MAKALAH
A. Pengertian Nasikh, dan Mansukh
Sebelum mengenal tentang pengertian nasikh dan mansukh, terlebih
dahulu mengenal naskh. Karena
naskh merupakan asal kata dari nasikh dan mansukh. Naskh dari segi bahasa mempunyai arti yang
bermacam-macam. Diintaranya adalah menghapus, menukar, mengubah, dan bisa juga
memindahkan.
Menurut ahli ushul fikih, naskh ialah:
“membatalkan penerapan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang kemudian,
untuk kemaslahatan umat.[1]
Dalam
Al-Qur’an surah Al Hajj ayat 52, pengertian naskh adalah menghilangkan
(izalah). Pengertian ini bisa dilihat dari arti ayat tersebut yang berbunyi:
“Maka Allah menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan
ayat-ayat-Nya.” Kata menghilangkan itulah salah satu yang menjadi acuan nasikh
dan mansukh.
Dalam firman Allah yang lain, yaitu Al-Qur’an
surah An Nahl ayat 16, naskh memiliki pengertian mengganti atau menukar
(tabdil). Pengertian ini bisa dilihat dari arti ayat tersebut yang berbunyi:
“Dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang
lain.”
Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai
dalam beberapa arti, antara
lain, pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain,
pengubahan, dan sebagainya.[2]
Jadi, dari pengertian naskh tersebut dapat diketahui. Bahwa sesuatu yang menghapus,
mengubah, memindahkan, membatalkan, dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan
yang dihapus, diubah, dipindahkan, dibatalkan, dan sebagainya dinamakan mansukh. Dengan kata lain bahwa yang me-naskh itu di
sebut nasikh dan yang di-naskh itu disebut mansukh.
Dari segi terminologi pengertian naskh juga
mengalami perbedaan. Menurut Al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M. Qurais
Shihab menyatakan para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) mmperluas
arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu
oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum
oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang
datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat
terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[3]
Dari beberapa pengertian tersebut naskh bisa diartikan menghapus
atau menghilangkan suatu perkara dengan perkara lain. Di mana di dalam naskh itu
sendiri ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang
menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan
oleh perkara lain.
B. Syarat-Syarat
Nasikh dan Mansukh
Adapun syarat-syarat naskh yang dikemukakan
oleh ulama-ulama yang mengakui adanya naskh adalah sebagai berikut:
1. Hukum
yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i
yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh
3. Khitab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut.[4]
Adapun syarat-syarat nasikh dan mansukh yang
merupakan bagian naskh, yaitu:
1. Hukum yang dinaskh-kan harus berupa
hukum syarak, bukan hukum lain seperti hukum akal atau hukum buatan manusia.
2. Dalil yang digunakan untuk
mengangkat hukum itu ialah dalil syara’ yang datangnya kemudian dari teks yang
dimansukh-kan hukumnya.
3. Dalil/ketentuan nasikh harus terpisah dengan dalil/ketentuan
mansukhnya.
4. Dalil nasikh harus lebih kuat atau minimal
sama kuat dari dalil mansukh.
5. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus
setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.
6. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada
pertentangan yang nyata.
C. Macam-Macam Naskh
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, naskh dibagi menjadi empat
macam yaitu:
1.
Naskh Sharih, yaitu ayat
yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal
ayat tentang perang, pada ayat 65 surah Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu
orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال ان يكن منكم
عشرون صا برون يخلبوا مائتين وا
يكن منكم مائة يخلبوا الفا
من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهون .
Artinya “Hai
Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka
dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang
tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh
oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat
66 dalam surat yang sama :
الئن خفف الله عنكم وعلم
ان فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا ما ئتين وان يكن منكم
الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين .
Artinya :
“ Sekarang
Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu
orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (
QS.Al-Anfal : 66 )
2. Naskh dhimni, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu. Misalnya, ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan
‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
3. Naskh kully,
yaitu
menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya, ketetapan Allah
yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam
surat Al-Baqarah (2): 180
كتب عليكم اذاحضراحدكم
الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين . ( البقرة
: ١٨٠)
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“
Ayat ini di-naskh oleh ayat mawaris
yaitu dalam surah An Nisa (4): 11-14
4.
Naskh juz’i, yaitu
menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya
berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat mutlaq
dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4,
dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh
suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Selain itu
ada juga naskh yang terbagi
menjadi tiga bentuk, yaitu naskh menurut Nashruddi Baidan yang dikutip oleh Ida Norleana dalam makalah yang
telah dipresentasikan pada perkuliahan Qawaid al-Tafsir Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin di bawah bimbingan “Prof.
Dr. H. A. Athaillah, M.Ag”,
yaitu: naskh hukum
sedang tilawahnya tetap, naskh hukum dan
tilawah, naskh tilawah sedang
hukumnya tetap.
1. Naskh
hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah
Al-Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian dinasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh
hari seperti ditetapkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 234(ayat 240 turun lebih
dahulu daripada ayat 234).
Lalu timbul pertanyaan. Apakah hikmah
penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al-Qur’an di samping
dibaca untuk diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al-Qur’an sebagai
Kalamullah yang membacanya mendapat pahala.(2) Pada umumnya naskh itu untuk
meringankan, sehingga dengan tetapnya
tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya
kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus. Ini pendapat mereka yang menerima
adanya naskh.
b. Naskh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun
hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat Al-Qur’an.
Bentuk ini menurut sebagian besar ulama
tidak terdapat dalam Al-Qur’an, karena ayat-ayat Al-Qur’an sejak
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga
sekarang, tidak ada yang berubah atau
berkurang. Naskh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci
terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh
Al-Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa naskh
hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al-Qur’an seperti yang diriwayatkan
oleh Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata: “Diantara
yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu
menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinaskh oleh lima susuan yang
diketahui. Maka
ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al-Qur’an yang baca”.
Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Al-Qur’an yang dibaca”,
pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian
halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian
dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika
beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah di-naskh(dihapuskan)
tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah
Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih
tetap membacanya.
c. Naskh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap
Menurut
sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi
terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang
disebut”Syar’un man qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum
syari’at itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi
anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab
suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang
berpendapat bahwa naskh tilawah tetapi hukumnya tidak dinaskh ada juga dalam Al-Qur’an, yaitu
tentang hukum rajam, ayat yang telah dinaskh dan kini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu: “Orang
tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam
kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[5]
D. Pembagian Naskh
Para
ulama yang mengakui
adanya nasikh dan mansukh, membagi naskh menjadi tiga
bagian, yaitu naskh sunnah dengan Al-Qur’an, naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan naskh Al-Qur’an dengan
sunnah.
1. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian
dinaskh dengan dalil Al-Qur’an. Seperti
shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di
Masjidil Haram setelah turun ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah/2 ayat 144:
ﻓﻮ لﻮﺟﻬﻚ ﺷﻄﺮ ا ﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻢ...
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram…
(Al-Baqarah:144)
Contoh lain tentang
kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib,
tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan,
yaitu turunnya surah Al-Baqarah/2 ayat 185, yang artinya berbunyi: “Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di
dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang
batil). Karena itu barang
siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(A-Baqarah/2:185)[6]
Namun naskh seperti
itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan,
menurut Syafi’i; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an,
dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut
beliau antara kitab dengan sunnah harus
senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[7]
2. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an kemudian di-naskh dengan dalil
ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan
mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, berdasarkan
surah Al-Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang
menerima adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an ini, bahwa
adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dapat
diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga
hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu
diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam
menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak
ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Mengetahui.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al-Qur’an memang telah
menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al-Qur’an yang ada
sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut para ulama yang
menolak adanya naskh adalah sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surah Fussilat(41) ayat 42 yang artinya, yaitu: “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Karena tidak ada
satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat
Al-Qur’an yang di-naskh atau mansukh.
Ayat-ayat Al-Qur’an memang telah menaskh ayat-ayat
dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat
demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim Al Isfahani, seorang
mufassir yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat
demikian bahwa sesama Al-Qur’an tidak ada
yang nasikh dan mansukh.
Beberapa ulama yang mendukung
pendapat Abu Muslim tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Dr.
H.A. Athaillah, M.Ag dalam makalah beliau, yang dikutip oleh Ida Norlena dalam tugasnya, yaitu Fakhuruddin Al Fizi, seorang ahli
tafsir dan tokoh dikalangan Ahlussunnah wa Al-Jamaah. Di era modern pendapat
Abu Muslim tersebut didukung oleh Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad
Rasyid Ridla, Maulana Muhammad Ali, Jamaluddin Al Asimi, Abd Al Muta’al Al
Jabari, Abd Al Karim Al Khatib, dan Dr. Ahmad Hijazi Al Saqa.[8]
3. Naskh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang
didasarkan pada dalil ayat Al-Qur’an di-naskh dengan dalil
sunnah. [9] Naskh
jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
a. Naskh Al Qur’an
dengan hadits mutawatir
Naskh jenis ini
dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab
masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah
firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4.
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya: “Dan kami turunkan
kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka”.
Sementara itu menurut
Asy Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya
yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam penggalan
surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “Apa saja ayat yang kami
naskhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih
baik atau yang sebanding denganya...”
Sedang hadits
menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an.[10] Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada naskh Al- Qur’an dengan sunnah, karena Al-Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak
mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al-Baqarah ayat 106
telah disebutkan bahwa dalil yang me-naskh yaitu lebih
baik dalam arti kuat dari pada dalil yang di-naskh, atau
setidaknya sama.
b. Naskh Al-Qur’an dengan hadits
ahad
Jumhur ulama berpendapat, Al-Qur’an tidak
boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak
sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang
maznun(diduga).
Pembahasan tentang naskh yang meliputi
nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an menghasilkan pendapat yang berbeda diantara
para ulama. Ada yang pro dengan adanya naskh dan ada juga yang kontra. Perbedaan
pendapat itu tentulah dengan dasar-dasar yang sudah mereka teliti terlebih
dahulu.
Ulama
yang menerima adanya naskh ini menyatakan naskh adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Dimana perbuatan
Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Hanya saja naskh
ini ada sebelum Nabi Muhammad SAW,. Wafat. Setelah beliau wafat maka tidak ada
lagi naskh. Dan naskh bisa dilakukan jika terdapat dua ayat hukum yang saling
bertolak belakang dan tidak dapat di
kompromikan, serta harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya
ayat-ayat tersebut.
Sementara
ulama yang menolak adanya naskh menyatakan dalam Al-Qur’an tidak ada kebatalan
ataupun kesalahan, maka naskh juga tidak akan terjadi, perlu peninjauan lebih
lanjut tentang dalil yang dijadikan sebagai patokan adanya naskh, tidak adanya
kesepakatan para ulama tentang jumlah ayat yang telah di naskh, dan sebagainya.
Yang alasan-alasan ini bisa ditemukan dalam buku “Wawasan Baru Ilmu Tafsir
karya Nashruddin Baidan”.
Dari perbedaan pendapat tentang naskh
ini akhirnya muncullah telaah yang mendalam tentang naskh. Dimana para ahli
tafsir mengemukakan argument-argument yang meyakinkan bahwa ayat-ayat yang
dianggap termasuk nasikh dan mansukh dan seakan-akan bertentangan ternyata bisa
dikompromikan. Sedangkan hadits yang di-naskh oleh ayat Al-Qur’an hal tersebut
nyata adanya. Dan ayat Al-Qur’an yang di-naskh oleh hadits para ulama sepakat
menyatakan tidak ada.
[1] ‘Abd al-Wahhab Khallaf,
“Ilm Ushul al-Fiqh, t.tp., al- Dar al- Kuwaytiyyat, cet. Ke-8, 1968, h. 222
[2] M. Quraish Shihab.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Cet. XXVII; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 143
[3] Ibid. h. 144
[4] Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Cet ke-4; Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, h. 286
[5] Ida Norlena, dkk, Qawaid al Tafsir (Nasikh dan Al
Mansukh), Yogyakarta: CV Aswaja
Pressindo, 2014. h. 157-160.
[6] Departement
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta:1985, h. 45.
7 Manna’Khalil
al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj.
Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an (Cet.14;
Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h 335.
[8] Ida Norlena, dkk, Qawaid al Tafsir (Nasikh dan Al
Mansukh), op cit, h. 155-156.
[9] Departemen
Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op
cit h 260-262
No comments:
Post a Comment