MAKALAH
1. Tafsir
Bi Al-Ma’tsur
Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (objek) dari kata atsara-ya’tsiru-yatsuru-atsaran-atsaratan
yang secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan
memuliakan atau menghormati (akrama). Al-atsar juga bisa berarti sunnah, hadits,
jejak, bekas, pengaruh atau kesan.[1]
Jadi, kata-kata al-ma’tsur, an-naql, al-manqul, dan al-riwayah, pada
hakikatnya, mengacu pada makna yang sama mengikuti atau mengalihkan sesuatu
yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu. Jadi, tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur) yang juga dikenal dengan menafsirkan ayat
Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya, atau
ayat Al- Qur’an dengan
as-Sunnah Nabawiyyah, dan ayat Al-Qur’an dengan kalam
(pendapat) sahabat dan Tabi’in (menurut
sebagian ulama).
Muhammad Bin Ali as-Shabari memformulasikan tafsir al-riwayah atau bi
al-ma’tsur adalah tafsir yang terdapat di dalam Al-Qurá’an atau sunnah atau
pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang di kehendaki Allah
tentang penafsiran Al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah Nabawiyyah .[2]
Secara terminologi tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur), memiliki beberapa
definisi sebagai mana yang diungkapkan oleh beberapa ahli berikut ini :
a.
Fahd ’abd al-Rahman Sulaiman al-Rumiy, menyatakan yang dimaksud dengan
tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat
yang shahih atau atsar yang datang sebagai penjelas ayat al-Qur’an, yang tidak
akan menjelaskan makna tanpa adanya dalil, menghindarkan diri dari pembicaraan
yang tidak bermanfaat, selama tidak ada riwayat yang shahih tentang itu.
b.
Menurut Mana’ al-Qatthan, beliau mengatakan tafsir bi al-ma’tsur adalah
tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahih, berupa tafsir
Al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau dengan sunnah (karena sunnah berfungsi sebagai
penjelasan kitab Allah), atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat (karena
mereka termasuk orang yang paling mengerti dengan kitab Allah), atau dengan
perkataan tabi’in besar, karena mereka senantiasa mendapatinya dari para
sahabat[3].
Jika dicermati
dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat merumuskan beberapa poin dari pengertian tafsir bi
al-ma’tsur tersebut antara lain:
a.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang
berdasarkan riwayat yang shahih
b.
Penafsiran tafsir bi al-ma’tsur dapat berupa Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sunnah dan
perkataan sahabat.
Jadi, yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’tsur
yakni cara yang harus ditempuh dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, atau menafsirkan Al-Qur’an dengan As-sunnah Nabawiyyah, menafsirkan
Al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat atau menafsirkan Al-Qur’an
dengan qaul tabi’in. Serta menghindari pembicaraan yang tidak terkait langsung
dengan penafsiran, selama tidak ada riwayat yang shahih tentang itu.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai
sumber-sumber tafsir al-riwayah (bi al-ma’tsur).
a.
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an merupakan
sebaik-baik tafsir. Terkait dengan hal ini Ibnu Taimiyah berkata: “Metode yang
paling shahih dari cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Karena sesuatu
yang mujmal di suatu tempat (ayat), terkadang dijelaskan ditempat (ayat) lain.
Apa yang diringkas dalam suatu ayat,
dirinci ditempat (ayat) lain.[4]
Perkataan Ibn Taimiyah
ini sangat benar, tetapi meski demikian menurut penulis penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an ini, tetap tidak tertutup akan kesalahan, karena bagaimanapun
usaha menafsirkan ayat dengan ayat juga membutuhkan ijtihad dari seorang mufassir
(yaitu dalam menentukan mana ayat yang paling tepat menjadi tafsir bagi ayat
tertentu). Jadi, untuk menentukan sebuah
ayat yang akan menjadi tafsir bagi ayat lain, mestilah seorang mufassir betul-betul
memahami kedua ayat, sehingga tidak salah di dalam pemahaman dan penafsiran.
Tepatnya menurut
penulis, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an barulah dikatakan tafsir
terbaik, dan terhindar dari kesalahan, jika penafsiran itu di dasarkan pada
riwayat yang shahih pula. Seperti adanya riwayat yang menjelaskan jika Nabi
atau para sahabat memang menafsirkan sebuah ayat dengan ayat tertentu. Maka
selama penafsiran itu tidak bersumber dari riwayat yang betul-betul shahih,
kemungkinan salah di dalam penafsiran tersebut tetap ada.
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi
al-Qur’an) ada yang berbentuk penafsiran bagian (tepatnya bagian kosakata
tertentu) dari ayat Al-Qur’an dengan bagian ayat Al-Qur’an lainnya pada ayat
dan surah yang sama. Ada yang berbentuk penafsiran ayat yang satu dengan ayat
yang lainnya dalam surat yang sama. Ada pula yang berbentuk penafsiran ayat
yang satu dengan ayat dan surat lain yang berbeda surat. Misalnya, penafsiran
kata tertentu dengan kata lain dalam ayat yang sama. Sebagaimana yang terdapat
di dalam Q.S. Al-Baqarah: 178 di bawah ini.
أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا
كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ
إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya : “Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:187).
Kata الْفَجْرِ pada ayat di atas, menerangkan maksud dari ungkapan الأبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأسْوَدِ (benang putih dari benang hitam) pada ayat yang
sama.
Penafsiran ayat
dengan ayat lainnya dalam surat yang sama adakalanya ditemukan secara langsung (bergandengan),
dan ada pula yang tidak secara langsung. Bahkan, adakalanya antara ayat yang
ditafsirkan dan ayat yang menafsirkannya terdapat pada surat yang sama. Tetapi,
banyak juga yang ditemukan pada surat lainnya yang secara terpisah. Misalkan,
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ (٧)
Artinya : “(yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S.Al-Fatihah, 1:7)
Ayat tersebut menafsirkan
ayat sebelumnya, إهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦), tunjukilah kami ke jalan yang lurus (Q.S.,al-Fatihah,
1:6).
b.
Tafsir Al-Qur’an dengan as-Sunnah
Nabawiyyah
Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa Nabi Muhammad Saw.
Menjelaskan seluruh makna ayata-ayat Al-Qur’an, termasuk lafal-lafalnya kepada
para sahabatnya.[5]
Sedangkan menurut pendapat lain, diantaranya Abu Syuhbah dan al- Dzahabiy, Nabi
telah menjelaskan makna Al-Qur’an kepada para sahabat. Namun, karena mereka
dianggap sudah memahami penjelasan-penjelasan yang disampaikan Nabi, maka
beliau tidak meriwayatkan secara keseluruhannya.[6] Terlepas
dari perbedaan pendapat tersebut, yang jelas bahwa nabi termasuk orang yang
paling awal menafsirkan seluruh isi kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu,
apabila penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tidak ditemukan, maka penafsiran
Al-Qur’an dengan sabda Nabi dapat dilakukan. Penafsiran hadits terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat berbentuk menjelaskan kemujmalan ayat,
menerangkan kemusykilannya, mengkhususkan keumumannya dan menentukan
kemutlakannya.
Jadi, Tafsir Al-Qurán dengan sunnah Nabawiyyah
(tafsir Al-Qur’an bi as-sunnah an-Nabawiyyah) yang dimaksud adalah penafsiran
Al-Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad Saw. Misalnya Nabi Muhammad Saw. menafsirkan
kata al-Maghdhub (orang-orang yang terkutuk) dengan orang-orang Yahudi
dan ad-dhallin (orang-orang yang sesat)
terhadap orang-orang Nashrani, seperti yang tertuang di dalam ayat
berikut.
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (٧)
Artinya : “Tunjukilah [7]Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[8].” (Q.s. Al-fatihah : 6-7)
Di dalam Al-Qur’an sering dijumpai beberapa ayat
menjelaskan kebencian Allah Swt. terhadap orang-orang Yahudi, selain
kebencian-Nya kepada orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Sebagaimana yang tertuang di dalam Al-Qur’an
surah al-Fath : 6, berikut di bawah ini.
وَيُعَذِّبَ
الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ
الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
(٦)
Artinya: “Dan supaya Dia
mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik
laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.
mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai
dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka
Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Q.S.al-Fath, 48:6).
Demikian
pula, Nabi Muhammad Saw. Menafsirkan kata-kata zhulmun
(kegelapan) dengan syirik (penyekutuan Allah) ketika menafsirkan
firman Allah Swt berikut ini.
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ (٨٢)
Artinya : “orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. al-Anám, 6:82).
Penafsiran kata Zhulmun
dengan asy-syirk juga didasarkan pada ayat Al-Qur’an lainnya yang menyatakan
bahwa,
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
Artinya: “Dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Lukman: 13)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang
musyrik telah menyerang seorang muslim dan kemudian membunuhnya. Kemudian,ia
pun menyerang muslim lainnya dan juga membunuhnya. Sesudah itu,musyrik itu
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “apakah diterima
Islamnya jika ia memeluk Islam setelah bergelimang dosa atas serentetan
perbuatannya itu tadi?” Rasulullah saw.
Menjawab bahwa ia akan diterima tobatnya selama tobat itu dilakukan secara
sungguh-sungguh, dan memperjuangkan Islam sebagaimana ia ingin
menghancurkannya. Lalu, ia memecut kudanya dengan cepat untuk menyerbu pihak
musuh Islam seraya ia membunuh beberapa orang hingga akhirnya ia sendiri mati
terbunuh. Menurut Bakr bin Sadawah, para sahabat
menganggap bahwa ayat di atas (Q.S. Al-An’am, 6: 82) berkenaan dengan peristiwa
orang di atas yang menegaskan bahwa iman seseorang yang tidak dicampuri syirik
keamanannya dijamin oleh Allah.[9]
Para sahabat merasa kecil hati atas turunnya
ayat 82 surat al-an’am (6) ini. Mereka
bertanya-tanya apakah ada diantara mereka yang tidak imannya benar-benar murni,
dalam arti sama sekali tidak terkontaminasi oleh kemusyrikan atau tidak. Rasa cemas
diantara para sahabat itu dirasakan oleh Rasulullah Saw. Sehingga beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
Zhulm pada ayat di atas adalah syirik seraya merujuk ayat 13 surat
lukman (31). Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits
masih teramat banyak jumlahnya untuk disebutkan satu-persatu. Masalah ini
dapat dilacak secara runtut melalui kitab-kitab hadits yang jumlahnya cukup
banyak yang hampir semua kitab hadits memuat bab tentang tafsir.
c.
Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Sebagaimana diketahui bahwa para sahabat
termasuk orang yang tahu hal ihwal
turunnya Al-Qur’an, karena itu
mereka dianggap memiliki kemampuan untuk memahami Al-Qur’an secara tepat
dan benar. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an dengan
pendapat para sahabat, oleh sebagian ulama dianggap menduduki hadits yang marfu’
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
al-Hakim.[10]
Menjadikan
perkataan sahabat sebagai sumber tafsir bi al-ma’tsur dengan alasan, mengingat
para sahabat merupakan orang yang lebih tahu dan menyaksikan bagaimana kondisi
ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, serta mereka memiliki pemahaman yang
sempurna terhadap makna ayat.[11] Alasan lain adalah
bahwa mereka adalah orang yang hari-harinya banyak bersama Rasul, mengetahui asbab al-nuzul dan memiliki nilai
lebih terkait fashahah dan bayan.[12] Maka penafsiran sahabat
berada pada posisi kedua setelah
hadits Rasul.
Mengenai
bagaimana pengetahuan sahabat terhadap ayat al-Qur’an, berikut penulis
kemukakan beberapa perkataan ulama, termasuk perkataan sahabat itu sendiri:
a) Ibn Mas’ud Berkata:
Tanyakanlah kepadaku,
demi Allah yang tidak ada Tuhan Selain Dia, Tidaklah sesuatu ayat yang diturunkan
Allah, kecuali saya
mengetahui bagaimana kondisi ayat itu turun dan di mana ayat itu diturunkan. Jikalaulah Saya mengetahui ada
seseorang di suatu tempat yang lebih mengetahui kitab Allah (Al-Qur’an)
dibanding saya, niscaya saya akan menemuinya.[13]
b) Abu ‘Abd al-Rahman al-Sullamiy berkata:
Telah meriwayatkan kepada kami mereka yang senantiasa mengajarkan Al-Qur’an kepada kami yaitu para sahabat Nabi
seperti Usman bin Affan dan Abdullah ibn Mas’ud, bahwasanya jika
mereka mengajarkan 10 ayat Al-Qur’an dari Nabi, mereka tidak akan menambah hingga mereka dapat mengetahui dan
mengamalkannya, mereka berkata: “kami mempelajari
Al-Qurán, sekaligus mengetahui
dan mengamalkannya.[14]
Meski demikian para ulama juga tetap mewanti-wanti
bahwa perkataan sahabat yang dianggap sebagai tafsir bi al-ma’tsur adalah
perkataan mereka yang terkait dengan tafsir dan diriwayatkan dengan jalur sanad
yang shahîh. Secara umum bentuk-bentuk penafsiran sahabat itu
adalah: menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan Sunnah, dengan
ungkapan/riwayat yang di-marfu’kan kepada Nabi tetapi tidak secara sharih,
dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihad ataupun dengan pendapat sahabat
lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka dengan kondisi turunnya ayat.[15]
Diantara contoh tafsir Al-Qur’an dengan atsar para sahabat, sebagaimana yang tertuang di dalam ayat Al-Qur’an surat al-Hijr, 15: 99. Di bawah ini :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (٩٩)
Artinya: “dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).”
Yang dimaksud dengan الْيَقِينُ (yang diyakini) pada ayat tersebut di atas ialah al-Mautu
(kematian). Demikian, Mujahid sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarrir, Ibnu Mundzir,
dan Ibnu Abi Hatim.
d.
Tafsir Al-Qur’an dengan
pendapat para Tabi’in
Mengenai tafsir Al-Qur’an dengan qaul (ucapan)
tabi’in, terdapat perselisihan yang
tajam di kalangan para ulama. Sebagian
ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk kepada tafsir bi al-ma’tsur.
Kelompok ini berargumentasi “karena para Tabi’in pada ghalibnya mendapatkan
pengetahuan dan pelajaran termasuk dalam hal tafsir adalah dari para sahabat
juga”.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir
Al-Qur’an dengan qaul tabi’in adalah termasuk kepada tafsir bi al-ra'yi (tafsir
dengan akal dan ijtihad). Kelompok ini menegaskan bahwa kedudukan para tabi’in
adalah sama dengan kedudukan para mufassirin lainnya, selain Nabi dan sahabat,
mereka menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak
murni mengikuti prosedur penafsiran secara ma’tsur. Yang artinya mereka tidak
jarang melakukan ijtihad dan menginterpretasikan sendiri ayat-ayat Al-Qur’an.[16]
Disamping itu, mereka juga berbeda-beda keberadaannya dengan sahabat, karena
tanpa mendengar atau menerima langsung dari Nabi Saw dan tidak menyaksikan
secara langsung situasi dan kondisi ketika suatu ayat di turunkan. Oleh karena
itu, otoritas mereka masih menjadi bahan perdebatan. Tokoh-tokoh seperti Abu
Syuhbah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Aqil, termasuk
di antara mereka yang menolak otoritas pendapat tabi’in tersebut.
Diantara contoh
tafsir yang berasal dari perkataan para Tabi’in dapat dijumpai pada
penafsiran mereka terhadap Q.S. al-Shaffat (37) ayat 65 berikut ini.
طَلْعُهَا
كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ (٦٥)
Artinya: “mayangnya seperti kepala
syaitan-syaitan.” (Q.S. al-Shaffat :65)
Kepala syaitan sebagaimana yang diungkapakan
pada ayat tersebut di atas adalah sesuatu yang bersifat sangat abstrak, karena pada
dasarnya manusia tidak pernah melihat kepala syaitan itu sendiri.
2. Tafsir
Bi Al-Ra’yi
Secara bahasa kata[17]الرأي merupakan mashdar dari kataرأى، يرى yang
di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk istilah
penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan إعتقاد(keyakinan), تدبير (pandangan) danتفكير (pemikiran). Menurut Husain al-Dzahabiy juga
dapat dipakai untuk makna إجتهاد (ijtihad) dan قياس (qiyas).[18]
Selain dengan istilah ra’yi, tafsir ini juga dikenal dengan istilah ‘aqli
atau nazhri.
Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di dalam
penafsirannya, seorang mufasssr sangat memberdayakan akal dan
fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhri karena memang tafsir
ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.[19]
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi yang
diberikan ulama yaitu:
1) Menurut
Mana’ Khalîl al-Qaththan
هو ما
يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه ا لخاص و ستنباطه با لرأي المجرد[20]
Artinya:
“Yaitu tafsir yang mufassirnya di dalam menjelaskan makna hanya
mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya dengan menggunakan logika
semata.”
Kemudian Mana’ Khalîl al-Qaththan menambahkan keterangan
terkait defenisi ini. Menurutnya yang dimaksud logika semata adalah logika yang
pemahamannya tidak sejalan dengan nilai syari’at, dan biasanya dilakukan
oleh ahli bid’ah.[21]
2). Menurut
al-Rumiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد[22]
Artinya:
“Yaitu istilah untuk penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad.”
3) Menurut
al-Dzahabiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد، بعد معرفة المفسّر لكلام
العرب و مناحيهم في القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالتها، واستعانته في
ذالك بالشعر الجاهلي، ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفته بالناسخ و المنسوخ من ايات
القرأن، وغير ذالك من الأدوات التي يحتاج اليه المفسر
Artinya: "Yaitu istilah untuk penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan
ijtihad, setelah seorang mufassir tersebut menguasai kalam Arab dan
pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan wujuh dilalahnya,
serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab jahiliyah, asbab al-nuzul,
mengetahui nasikh dan mansukh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para
mufassir.”
4) Menurut
al-Shabuniy
...يعتمد على إجتهاده المبني على اصول الصحيحة، وقواعد سليمة متبعة[23]
Artinya: "Yaitu tafsir dengan menggunakan ijtihad, yang dibangun atas
dasar yang shahih serta ka’idah yang benar dan patut diikuti.”
Singkatnya, tafsir bi al-ra’yi dapat diartikan
dengan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad, baik
berangkat dengan menggunakan ilmu yang terkait dengannya, maupun hanya dengan
logika semata.
Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi al-ra’yi.
Sebagian ulama dan mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh
menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an, meski ia dikatakan alim (ulama), mengerti
bahasa dan sastra Arab (adib), banyak menguasai dalil-dalil agama,
mengerti ilmu nahwu, hadis Nabi dan mengetahui atsar para sahabat
Nabi. Yang diperbolehkan hanyalah menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang
diriwayatkan Nabi SAW melalui para sahabat dan tabi’in.[24]
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan
sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan
luas, hendaknya menafsirkan al-Qur’an dengan akal dan ijtihadnya.
Kelompok ulama yang menolak dan mendukung tasir bi
al-ra’yi mengemukakan beberapa argumen sebagai berikut: Pertama, tafsir
bi al-ra’yi adalah menafsirkan atau berbicara mengenai firman Allah SWT tanpa
ilmu. Tentu saja ini tidak diperbolehkan. Menurut para penolak tafsir bi
al-ra’yi, orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir bi al-ra’yi tidak
yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah SWT.
Artinya mufassir bi al-ra’yi, hanya berdasarkan pada perkiraan (Dzhan) saja.
Menafsirkan atas dasar dzan adalah menafsirkan ayat Allah SWT dengan tanpa
ilmu. Ini dilarang sebagaimana Firman Allah SWT :
Artinya: “…..Kalian mengatakan kepada Allah apa yang kalian tidak ketahui”.
(Q.S. Al-A’Raaf: 33)[25]
Para ulama pendukung
tafsir bi al-ra’yi membantah argumen diatas. Menurut mereka, bagaimanapun dzhan
juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memiliki potensi kebenaran yang
dominan. Menurut mereka, dzhan bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang
tidak ada yang qath’iy. Ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut :
Artinya: “Allah tidak akan membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya……” (QS. Al-Baqarah : 286)[26]
Kedua, Sebagian
ulama menolak tafsir bi al-ra’yi karena berkeyakinan bahwa yang berhak
menjelaskan Al-Qur’an hanya Nabi Muhammad Saw., baik melalui perbuatan,
perkataan atau penetapan dan sikap serta sifat beliau. Argumen ini melandaskan
diri pada QS. Al-Nahl: 44 :
Artinya:
“Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab, dan kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka……” (QS.
An-Nahl : 44)[27]
Para Ulama pendukung
tafsir bi al-ra’yi, membantah argumen di atas. Menurut mereka, ketika nabi
Muhammad Saw. masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an memang menjadi otoritas beliau.
Tapi sepeninggal nabi Saw., sementara masalah-masalah baru bermunculan, maka
penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir
al-Qur’an adalah penafsiran yang didukung oleh ulama (Mufassir) dengan
menggunakan akal dan ijtihadnya. Ini sesuai dengan akhir QS. An- Nahl: 44,
berikut :
Artinya:
“…….dan Supaya mereka memikirkan”.
Ketiga, Kelompok
ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi, mendasarkan argumennya pada hadits yang
menggharamkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal (ra’yu). Berikut
terjemahan hadits yang dimaksud: “Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
dengan logikanya, maka disediakan tempatnya di api neraka”. (H.R. Al-Turmuzi).
Para ulama pendukung
tafsir bi al-ra’yi membantah alasan penolakan tafsir bi al-ra’yi dengan
mengunakan hadis di atas. Menurut mereka, larangan itu dimaksudkan bagi orang
yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan hawa nafsunya saja, tanpa
dalil. Larangan itu juga dimaksudkan khusus bagi ayat atau lafadz di
dalam al-Qur’an yang mengandung musykilat dan mutasyabihat, yang
hanya dipahami dengan penjelasan dari Nabi SAW. Sedangkan bagi ayat-ayat yang
tidak mengandung musykilat dan mutasyabihat, tentu saja tidak ada
larangan menafsirkan dengan dasar ijtihad. Dan juga bagi orang menafsirkan ayat
dengan berpegang pada dalil dan pertimbangan akal sehat saja dibolehkan.
Keempat,
Kelompok ulama yang menolak tafsir bi al-ra’yi juga mendasarkan argumennya pada
fakta bahwa para sahabat dan tabi’in sangat menghormati tafsir Al-Qur,an dan
menghindari penggunaan akal. Untuk menyebut salah satu contoh, misalnya saja
Sa’id ibn Musib, ketika ditanya soal halal haram, dia menjawab, tetapi ketika
ketika ditanya tentang tafsir salah satu ayat al-Qur’an, maka ia akan diam
seolah tidak mendengar apapun.[28] Pada
argumen yang keempat di atas, para pendukung tafsir bi al- ra’yi menyatakan
bahwa keengganan para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an atas
dasar ijtihad (ra’yu), selain karena sikap kehati-hatian mereka, juga karena
mereka belum tahu kebenaran dengan pertimbangan ijtihad (ra’yu) yang
dikemukakan. Fakta menunjukkan bahwa ketika mereka mengetahui kebenarannya
masih dzhan.
Selain empat argumen dari
kelompok penentang tafsir bi al-ra’yi di atas, lengkap dengan
sanggahan-sanggahan dari para pendukungnya, berikut ini di kemukakan juga
argumen-argumen yang mendasari kelompok ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi :[29]
Pertama, para ulama pengusung tafsir bi al-ra’yi berargumen
bahwa Allah Swt. sendiri dalam banyak ayat di Al-Qur’an menganjurkan penggunaan
akal, pemikiran, perenungan dan penelitian. Sebagaimana dalam ayat-ayat Al-Qur’an
berikut :
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an[30]…….”
( QS.An-Nisa :82)
Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya…..” (QS. Al-Shad : 29)[31]
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau
kekuatan, mereka lalu menyiarkannya dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil Amri (Tokoh-tokoh sahabat dan dan para cendekiawan di antara mereka), tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (rasul dan ulil amri) . …..(QS. An-Nisa : 83)
Dua ayat yang pertama
di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menganjurkan pada hamba-Nya untuk berfikir,
merenung dan menggunakan akal, juga agar melakukan penelitian terhadap
Al-Qur’an. Sementara ayat ketiga menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat digali isi
kandungannya melalui ijtihad orang-orang yang berakal dan berilmu.
Kedua, para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi
mengatakan: “ seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa
ijtihad di bolehkan? Seorang mujtahid dalam dalam hukum syara’ diberi pahala
dua jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir
bi al-ra’yi tidaklah benar”.
Ketiga, Para
ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi berargumen bahwa para sahabat Nabi dalam
Menafsirkan Al-Qur’an ada sedikit perbedaan. Ini karena mereka belum
mendapatkan penjelasan seluruh makna Al-Qur’an dari Nabi Saw., mereka baru
mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw. sebahagian Al-Qur’an, maka mereka
menggunakan akal dan ijtihadnya. Seandainya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika
dilarang, tentu para sahabat telah menyalahi dan melakukan apa yang telah Allah
SWT haramkan. Tentu saja para sahabat tidak menyalahi dan berani melakukan apa
yang diharamkan Allah SWT.
Keempat, Para
ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi menguatkan pandangannya dengan mengemukakan
fakta bahwa Nabi Muhammad Saw. berdoa
untuk Ibnu Abbas yang berbunyi: .
“
اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Artinya:
“Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu
Abbas dalam masalah agama, dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsirkan
Al-Qur’an”.
Melihat pro kontra para ulama mengenai tafsir bi al-ra’yi
tersebut, Imam Al-Ghazali menyatakan
bahwa: “Di dalam menafsirkan Al-Qur’an tidaklah disyaratkan mendengar penjelasan
langsung dari rasul Saw., setiap orang boleh saja memahami Al-Qur’an sesuai dengan
kemampuan dan batas akalnya”. Sebagaimana juga dikatakan dalam pembukuan tafsir
karya al-Raghib al-Ashfhany, “sungguh, untuk memahami makna Al-Qur’an,
wilayahnya sangat luas, sungguh penafsiran dengan apa yang dinukilkan (al-manqul)
dari Nabi Saw., bukanlah batas akhir penafsiran”.
Penulis sendiri mendukung adanya tafsir bi al-ra’yi karena secara tekstual tafsir bi
al-ra’yi bisa berarti jelas, nyata dan memberikan penjelasan. Sedangkan
kaitannya dengan Al-Qur’an, tafsir bi
al-ra’yi diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu
lafadz atau ayat Al-Qurán. Tegasnya,
tafsir bi al-ra’yi sesunggunhnya
merupakan upaya untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.
Tafsir bi al-ra’yi
tidak hanya mengandalkan rasio belaka karena tentunya hasil tafsirnya tidak di
terima, namun dalam hal ini tafsir bi
al-ra’yi selain juga menggunakan
akal juga dikuatkan dengan beberapa dasar seperti Al-Qurán, hadits dan pendapat
sahabat.
3. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TAFSIR BI AL-MA’TSUR
DAN TAFSIR BI AL-RA’YI
Tafsir bi
al-ma’tsur merupakan sumber tafsir yang paling utama. Ini dapat dinilai
demikian karena beberapa alasan diantaranya :
a.
Karena ia menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya, dan
Allah tentu lebih mengetahui maknanya.
b.
Karena ia juga menafsirkan hadits Rasul Allah,
dan sebagaimana diketahui beliau memang berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an
c.
Karena menafsirkan dengan menggunakan atsar
sahabat, yang jelas telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan memahami
kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat tersebut.
Namun meski
demikian, kesalahan-kesalahan masih mungkin terjadi, diantaranya kesalahan
dalam memahami suatu ayat yang akan dijadikan tafsir bagi ayat yang lain,
kesalahan di dalam mengambil riwayat yang ternyata tidak shahih ataupun yang
dipengaruhi oleh riwayat israiliyat, dan berbagai bentuk kesalahan lainnya.
Telah diuraikan di atas, bahwa tidak diragukan lagi penerimaan tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan sunnah an-Nabawiyyah yang
shahih dan marfu’ kepada Nabi Saw. dan tidak diragukan lagi tafsir ini berada
dalam tingkatan tertinggi dari tafsir-tafsir yang lain. Akan tetapi, tafsir
Al-Qur’an bi al-ma’tsur dari sahabat dan tabi’in kadang bisa ada lemahnya
karena beberapa hal, yaitu:
1.
Bercampurnya yang shahih dengan yang tidak shahih, dan penukilan perkataan
banyak yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabi’in tanpa isnad dan tidak
dikonfirmatif.
2.
Riwayat-riwayatnya penuh dengan cerita-cerita Isra’iliyyat, ada pula yang
banyak khufaratnya, yang terkontradiksi dengan akidah Islamiyah.
3.
Sebagian mazhab ada yang membumbuhi perkataan-perkataannya, mereka
mengada-ada yang batil dan dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Seperti
golongan Syi’ah.
4.
Adanya musuh-musuh Islam, mereka hendak membinasakan agama dengan menghina
dan mengada-ada.[32]
Tafsir bi
al-ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil jika terbukti shahih. Karena
terjaga dari penyelewengan makna kitab Allah. Ibnu Jarir berkata, “ahli tafsir
yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjah-nya
terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasul
Allah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari
perkataan salaf.”
Sebagaimana tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah:
1.
Ruang lingkup yang luas.
2.
Memuat berbagai ide.
Dan, dia antara kekurangan tafsir bi al-ra’yi
adalah:
1.
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an secara farsial.
2.
Melahirkan penafsiran yang subjektif.
3.
Masuknya pemikiran Isra’iliyyat. [33]
Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan
kedua tafsir di atas, diharapkan para mufassir akan lebih berhati-hati dalam
menafsirkan Al-Qur’an, sehingga tidak sampai tersesat dalam kekeliruan. Jadi,
ambil yang baiknya dan tinggalkan yang jeleknya.
[1] Ahmad Izzan, Metodolodi Ilmu Tafsir, cet. III, ( Tafkkur :
Bandung, 2009 ), h. 57
[2] Ibid, h.57
[3] Mana’ Khalil al-Qaththan, Mahabits fi Ulum al-Qurán, ([t.kt ]:
Mansyutat al-Áshr al-Hadits, 1973) h. 347
[4] Al-Rumiy, Fahd ibnu’abd al-Rahman ibn Sulaiman, Buhuts Ushl al-Tafsir
wa Manahijuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 H), h. 73
[5] Usman,Op.Cit,h. 248
[6] Ibid,h. 248
[7] Ihdina (tunjukilah kami),
dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. Yang dimaksud
dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[8] Yang
dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan
yang menyimpang dari ajaran Islam.
[10] Jalaluddin al-Suyuthiy,al-Itqan fi Ulum al-Qurán, (Beirut : Dara
Fikr,t.th ),h.179
[11] Ibnu Taimiyah berkata:”wajib diketahui bahwa Nabi telah menjelaskan
makna-makna Al-Qurán kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan
lafadz-lafadznya kepada Mereka
[12] Muhammad Áliy al-Shabuniy,Al-Tibyán fi Úlum al-Qurán, (Jakarta:Dar
al-Kutub al-Ílmiyah, 2003), h.70
[13] Shalah abd al-Fattah al-Khalidiy, Ta’rif al-Darisin bi Manahij
al-Mufassirin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002) ,h. 201
[14] Muhammad abd al-Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Úlum al-Qurán,
(Beirut: Dar al-Kitab al-árabiy, 1995), Juz. II, h. 13
[15] Ibid,h. 202
[16] Ibid, h. 481
[17] Yunus, Mahmud, Kamus Arabi – Indonesia, Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an
[18] Hadits riwayat al-Bukhâriy dari Abi Hurairah,
lihat Al-Khâlidiy, h.413
[19] Hadits riwayat al-Bukhâriy dari Abi Hurairah,
lihat Al-Khâlidiy, Ibid, h. 41
[20] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm
al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973) h.351
[21] Mana’ Khalîl al-Qaththân, ibid, h.351
[22] Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn
Sulaimân, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah
al-Taubah, 1422 h, h. 78
[23] Al-Shabûniy, Op Cit, h. 155, pada keterangan
selanjutnya beliau mengatakan bahwa al-Ra’yi yang dimaksud oleh
defenisi ini bukan al-Ra’yi/logika semata dan bukan pula bermakna hawa nafsu.
[24] Dr. H.Anshori,Tafsir Bil Ra’yi (Menafsirkan Al-Qur’an dengan
Ijtihad), (Cet. I,Jakarta ; Gaung Persada Press, 2010), h. 3
[25] Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan
Terjemahannya, Juz 1-10, h.132
[26] Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Ibid, h.72
[27] Al-Qur,an dan
Terjemahannya, Juz 11-20, h. 408
[28] Tafsir Bil Ra’yi
( Menafsirkan Al-Qur,an dengan Ijtihad), Op.Cit h.6
[29]Tafsir Bil Ra’yi (
Menafsirkan Al-Qur,an dengan Ijtihad), Ibid, h.7
[30] Al-Qur’an dan
TerjemahannyaI, Juz 1-10, h.132
[31] Al-Qur,an dan
Terjemahannya, Juz 21-30, ibid h.736
[32] Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983, hlm. 135.
[33] Prof. Dr. Nashiruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2005, hlm.60.
No comments:
Post a Comment