika ketika ditanya tentang tafsir salah satu ayat al-Qur’an, maka ia akan diam seolah tidak mendengar apapun.[28] Pada argumen yang keempat di atas, para pendukung tafsir bi al- ra’yi menyatakan bahwa keengganan para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an atas dasar ijtihad (ra’yu), selain karena sikap kehati-hatian mereka, juga karena mereka belum tahu kebenaran dengan pertimbangan ijtihad (ra’yu) yang dikemukakan. Fakta menunjukkan bahwa ketika mereka mengetahui kebenarannya masih dzhan.
Selain empat argumen dari kelompok penentang tafsir bi al-ra’yi di atas, lengkap dengan sanggahan-sanggahan dari para pendukungnya, berikut ini di kemukakan juga argumen-argumen yang mendasari kelompok ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi :[29]
Pertama,  para ulama pengusung tafsir bi al-ra’yi berargumen bahwa Allah Swt. sendiri dalam banyak ayat di Al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal, pemikiran, perenungan dan penelitian. Sebagaimana dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut :
  
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an[30]…….” ( QS.An-Nisa :82)



Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya…..” (QS. Al-Shad : 29)[31]
 
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau kekuatan, mereka lalu menyiarkannya dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri (Tokoh-tokoh sahabat dan dan para cendekiawan di antara mereka), tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri) . …..(QS. An-Nisa : 83)

Dua ayat yang pertama di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menganjurkan pada hamba-Nya untuk berfikir, merenung dan menggunakan akal, juga agar melakukan penelitian terhadap Al-Qur’an. Sementara ayat ketiga menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat digali isi kandungannya melalui ijtihad orang-orang yang berakal dan berilmu.
Kedua,  para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi mengatakan: “ seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtihad di bolehkan? Seorang mujtahid dalam dalam hukum syara’ diberi pahala dua jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al-ra’yi tidaklah benar”.
Ketiga, Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi berargumen bahwa para sahabat Nabi dalam Menafsirkan Al-Qur’an ada sedikit perbedaan. Ini karena mereka belum mendapatkan penjelasan seluruh makna Al-Qur’an dari Nabi Saw., mereka baru mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw. sebahagian Al-Qur’an, maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya. Seandainya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika dilarang, tentu para sahabat telah menyalahi dan melakukan apa yang telah Allah SWT haramkan. Tentu saja para sahabat tidak menyalahi dan berani melakukan apa yang diharamkan Allah SWT.
Keempat, Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi menguatkan pandangannya dengan mengemukakan fakta bahwa Nabi Muhammad Saw.  berdoa untuk Ibnu Abbas yang berbunyi:  .     اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل 
Artinya: “Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah agama, dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur’an”.
Melihat pro kontra para ulama mengenai tafsir bi al-ra’yi tersebut,  Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa: “Di dalam menafsirkan Al-Qur’an tidaklah disyaratkan mendengar penjelasan langsung dari rasul Saw., setiap orang boleh saja memahami Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan batas akalnya”. Sebagaimana juga dikatakan dalam pembukuan tafsir karya al-Raghib al-Ashfhany, “sungguh, untuk memahami makna Al-Qur’an, wilayahnya sangat luas, sungguh penafsiran dengan apa yang dinukilkan (al-manqul) dari Nabi Saw., bukanlah batas akhir penafsiran”.
Penulis sendiri mendukung adanya tafsir bi al-ra’yi  karena  secara tekstual tafsir  bi al-ra’yi bisa berarti jelas, nyata dan memberikan penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan Al-Qur’an, tafsir bi al-ra’yi diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadz  atau ayat Al-Qurán. Tegasnya, tafsir bi al-ra’yi sesunggunhnya merupakan upaya untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.
Tafsir bi al-ra’yi tidak hanya mengandalkan rasio belaka karena tentunya hasil tafsirnya tidak di terima, namun dalam hal ini tafsir bi al-ra’yi  selain juga menggunakan akal juga dikuatkan dengan beberapa dasar seperti Al-Qurán, hadits dan pendapat sahabat.

3.  KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TAFSIR BI AL-MA’TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA’YI
Tafsir bi al-ma’tsur merupakan sumber tafsir yang paling utama. Ini dapat dinilai demikian karena beberapa alasan diantaranya :
a.    Karena ia menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya, dan Allah tentu lebih mengetahui maknanya.
b.   Karena ia juga menafsirkan hadits Rasul Allah, dan sebagaimana diketahui beliau memang berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an
c.    Karena menafsirkan dengan menggunakan atsar sahabat, yang jelas telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan memahami kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat tersebut.
Namun meski demikian, kesalahan-kesalahan masih mungkin terjadi, diantaranya kesalahan dalam memahami suatu ayat yang akan dijadikan tafsir bagi ayat yang lain, kesalahan di dalam mengambil riwayat yang ternyata tidak shahih ataupun yang dipengaruhi oleh riwayat israiliyat, dan berbagai bentuk kesalahan lainnya.
Telah diuraikan di atas, bahwa tidak diragukan lagi penerimaan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan sunnah an-Nabawiyyah yang shahih dan marfu’ kepada Nabi Saw. dan tidak diragukan lagi tafsir ini berada dalam tingkatan tertinggi dari tafsir-tafsir yang lain. Akan tetapi, tafsir Al-Qur’an bi al-ma’tsur dari sahabat dan tabi’in kadang bisa ada lemahnya karena beberapa hal, yaitu:
1.   Bercampurnya yang shahih dengan yang tidak shahih, dan penukilan perkataan banyak yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabi’in tanpa isnad dan tidak dikonfirmatif.
2.   Riwayat-riwayatnya penuh dengan cerita-cerita Isra’iliyyat, ada pula yang banyak khufaratnya, yang terkontradiksi dengan akidah Islamiyah.
3.   Sebagian mazhab ada yang membumbuhi perkataan-perkataannya, mereka mengada-ada yang batil dan dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Seperti golongan Syi’ah.
4.   Adanya musuh-musuh Islam, mereka hendak membinasakan agama dengan menghina dan mengada-ada.[32]
Tafsir bi al-ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil jika terbukti shahih. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitab Allah. Ibnu Jarir berkata,ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjah-nya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasul Allah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf.
Sebagaimana tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah:
1.   Ruang lingkup yang luas.
2.   Memuat berbagai ide.
Dan, dia antara kekurangan tafsir bi al-ra’yi adalah:
1.   Menjadikan petunjuk Al-Qur’an secara farsial.
2.   Melahirkan penafsiran yang subjektif.
3.   Masuknya pemikiran Isra’iliyyat. [33]
Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan kedua tafsir di atas, diharapkan para mufassir akan lebih berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an, sehingga tidak sampai tersesat dalam kekeliruan. Jadi, ambil yang baiknya dan tinggalkan yang jeleknya.




[1] Ahmad Izzan, Metodolodi Ilmu Tafsir, cet. III, ( Tafkkur : Bandung, 2009 ), h. 57
[2]  Ibid, h.57
[3] Mana’ Khalil al-Qaththan, Mahabits fi Ulum al-Qurán, ([t.kt ]: Mansyutat al-Áshr al-Hadits, 1973) h. 347
[4] Al-Rumiy, Fahd ibnu’abd al-Rahman ibn Sulaiman, Buhuts Ushl al-Tafsir wa Manahijuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 H), h. 73
[5] Usman,Op.Cit,h. 248
[6]  Ibid,h. 248
[7] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[8] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. 
[9] Ahmad Izzan,Metodologi Ilmu Tafsir,(Tafakur,Buah Batu-Bandung,2011),h.64
[10] Jalaluddin al-Suyuthiy,al-Itqan fi Ulum al-Qurán, (Beirut : Dara Fikr,t.th ),h.179
[11] Ibnu Taimiyah berkata:”wajib diketahui bahwa Nabi telah menjelaskan makna-makna Al-Qurán kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan lafadz-lafadznya kepada Mereka
[12] Muhammad Áliy al-Shabuniy,Al-Tibyán fi Úlum al-Qurán, (Jakarta:Dar al-Kutub al-Ílmiyah, 2003), h.70
[13] Shalah abd al-Fattah al-Khalidiy, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002) ,h. 201
[14] Muhammad abd al-Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Úlum al-Qurán, (Beirut: Dar al-Kitab al-árabiy, 1995), Juz. II, h. 13
[15] Ibid,h. 202
[16] Ibid, h. 481
[17] Yunus, Mahmud, Kamus Arabi – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an
[18] Hadits riwayat al-Bukhâriy dari Abi Hurairah, lihat Al-Khâlidiy, h.413
[19] Hadits riwayat al-Bukhâriy dari Abi Hurairah, lihat Al-Khâlidiy, Ibid, h. 41
[20] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973) h.351
[21] Mana’ Khalîl al-Qaththân, ibid, h.351
[22] Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 h, h. 78
[23] Al-Shabûniy, Op Cit, h. 155, pada keterangan  selanjutnya beliau mengatakan bahwa al-Ra’yi yang dimaksud oleh defenisi ini bukan al-Ra’yi/logika semata dan bukan pula bermakna hawa nafsu.
[24] Dr. H.Anshori,Tafsir  Bil Ra’yi (Menafsirkan Al-Qur’an dengan Ijtihad), (Cet. I,Jakarta ; Gaung Persada Press, 2010), h. 3
[25]  Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Juz 1-10, h.132
[26] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Ibid, h.72
[27] Al-Qur,an dan Terjemahannya, Juz 11-20, h. 408
[28] Tafsir Bil Ra’yi ( Menafsirkan Al-Qur,an dengan Ijtihad), Op.Cit h.6
[29]Tafsir Bil Ra’yi ( Menafsirkan Al-Qur,an dengan Ijtihad), Ibid, h.7
[30] Al-Qur’an dan TerjemahannyaI, Juz 1-10, h.132
[31] Al-Qur,an dan Terjemahannya, Juz 21-30, ibid h.736
[32] Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983, hlm. 135.
[33] Prof. Dr. Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2005, hlm.60.

No comments: