Makalah
|
|
TAFSIR IJMALI DAN
TAFSIR TAHLILI
Oleh:
HADI
PRIADI
NIM.
1502521524
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak masa
Rasulullah dilakukan penafsiran Al-Quran untuk mengetahui apa saja maksud dan
makna yang terkandung di dalam Al-Quran, dalam hal itu rasulullah sebagai
mubayyin. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat dan tabi’in melakukan ijtihad
dalam menafsirkan Al-Quran dikarenakan munculnya berbagai persoalan baru yang
tidak ditemukan pada masa Rasulullah. Setelah itu, perkembangan zaman, ilmu
Islam dan ilmu pengetahuan membuat para ulama terdorong untuk mengkaji Al-Quran
lebih dalam, sehingga muncullah berbagai macam cara dan corak penafsiran
Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
tafsir ijmali, sejarah tafsir ijmali, ciri-ciri tafsir ijmali, kitab tafsir
dengan metode ijmali, kelebihan dan kekurangan metode ijmali.
2. Pengertian
tafsir tahlili, wujud tafsir tahlili, kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili.
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR IJMALI DAN TAHLILI
A. Tafsir
Ijmali
1. Pengertian
Tafsir Ijmali
Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsira yang
berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir
menurut pengertian bahasa adalah Al-kasf wa Al-izhhar yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa
tidak lepas dari kandungan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan
(menerangkan), Al-Kasyf (mengungkapan), Al-Izhar (menampakkan) dan Al-Ibanah
(menjelaskan.[1]
Adapun pengertian tafsir menurut
istilah, banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya, antara lain:
a.
Al-Kilby dalam at Tashiel mendefinisikan tafsir
sebagai berikut:
التفسير: شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او
اشارته او نجواه.
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya
dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya,
atau dengan tujuannya.”
b.
Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai
berikut :
اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ ﻮبيان معاﻧﻴﮫ واستخراج احكامه و حكمه.
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran
) yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna
Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
c.
Shahibut Taujih mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
التفسير
فى الحقيقة انما هو شرح اللفظ المستقلق عند السامع بما هو افصح عنده بما يرادفه او
يقاربه اوله دلالة عليه باِحدى طرق الدلالات
“Tafsir
pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami pendengar dengan
mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan
mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.[2]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad
manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.[3]
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti
ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahahan. Dengan demikian tafsir ijmali
adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi
kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian
apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.[4]
Dengan metode ini, mufasir
menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan
sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki.[5] Di
dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf,
kemudian mengemukakan makna secara gloal yang dimaksud oleh ayat tersebut.[6]
Penafsir dengan metode ini, dalam
penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan
idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-Quran. Sehingga pembacanya
merasakan seolah-olah Al-Quran sendiri yang berbicara dengannya.[7]
Mufasir berbicara kepada pembaca dengan cara termudah, sehingga memudahkan
pembaca untuk mengetahui kandungan Al-Quran.
Penafsir diharapkan dapat
menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia tidak perlu
menyinggung asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosa kata dan
segi-segi keindahan bahasa Al-Quran. Tetapi langsung menjelaskan kandungan ayat
secara umum atau hukum dan hikmah yang ditarik. Sang mufasir bagaikan
menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan telah
diiris-iris pula, sehingga siap untuk disantap.[8]
Pembahasan tafsir ijmali dapat meliputi
beberapa aspek dalam bahasa yang singkat semisal tafsir al-farid li Al-Quran Al
madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat), asbab nuzul dan
penjelasan singkat (al-ma’na) yang sistematikanya sering diubah-ubah.
Adakalanya mengedepankan mufradat kemudian asbab nuzul dan al-ma’na, tetapi
sering pula mendahulukan al-ma’na dan asbab nuzul.[9]
Selain itu ada kitab tafsir yang
menggunakan metode global yang mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan seperti tafsir Al-Jalalayin.[10]
Contoh tafsir Al-Jalalayin pada QS. Al-Baqarah ayat 138i-139:
صبغة الله ومن احسن من الله صبغة ونحن
له عبدون
صبغة الله (celupan
Allah), "mashdar" yang memperkuat "kami beriman" tadi.
Mendapat baris di atas, sebgai maf'ul muthlak dari fi'il yang tersembunyi yang
diperkirakan berbunyi "shabaghanallahu shibghah" artinya "Allah
mencelup kami suatu celupan". Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang telah
difitrahkan-Nya atas manusia dengan pengaruh dan bekasnya yang menonjol, tak
ubah bagai celupan terhadap kain. ومن (dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun
احسن
من الله صبغة (yang lebihbaik
celupannya dari Allah); shibghah di sini menjadi "tamyiz"- ونحن له عبدون (Dan hanya kepada-Nya kami menyembah).
Kata orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini Ahli Kitab yang pertama dan kiblat kami lebih tua, apalagi di kalangan Arab itu tidak pernah muncul seorang nabi pun. Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari golongan kami. Maka turunlah ayat:
Kata orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini Ahli Kitab yang pertama dan kiblat kami lebih tua, apalagi di kalangan Arab itu tidak pernah muncul seorang nabi pun. Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari golongan kami. Maka turunlah ayat:
قل اتحاجّزننا فى الله وهو ربّنا
وربكم ولنااعمالنا ولكم اعمالكم ونحن له مخلصون
) قلkatakanlah) kepada mereka: اتحاجّزننا (apakah
kamu hendak memperbantahkan) dengan kami فى الله (tentang Allah) karena Ia memilih seorang nabi dari kalangan
Arab? وهو ربّنا وربكم (padahal Ia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu) dan berhak memilih
siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya ولنااعمالنا (dan bagi kami amalan kami) sehingga akan beroleh balasan
daripada-Nya ولكم اعمالكم (dan bagi kamu amalan kamu) dan kamu akan
beroleh balasan-Nya pula, dan tidak mustahil jika di antara amalan-amalan kami
itu ada yang patut menerima ganjaran istimewa ونحن له مخلصون (dan
hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan agama) dan amalan kami; berbeda halnya
dengan kamu, sehingga sepatutnyalah kami yang dipilih-Nya. "Hamzah"
atau "apakah" di atas, maksudnya menolak, sedangkan ketiga kalimat di
belakang berarti "hal".
2. Sejarah
Tafsir Ijmali
Sejarah tafsir
telah dimulai pada masa Rasulullah Saw, orang pertama yang menguraikan
maksud-maksud Al-Quran dan menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan
Allah kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari para sahabat yang berani
menafsrkan Al-Quran.[11]
Pada saat sahabat tidak memahami maksud dan kandungan suatu ayat Al-Quran,
mereka menanyakannya kepada Nabi. Hal ini menunjukkan posisi Nabi sebagai
mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.[12]
Para
sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw secara musyafahat (dari
mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin
(pembukuan ilmu-ilmu Islam), termasuk ilmu tafsir sekitar abad ke 3 H.[13]
Sepeninggal
Nabi, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti. Munculnya persoalan-pesoalan
baru mendorong umat Islam generasi awal untuk mencurahkan perhatiannya dalam
menjawab persoalan umat. Dalam menafsirkan Al-Quran pada masa itu, pegangan
utama para sahabat adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di kemudian hari nanti
dikenal dengan tafsir bil ma’tsur (penafsiran yang sumbernya dari riwayat),
cara ini kemudian dikenal dengan metode penafsiran riwayah.[14]
Sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M.
Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai
dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan metode
Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan
Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut
Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[15]
Contoh penafsiran Al-Quran pada masa
Rasul dan sahabat, kata zhulmin pada surah Al-An’am ayat 82 :
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbr߉tGôg•B ÇÑËÈ
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka
Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Kata zhulmin pada ayat tersebut
ditafsirkan Rasul dengan syirik yang terdapat pada sural Luqman ayat 13[16]:
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
3.
Ciri-ciri
Tafsir Ijmali
a.
Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
b. Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
c. Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok
ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas dan global.
d. Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara
nash ayat dengan tafsirnya.
e. Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
4.
Kitab
Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode ijmali yaitu:
a.
Tafsir al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din
as-Suyuthy dan Jalal ad-Din al-Mahally.
b.
Tafsir Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz
Muhammad Farid Wajdy.
c.
Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya
Syaikh Husanain Muhammad Makhlut.
d.
Tafsir Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun
oleh Al-Fayruz Abady.
e.
Tafsir al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian
Universitas Al-Azhar, Mesir, karya suatu Commite Ulama.
f.
Tafsir al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil
Isa.
g.
Tafsir al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi
Urusan Umat Islam, karya suatu Commite Ulama.[18]
5.
Kelebihan
dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Di antara kelebihan metode tafsir ijmali:
a.
Pesan-pesan dari Al-Quran mudah dipahami.[19]
b.
Bebas dari penafsiran isra’iliyat.
c.
Akrab dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan
makna sinonim).[20]
Di antara kekurangan metode tafsir ijmali
adalah penafsirannya dangkal, berwawasan sempit, tidak komprehensif.[21]
B.
Tafsir
Tahlili
1.
Pengertian
Tafsir Tahlili
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas
atau terurai. Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah metode penafsiran
ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian
makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/
urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn sedikit
banyak melaukan analisis di dalamnya.[22]
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya. Dalam
metode tafsir tahlili, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah
tersusun dalam Mushaf Utsmani. Penafsir mulai menganalisis ayat dengan
mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global
ayat. [23]
Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan
ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan
keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan
ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum
kosa kata ayat, munasab ayat, asbab nuzul (kalau ada), makna global ayat, hukum
yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan aneka pendapat ulama
mazhab. Ada juga yang menambah aneka uraian tentang qiraat, I’rab ayat ayat
yang ditafsirkan, serta keistemewaan susunan kata-katanya.[24]
Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk
riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun
ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah israiliyat. Oleh karena pembahasan yang
terlalu luas itu maka tidak tertutup kemungkinan penafsirannya diwarnai
subjektivitas penafsir, baik latar belakang keilmuan maupun aliran mazhab yang
diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan khusus yang
teraplikasikan dalam karya mereka.[25]
Metode tahlili atau yang dinamai oleh Baqir
al-Shadr sebagai metode tajzi’iy menguraikan segala segi yang dianggap perlu
oleh seorang mufasir, bermula dari arti kosa kata, asbab nuzul, munasabah, dan
lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walaupun
dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena
seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat
yang lain.[26]
Uraiannya melebar sehingga terhidang aneka hidangan yang bisa jadi sebagian di
antaranya tidak diperlukan oleh pembacanya[27]
2.
Wujud
Tafsir Tahlili
Metode tahlili kebanyakan dipergunakan para
ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian pola
pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat
(ijaz) dan sebagian mengikuti pola secukupnya (musawah). Mereka sama-sama
menafsirkan dengan metode tahlili, namun dengan corak yang berbeda-beda.
Para ulama membagi wujud tafsir tahlili kepada
tujuh macam, yaitu: tafsir bil ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir
fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
a.
Tafsir bil ma’sur
Tafsir bil ma’sur adalah penafsiran ayat
dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil
ijtihad para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
Di antara kitab tafsir bil ma’sur adalah kitab
jami’al bayan fi tafsir Al-Quran karya Ibnu Jarir Ath-Thabary dan tafsirul Quranul
Karim karya Ibnu Katsir.[28] Contoh tafsir bil ma’sur
Ibnu Katsir QS. Ibrahim ayat 1, 2 dan 3:
الر كتب أنزلنه إليك لتخرج الناس من
الظلمت إلى النور بإذن ربّهم إلى صرط العزيز الحميد ﴿1﴾ الله الذى له مافى السموت
وما فى الأرض وويل للكفرين من عذاب شديد ﴿2﴾ الذين يستحبّون الحيوة الدنيا على
الأخرة ويصدّون عن سبيل الله ويبغونها عوجا أولئك فى ضلل بعيد ﴿3﴾
Alif lam ra.Kitab
yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan dari Yang
Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (1) Allah yang memiliki apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang
sangat keras.(2) Orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada
kehidupan akhirat, menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkannya
bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. Pembicaraan mengenai
huruf yang terputus-putus telah dikemukakan pada beberapa awal surat.
"Kitab yang Kami turunkan kepadamu" yakni kitab ini Kami
menurunkannya kepadamu, hai Muhammad, Kitab itu ialah al-Quran yang agung. Ia
merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab yang diturunkan Allah dari
langit; diturunkan kepada Rasul yang paling mulia. Dia diutus Allah di muka
bumi ke seluruh penghuninya baik bangsa Arab maupun asing. "supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya", yakni dari gelapnya
kesesatan dan penyimpangan kepada petunjuk dan kelurusan. Hal ini sebagaimana
Allah berfirman, "Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Pelindung-pelindung kaum
kafir adalah thagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan."
Firman Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah Yang menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya hidayah melalui RasulNya yang diutus atas perintahNya. Dia menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak dapat dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara selain-Nya. Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh perbuatan, perkataan, syariat, perintah, dan larangan-Nya, Yang Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras". Yakni, kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran mereka menyalahimu, hai Muhammad, dan mendustakanmu. Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka mendahulukan dan memprioritaskan kehidupan dunia atas akhirat, "mereka menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari jalan Allah dan menginginkannya bengkok." Yakni, mereka menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan condong. Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya. Keinginan mereka yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang jauh dari kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
Firman Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah Yang menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya hidayah melalui RasulNya yang diutus atas perintahNya. Dia menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak dapat dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara selain-Nya. Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh perbuatan, perkataan, syariat, perintah, dan larangan-Nya, Yang Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras". Yakni, kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran mereka menyalahimu, hai Muhammad, dan mendustakanmu. Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka mendahulukan dan memprioritaskan kehidupan dunia atas akhirat, "mereka menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari jalan Allah dan menginginkannya bengkok." Yakni, mereka menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan condong. Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya. Keinginan mereka yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang jauh dari kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
b.
Tafsir bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi adalah penafsiran Al-Quran
dengan ijtihad dan penalaran. Tafsir bil ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi
pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’sur, meskipun telah terdapat upaya
sebagian kaum muslimin yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran
dengan ijtihad, khususnya zaman sahabat sebagai tonggak munculnya ijtihad dan
istinbath dan periode tabi’in.
Tafsir bil ra’yi tidak semata-mata didasari
pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak.
Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’yi bersifat lebih selektif
terhadap riwayat, sehingga secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya
jauh lebih kecil disbanding dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan
tafsir metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari penggunaan rasio
meskipun jumlahnya sangat kecil.[29]
Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan
dan peradaban, ilmu agama dan pengetahuan berkembang mencapai puncak
kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan produksi kertas telah
dilakukan, hal itu memungkinkan dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan
memperbanyak kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda, banyak
timbul golongan-golongan dalam Islam, ada di antara ulama yang fanatic terhadap
mazhab yang diikuti kemudian berusaha menafsirkan Al-Quran sesuai dengan
mazhabnya serta melegitimasi mazhabnya dengan ayat-ayat Al-Quran, dan lahir
kitab-kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai dengan bidang ilmu
pengarangnya, maka lahirlah bermacam-macam corak tafsir.
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bil ra’yi
ada yang diterima dan ada yang ditolak. Tafsir bil ra’yi dapat diterima apabila
mufasirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafaz-lafaz arab dan cara
penunjukkannya (dilalah) atas maknya yang dikehendaki, sebab turun ayat, nasikh
dan mansukh, benar aqidahnya dan menjadikan sunnah Rasulullah Saw sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Selain itu ia harus berpegang
kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasul dan para sahabat serta menguasai
ilmu-ilmu yang dibutuhkan sebagai mufasir, yaitu ilmu bahasa arab, nahwu,
sharaf, ma’any, bayan, qiraah, ushul ad-din, ushul fiqh, ulum al-hadis serta
ilmu al-mawhibah yaitu ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambanya yang
‘alim yang mengamalkan apa yang diketahuinya.[30]
Selain dari aspek intelektual di atas, para
ulama juga membuat kualifikasi dari aspek moral. Penafsir yang menggunakan
metode ra’yi juga harus dituntut memiliki aspek mental dan moral terpuji,
jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa
nafsu duniawi dan kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu.
Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti
metode ini adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Anwar al-Tanzil
karya al-Baidhawi.[31]
Salah satu contoh penafsiran
bil ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al Mahalli dan Imam as
Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ tafsir jalalayin “, mengenai
surat al-isra’ ayat 85:
ويسأ لو نك عن ا لروح قل ا لروح من
امرربىومااوتيتم من العلم الا قليلا
Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk
tafsir bi al-ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan
penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan
mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
c.
Tafsir Sufi
Tafsir sufi identik dengan tafsir al-isyari,
yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran yang lebih menitikberatkan kajiannya
pada makna batin. Penafsir yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal
dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan batin dibandingkan
masalah zahir dan batin.[32]
Terdapat dua wujud tafsir sufi, yaitu teoritis
dan praktis:
1.
Tasawwuf Teoritis
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya
mengemukakan: apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh shufi tentang Al-Quran
adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang
berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh
untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan
pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan
iman dan pengetahuan yang sejati.[33]
Al-Alusi
berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah QS. 2: 45), sebagai
berikut:
Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu'
Bahwa
shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajalli (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali
orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya tajalli Allah.
Merekalah orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan
Allah,dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat
kemanusiaan mereka dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa)[34]
Tidak
pernah karya yang lahir dari aliran ini. Hanya karya-karya penafsiran ayat-ayat
Al-Quran secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi yang bernama kitab
al-Futuhat al Makkiyah dan al-Fushush.[35]
2.
Tasawwuf Praktis
Tasawuf praktis adalah cara hidup yang
berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, menjaga diri dari segala kenikmatan,
memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan diri dalam taat
kepada Allah.[36]
Di antara kitab tafsi tasawuf praktis ini
adalah tafsir Al-Quranul karim oleh Tutsuri dan Haqaiq al-tafsir oleh
as-Sulami.[37]
d.
Tafsir Fiqhi
Penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh tokoh
suatu mazhab untuk dapat dijadikan sbagai dalil atas kebenaran mazhabnya.
Tafsir fiqhi banyak ditemukan oleh kitab-kitab fiqhi karangan imam-imam dari
berbagai mazhab yang berbeda. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab ahkam
Al-Quran karangan al-Jasshash. Dalam tafsir al-Jasshash nampak menganut paham
mu’tazilah, misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia tidak dapat dicapai
oleh penglihatan mata (QS. Al-An’am:103). Makna ayat ini adalah ia tidak
dapat dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan
penglihatan mata seperti firman-Nya: … tidak mengantuk dan tiak tidur… (QS.
Al-Baqarah: 255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya maka
penetapan kebalikannya adalah celaan dan penghinaan, karena itu tidak
diperkenankan menetapkan kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan
peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan kebalikannya tidak
diperkenankan karena hal demikian berarti menetapkan sifat aib dan kurang bagi
Allah.
e.
Tafsir Ilmi
Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat
kauniyah yang terdapat dalam Al-Quran dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang ini. Di antara kitab tafsir
ilmi adalah al-Islam yatahadda karangan Allamah Wahid al-Din Khan.
Contoh tafsir ilmi dalam penafsiran M. Abduh
terhadap QS. Al-Fil ayat 3-4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung
ababil) diartikan dengan mikroba dan kata al-hijarah (batu) diartikan
dengan kuman penyakit.
f.
Tafsir Falsafi
Aliran ini menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
dengan menggunakan teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mencari titik temu
antara filsafat dan agama serta berusaha
menyingkirkan segala pertentangan di antara keduanya.[38]
Pada masa khalifah Abbasiyah, buku-buku asing
diterjemahkan ke dalam bahasa arab, di antaranya buku karangan para filosof
seperti Aristoteles dan Plato. Menyikapi hal ini, ulama terbagi menjadi 2
golongan:
Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu
yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka tidak mau menerimanya,
mereka memahami ada di antaranya yang bertentangan dengan aqidah dan agama.
Mereka menyerang faham-faham yang ada di dalamnya, membatalkan
argument-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum
muslimin. Di antara yang menyerang filosof dan filsafat adalah hujjah al-Islam
imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Karena itu ia mengarang kitab Al-Isyarat dan
kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina, Ibnu Rusy, demikian
pula imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka
dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena dinilai
bertentangan dengan agama dan Al-Quran.
Golongan kedua, sebagian ulama
justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak
bertentangan dengan norma-norma (dasar Islam), berusaha memadukan antara
filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara
keduanya. Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan
teori-teori filsafat, akan tetapi mereka gagal, karena nash Al-Quran tidak
mengandung teori-teori mereka.
Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi
menanggapi sikap golongan ini, beliau berkata: kami tidak pernah mendengar ada
seorang filosof yang mengarang satu kitab tafsir Al-Quran yang lengkap. Yang
kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian pemahaman-pemahaman mereka
terhadap Al-Quran yang dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[39]
g.
Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’i
Penafsiran dengan corak ini cenderung kepada
persoalan sosial kemanusiaan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir
jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan
perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.[40]
Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi dalam kitabnya
alTafsir wa al-Mufassirun menerangkan sifat kitab-kitab tafsir yang lahir
dengan corak adaby dan menekankan segi kemasyarakatan sebagai berikut:
Kelompok ulama yang menafsirkan Al-Quran
dengan corak ini mampu mengungkapkan
segi balaghah Al-Quran dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran
yang dituju oleh Al-Quran, mengungkapkan hokum-hukum dan tatanan kemasyarakatan
yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat dengan mengedepankan
petunjuk Al-Quran, memadukan Al-Quran dengan teori ilmiah yang benar,
menegasjan bahwa Al-Quran mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia. Di
antara kitab-kitab tafsir yang ditulis dengan corak ini yaitu tafsir al-Manar
karya Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran karya
syaikh Al-Maraghy, Tafsir Alquranul Karim karya Syaikh Mahmud Syaltut, tafsir
al-Wadlih karya Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.[41]
Contoh tafsir Al-Maraghy pada QS. Al-Bayyinah:
1:
لم
يكن الّذين كفروا من أهل الكتب والمشركين منفكين حتّى تأتيهم البيّنة
Penjelasan:
Orang-orang yang
mengingkari risalah Muhammad saw dan meragukan kenabiannya, yakni kaum musyrikin dan
Nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkan pegangan mereka
karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah meninggalkan kebenaran
dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sekalipun
pada kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali permasalahan
agama. Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajaran yang
menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka,
disamping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya
terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka
mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa apa yang didatangkan Muhammad adalah
sama dengan yang ada di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa
yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa yang
ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka
adalah lebih baik dan patut, bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena
dianggap akan membawa keselamatan.
3.
Kitab Tafsir Tahlili
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan
metrode tahlili ialah:
a.
Jami’
al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir ath-Thabari.
b.
Tafsir
Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi al-Fida Ismail bin Katsir
al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.
Tafsir
al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.
Al-asyif
wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.[42]
4.
Kelebihan dan Kekurangan
Di antara kelebihan tafsir tahlili adalah:
a.
Pembahasannya
luas.
b.
Corak
tafsir yang bervariasi.
Di antara kekurangan tafsir tahlili adalah:
a.
Penafsiran
tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar.[43]
b.
Bertele-tele.[44]
c.
Terdapat
hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca.[45]
d.
Peluang
masuknya cerita ista’illiyat lebih besar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang
dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan
yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan
luas, juga tidak dilakukan secara rinci. Sahabat
dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir
bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran
yang menerapkan metode Ijmali.
Ciri-ciri tafsir ijmali yaitu: urutannya sesuai
dengan urutan mushaf, mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, setiap surat dibagi
menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan secara ringkas dan global, sebagian
lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat dengan tafsirnya, lafal dan
bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran, mufasir tidak banyak mengemukakan
pendapat dan idenya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode ijmali yaitu: tafsir al-Jalalayin karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan
Jalal ad-Din al-Mahally, tafsir Al-Quran al-‘Adhim karya ustadz Muhammad Farid
Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran karya Syaikh Husanain Muhammad
Makhlut. Di antara kelebihan metode tafsir ijmali: pesan-pesan dari Al-Quran
mudah dipahami, bebas dari penafsiran isra’iliyat, akrab dengan bahasa
Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim). Di antara kekurangan metode tafsir
ijmali adalah penafsirannya dangkal, berwawasan sempit, tidak komprehensif.
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya. Di antara kelebihan tafsir tahlili adalah
pembahasannya luas, corak tafsir yang bervariasi. Di antara kekurangan tafsir
tahlili adalah penafsiran tidak tuntas disebabkan pembahasan yang melebar, bertele-tele,
terdapat hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca, peluang masuknya
cerita ista’illiyat lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridi, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994).
Anwar, Rosihan, Ulum
Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia, 2003).
Ash
Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang
Indonesia, 1992).
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002).
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi
Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Salim, Abd. Muin, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010).
Shihab, M. Quraish, Kaidah
Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Suma, M. Amin, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001).
, Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2013).
[1] Rosihan
Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia, 2003), Cet. Ke-5, h. 209
[2] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 152
[3]
Rosihon Anwar, Op.Cit, h. 211
[4] M.
Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), Cet.
Ke-1, h. 381
[5]
Ali Hasan Al-Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), Cet, Ke-2, h. 73
[6]
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010), Cet.
Ke-3, h. 47
[7]
Ibid, h. 45
[8]
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013),
Cet. Ke-2, h. 381
[9] M.
Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Frdaus, 2001),
Cet. Ke-1, h. 113
[10] Ibid,
h. 114
[11]
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-1
[12]
M. Amin Suma, Metodologi Ilmu Tafsir,
Op.Cit, h. 40
[13] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
Cet. Ke-1, h. 41
[14] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 41
[15] http://juniantositorus.blogspot.co.id/2012/05/metode-tafsir-ijmali.html, akses pada tanggal 20 September 2015 pukul
09.13 WITA
[16] Nashruddin Baidan, Op.Cit, h. 41
[17] https://mahadulilmi.wordpress.com/2013/09/19/tafsir-ijmali/,
akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 12.13 WITA
[18]
Ali Hasan Al-‘Aridi, Op.Cit, h. 74
[19]
M. Amin Suma, Ululul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[20] http://juniantositorus.blogspot.co.id/2012/05/metode-tafsir-ijmali.html,
akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 11.39 WITA
[21]
M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[22] M.
Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Op.Cit, h. 110
[23]
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), Cetakan pertama, h. 67
[24]
M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 378
[25]
Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 42
[26]
Rohimin, Op.Cit, h. 68
[27]
M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 381
[28]
Rohimin, Op.Cit, h. 70
[29]
Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 43
[30]
Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 49
[31]
Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[32]
Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[33]
Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 55
[34] Ibid,
h. 56-57
[35]
Rohimin, Op.Cit, h. 72
[36]
Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 57
[37]
Rohimi, Op.Cit, h. 72
[38] Ibid,
h. 72-73
[39]
Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 61-62
[40]
Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 45
[41]
Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 71-72
[42]
M. Amin Suma, Ulumul Quran, Op.Cit, h. 380
[43]
M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, h. 112
[44]
M. Quraish Shihab, Op.Cit, H. 379
[45] Ibid,
h. 381
No comments:
Post a Comment