Thursday, 6 August 2020

'Am dan khas (Makalah Ulumul Qur'an)


MAKALAH


A.     ‘Am

‘Am dalam pengertian kebahasaan berarti menyeluruh. Dalam pandangan Ulama Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan istilah ‘Am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain[1]. ‘Am adalah lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan[2]. Para ulama membagi ‘Am menjadi tiga kategori, yaitu:

1.     Al-‘Am al-Istighraqy

Yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya. Misalnya, ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga quru’ (suci/haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala jenis perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya kata an-Nas/manusia dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١

Artinya: “Wahai (seluruh) manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (terhindar dari aneka bencana).” (QS. al-Baqarah: 21)

2.     Al-‘Am al-Majmu’iy

Yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian-bagiannya satu demi satu, tetapi secara umum saja. Misalnya kewajiban mempercayai nabi-nabi yang diutus Allah. Jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama-namanya dalam al-Qur’an sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali itu.

3.     Al-‘Am al-Badaly

Yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafazh itu. Misalnya, perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang saja dari siapa pun yang berstatus fakir miskin, sudah cukup.[3]



B.    Bentuk Lafadz ‘Amm

Ulama ushul merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai memiliki makna umum, dan mereka membatasinya sebagai berikut:

1.     Kata “kullu”, apakah ia menjadi permulaan kalimat ataupun muncul sebagai keterangan.

2.     Semua kata penghubung, asma’ al-maushul (relative pronoun)

3.     Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa saja), baik sebagai kata syarat, kata tanya, maupun sebagai kata penghubung.

4.     Kata jama’ yang di-ma’rifat-kan, baik dengan memakai partikel alif-lam (al...) ataupun dengan kasus idhafah (possessive)

5.     Kata benda kategorial (isim jins) yang di-ma’rifat-kan baik dengan kasus idhafah maupun dengan partikel alif-lam (al...)

6.     Kata benda tak tertentu (indefinite/nakirah) dalam konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks pemberian anugerah.

“’Amm adalah kata yang mencakup semua makna yang terkait tanpa batas. Di antara kata amm adalah bentuk kata kullu (setiap/seluruh) di permulaan kalimat seperti ‘setiap yang ada di atas bumi akan musnah’, atau sebagai keterangan, seperti ‘maka malaikat seluruhnya bersujud’, dan kata alladzi, allati, serta bentuk dua (tsaniyyah), dan plural (jama’)-nya, seperti: “dan, yang berkata kepada kedua orangtuanya: enyahlah kamu!”, sebab maksudnya adalah siapa saja yang mengeluarkan kata-kata seperti itu berdasarkan firman-Nya yang muncul setelahnya: ‘mereka itulah orang-orang yang berhak mendapat siksa’, dan ‘orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah penghuni surga’, dan ‘orang-orang yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan dan tambahan’, dan ‘orang-orang yang bertaqwa di sisi Tuhan berhak mendapatkan surga-surga’, dan ‘wanita-wanita yang telah suci dari haid...’, dan ‘wanita-wanita (isteri-isteri)-mu yang melakukan hal yang keji maka buatlah kesaksian...’, dan ‘mereka berdua yang mendatanginya di antara kamu, kemudian mereka menyakiti keduanya’.

Az-Zarkasyi menambahkan, dalam kaitannya dengan kata nakirah yang bermakna umum, selain konteks kalimat negatif dan larangan, konteks kalimat pertanyaan seperti dalam firman-Nya: hal ta’lamu lahu samiyya. Di tempat lain ia menambahkan gejala hadzf (pembuangan), khususnya pembuangan objek (maf’ul bih) di mana kata kerja transitif diperlakukan sebagai kata kerja intransitif untuk menunjukkan sifat keumumannya.[4]

Untuk lebih memperjelas penjelasan di atas, berikut diberikan contoh-contoh yang jelas dalam bentuk-bentuk lafadz ‘Am, yaitu:

1.     Lafadz kullun dan jami’un seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 185 dan surat al-Baqarah: 29.

كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ

Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.”

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا

Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.

2.     Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah), seperti al-ladzi, al-latii, al-ladziina, al-laatii, dan dzuu. Contohnya seperti firman Allah dalam surat An-Nisa: 10.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.

3.     Lafadz ma dan man yang mendapat jaminan balasan, seperti tersebut dalam firman Allah surat al-Baqarah: 272, dan surat An-Nisa: 123.

وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٢

Artinya: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”.



4.     Lafadz ayyun yang terdapat dalam suatu kalimat yang bersifat syarat (syarth). Seperti firman Allah dalam surat al-Isra’: 110.

أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ

Artinya: Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)”.

5.     Isim yang berbentuk jamak yang diawali alif dan lam. Seperti dalam firman Allah surat al-Maidah: 42.

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.

6.     Isim yang dinisbatkan (mudhaf), seperti firman Allah dalam surat Ibrahim: 34.

وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ

Artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya”.

7.     ‘Amr (perintah) dengan bentuk jamak (plural), seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah: 43.

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku´”.[5]



C.    Macam-macam ‘Amm

‘Amm terbagi atas tiga macam, yaitu:

1.     ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-‘amm al-baqi ‘ala ‘umumih)

Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafadz ‘amm kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi mengatakan, ‘amm demikian banyak terdapat al-Qur’an. Ia mengajukan beberapa contoh, antara lain:

وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ١٧٦

Artinya: Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa: 176)

وَلَا يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدٗا ٤٩

Artinya: “Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS. Al-Kahfi: 49)

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”. (QS. An-Nisa: 23)

2.     ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)

Misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran: 39.

فَنَادَتۡهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ ...

Artinya: “Kemudian Malaikat memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab”.

Yang memanggil Zakariya di sini adalah Malaikat Jibril.[6]



3.     ‘Am yang mendapat pengkhususan (al-‘ammu al-Makhshushu)

Contohnya seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 97.

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.[7]

Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal tidak termasuk anak-anak dan orang gila.

Contoh lain, firman Allah dalam surat At-Taubah: 120.

مَا كَانَ لِأَهۡلِ ٱلۡمَدِينَةِ وَمَنۡ حَوۡلَهُم مِّنَ ٱلۡأَعۡرَابِ أَن يَتَخَلَّفُواْ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ ...

Artinya: “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)”.

Penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang tersebut dalam nash ini adalah lafadz ‘am. Kedua lafadz ini khusus orang yang berkuasa yaitu orang yang memiliki kesanggupan berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Salam. ‘Am di sini maksudnya khusus dan tidak mengandung unsur-unsur umum.[8]



D.    Perbedaan Antara Lafazh Umum yang Bermakna Khusus dengan Lafazh Umum yang Dikhususkan

Perbedaan antara lafazh umum yang bermakna khusus (al-‘am al-murod bihil khushush) dengan lafazh umum yang dikhususkan (al-‘am al-makhshush) dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain:

1.     Yang pertama (al-‘am al-murod bihil khushush), tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafazh maupun dari hukumnya. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafazh, tidak dari segi hukumnya. Maka lafazh “an-nas” dalam firman Allah, “alladzina qala lahum an-nas,” meskipun bermakna umum tetapi yang dimaksud oleh lafazh dan hukumnya adalah hanya satu orang. Adapun lafazh “an-nas” dalam ayat “Wa lillahi ‘alan-nasi hijjul baiti,” maka ia adalah lafazh umum tetapi yang dimaksud adalah semua individu yang bisa dicakup oleh lafazh. Meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu saja di antara mereka secara khusus.

2.     Yang pertama (al’am al-murad bihil khushush) dapat dipastikan mengandung majaz, karena ia telah beralih dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang yang kedua, menurut pendapat yang lebih shahih adalah hakikat.

3.     Qarinah (ciri) bagi yang pertama pada umumnya bersifat rasional (‘aqliyah) dan tidak pernah terpisah, sedang ciri bagi yang kedua bersifat hanya lafzhiyah dan terkadang terpisah.[9]



E.    Khash

Khash adalah lafazh yang tidak dapat digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman Allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran anaknya, merupakan lafazh yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya, tidak mencakup selainnya.[10] Upaya pengkhususan disebut takhshish dan sesuatu yang mengkhususkan dinamakan dengan al-mukhashshish. Mukhashshish terbagi menjadi dua, yaitu pertama, mukhashshish yang tidak dapat berdiri sendiri dan maknanya berhubungan dengan sebelumnya, disebut dengan muttashil (bersambung). Mukhtashshish muttasil terbagi dalam lima macam:







1.     Istitsna (pengecualian)

Contohnya, firman Allah dalam surat an-Nur: 4-5

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ ...

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat ...”.



Perhatikanlah kalimat illal ladzina tabu pada ayat tersebut. Kalimat itu merupakan sambungan dari kalimat sebelumnya dan sekaligus menjadi pengkhusus dengan bentuk pengecualian.

2.     Shifat (sifat)

Contohnya pada firman Allah dalam surat an-Nisa: 23:

... وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ ...

Artinya: “(Diharamkan atas kamu mengawini) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.”

Kalimat al-lati dakhaltum bihinna, merupakan sifat terhadap nisa’ikum. Dengan demikian, maka makna ayat tersebut bahwasannya perempuan-perempuan yang menjadi anak tiri dan menjadi pemeliharaan dari seorang laki-laki (bapak tiri) adalah haram dikawini oleh bapak tirinya itu, jika ibu dari perempuan-perempuan itu telah dicampuri, tapi bila belum dicampuri, maka perempuan itu halal dikawini olehnya.



3.       Syarth (syarat)

Contohnya pada firman Allah dalam surat al-Baqarah: 180:

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”



Kalimat in taraka khairan (jika meninggalkan harta yang banyak) adalah merupakan syarat dalam wasiat yang dimaksud.

4.       Ghayah (batas)

Contohnya pada firman Allah dalam surat al-Baqarah: 196:

... وَلَا تَحۡلِقُواْ رُءُوسَكُمۡ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡهَدۡيُ مَحِلَّهُۥ...

Artinya: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.”

Kalimat hatta yublighal hadyu mahillahu merupakan batas awal bagi pelaksanaan ibadah mencukur rambut.

5.       Badalul ba’dhi minal kulli (mengganti sebagian dari keseluruhannya)

Contohnya pada firman Allah dalam surat Ali ‘Imran: 97:

... وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗا ...

Artinya:  “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya (Baitullah)”

Kedua, mukhtashshish yang berada di tempat lain, disebut munfashil (terpisah)[11]. Bentuk mukhtashshish munfasil bermacam-macam, yaitu:

1.       Yang di-takhshish oleh al-Qur’an, contoh:

a.      وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖ...

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...” (QS. al-Baqarah: 228)

Ayat ini di-takhshish oleh ayat:

... إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَا ...

Artinya: “... apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah ...” (QS. al-Ahzab: 49)

Dan di-takhshish oleh ayat:

... وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ ...

Artinya: “... dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (QS. ath-Thalaq: 4)

b.     حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ ...



Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah...”. (QS. al-Maidah: 3)

Keharaman memakan bangkai di atas di-takhshish oleh bangkai ikan pada ayat:

أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِ ...

Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan...”. (QS. al-Maidah: 96)

Sedangkan keharaman memakan darah di-takhshish oleh darah yang keras (hati) pada ayat:

... أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ...

Artinya: “... atau darah yang mengalir ...”. (QS. al-An’am: 145)

c.      ... وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡ‍ًٔا ...

Artinya: “... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun...”. (QS. an-Nisa: 20)

Ayat ini di-takhshish oleh ayat:

... فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦ ...

Artinya: “... Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya...”. (QS. al-Baqarah: 229)

d.     ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ ...

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)

Ayat ini di-takhshish oleh ayat:

... فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ ...

Artinya: “...maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25 ...فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ...

Artinya: “... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ...”. (QS. an-Nisa: 3)

2.       Yang di-takhshish oleh hadis, contoh:

a.       ... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ...

Artinya: “... padahal Allah telah menghalalkan jual beli ...”. (QS. al-Baqarah: 275)

Ayat ini di-takhshish oleh macam-macam jual beli yang rusak yang banyak dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi.

b.       ... وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْ...

Artinya: “...dan mengharamkan riba...”. (QS. al-Baqarah : 275)

Ayat ini di-takhshish oleh pinjaman-pinjaman tak berbunga yang telah dijelaskan oleh hadis.

c.       Ayat-ayat tentang saling memberi dan menerima warisan di-takhshish oleh pembunuh dan perbedaan agama sebagaimana dijelaskan oleh hadis.

d.       Keharaman bangkai di-takhshish oleh bangkai belalang yang telah dijelaskan oleh hadis

e.       Ayat tentang “tiga quru” di-takhshish oleh di antaranya ketentuan iddah bagi wanita hamba sahaya (al-amat)

f.        Air yang suci pada surat al-Furqan: 48 di-takhshish oleh air yang berubah (baik warna, bau, atau rasa) yang telah dijelaskan oleh hadis.

g.       Ketentuan hukum potong tangan bagi pencuri di-takhshish oleh pencuri yang mengambil harta yang bernilai di bawah seperempat dinar.

3.       Yang di-takhshish oleh ijma’, seperti ayat mawarits di-takhshish oleh ketentuan ijma’ bahwa seorang hamba sahaya tidak dapat menerima warisan, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Makkiyyun.

4.       Yang di-takhshish oleh qiyas, seperti ayat tentang perzinaan:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖ  ...

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera...”. (QS. an-Nur: 2)

Hamba sahaya pria diberi kekhususan karena diqiyaskan pada hamba sahaya wanita yang dijelaskan oleh ayat:

... فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ ...

Artinya: “...maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami...”. (QS. an-Nisa: 25)

Keterangan ini juga disampaikan oleh Makkiyyun.[12]

5.       Akal (mentakhshshish al-Kitab dengan akal)

Contohnya pada firman Allah dalam surat ar-Ra’du: 16:

... ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖ ...

Artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu.”

Akal kita menetapkan bahwa Dia bukan Pencipta bagi Dzat-Nya sendiri. Mentakhshish dengan akal ini bukanlah berarti memenangkan dalil akal daripada dalil syar’i tetapi merupakan upaya mengkompromikan keduanya, dikarenakan tidak adanya kemungkinan untuk menggunakan dalil syara’ tadi menurut keumumannya lantaran adanya pencegah yang mutlak (mani’un qath’iyyun), yakni logika.

6.       Indera

Apabila datang dalil syara’ dengan bersifat umum, sementara menurut indera bahwa yang dimaksud dengan umum itu adalah sebagian satuannya, maka indera tersebut telah berfungsi sebagai mukhashshish (pengkhusus) terhadap keumuman itu. Contohnya pada firman Allah dalam surat an-Naml: 23:

إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ

Artinya: “Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”

Di dalam ayat di atas, dilukiskan bahwa wanita tersebut dianugerahi segala sesuatu, tetapi indera kita menetapkan bahwa wanita itu tidak diberi segala sesuatu yang menjadi milik Nabi Sulaiman as.

7.       Siyaq

Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya pada firman Allah dalam surat al-A’raf: 163:

وَسۡ‍َٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ ...

Artinya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ?

Dalam ayat tersebut dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang keadaan desa. Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksudkan dengan desa itu adalah penduduknya.[13]



F.     Mekanisme Ke-khushush-an

Jika mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa perangkat kebahasaan maka masih terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat mengalihkan yang umum menjadi yang khusus, makna umum teks menjadi khusus. ke-khushush-an” secara bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal, seperti yang dikatakan oleh ahli fiqh: pertama, kata dengan format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut, tetapi maknanya khusus. Kedua, kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata tersebut).[14]

Bentuk-bentuk lafadz khusus terbagi menjadi empat, yaitu:

1.     Isim ‘alam, baik manusia seperti, Muhammad, Nuh, atau nama bagi benda seperti tuffahah, misymisy, nama bagi buah yang terkenal, seperti buah zaitun, buah tin, dan lain sebagainya.

2.     Isim yang di ma’rifatkan dengan al lil ‘ahdi, seperti perkataan ja-a ar-rajuulu, dan kita maksudkan terhadap seorang lelaki tertentu yang diketahui antara kita dan diantara orang yang diajak bicara.

3.     Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti perkataan dzalika, al-qadim, atau hadza al-jalisu.

4.     Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari dua, seperti tsalatsun atau khamsun.[15]




[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 179
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Penj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011, h. 312
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 179-181
[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2005, h. 248-250.
[5] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber, h. 175-178
[6] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu, h. 317
[7] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber, h. 179
[8] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Penj. Halimuddin, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, h. 232
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Penj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 277-278.
[10] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 183
[11] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, h. 179-182
[12]Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, Penj. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 182-188
[13] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber ,h. 184-185
[14] Ibid’, h. 258
[15] ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Penj. Yasin as-Siba’I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003, h.297.

1 comment:

Yaudah said...


JACKPOT yang besar hanya di AJOQQ :D
WA : +855969190856