Thursday, 6 August 2020

nasikh dan mansukh (Makalah Ulumul Qur'an)


MAKALAH



 A. Pengertian Nasikh, dan Mansukh

        Sebelum mengenal tentang pengertian nasikh dan mansukh, terlebih dahulu  mengenal naskh. Karena naskh merupakan asal kata dari nasikh dan mansukh. Naskh dari segi bahasa mempunyai arti yang bermacam-macam. Diintaranya adalah menghapus, menukar, mengubah, dan bisa juga memindahkan.

         Menurut ahli ushul fikih, naskh ialah: “membatalkan penerapan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang kemudian, untuk kemaslahatan umat.[1]

       Dalam Al-Qur’an surah Al Hajj ayat 52, pengertian naskh adalah menghilangkan (izalah). Pengertian ini bisa dilihat dari arti ayat tersebut yang berbunyi: “Maka Allah menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.” Kata menghilangkan itulah salah satu yang menjadi acuan nasikh dan mansukh.

         Dalam firman Allah yang lain, yaitu Al-Qur’an surah An Nahl ayat 16, naskh memiliki pengertian mengganti atau menukar (tabdil). Pengertian ini bisa dilihat dari arti ayat tersebut yang berbunyi: “Dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain.”

        Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain, pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya.[2] Jadi, dari pengertian naskh tersebut dapat diketahui. Bahwa sesuatu yang menghapus, mengubah, memindahkan, membatalkan, dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan yang dihapus, diubah, dipindahkan, dibatalkan, dan sebagainya dinamakan mansukh. Dengan kata lain bahwa yang me-naskh itu di sebut nasikh dan yang di-naskh itu disebut mansukh.

         Dari segi terminologi pengertian naskh juga mengalami perbedaan. Menurut Al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M. Qurais Shihab menyatakan para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) mmperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[3]

        Dari beberapa pengertian tersebut naskh bisa diartikan menghapus atau menghilangkan suatu perkara dengan perkara lain. Di mana di dalam naskh itu sendiri ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara lain.



B.    Syarat-Syarat Nasikh dan Mansukh

         Adapun syarat-syarat naskh yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang mengakui adanya naskh adalah sebagai berikut:

1.    Hukum yang mansukh adalah hukum syara’

2.   Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh

3.    Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.[4]

         Adapun syarat-syarat nasikh dan mansukh yang merupakan bagian naskh, yaitu:

1.   Hukum yang dinaskh-kan harus berupa hukum syarak, bukan hukum lain seperti hukum akal atau hukum buatan manusia.

2.   Dalil yang digunakan untuk mengangkat hukum itu ialah dalil syara’ yang datangnya kemudian dari teks yang dimansukh-kan hukumnya.

3.   Dalil/ketentuan nasikh harus terpisah dengan dalil/ketentuan mansukhnya.

4.   Dalil nasikh harus lebih kuat atau minimal sama kuat dari dalil mansukh.

5.   Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.

6.   Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang nyata.

C.  Macam-Macam Naskh

        Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dibagi menjadi empat macam yaitu:

1.      Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perang, pada ayat 65 surah Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :

يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال  ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين  وا

 يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهون .

       Artinya     “Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )



    Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :

الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا  فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا ما ئتين  وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين .

Artinya :

“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )



2.      Naskh dhimni, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.

3.      Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 180

كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين . ( البقرة : ١٨٠)



       Artinya :

       “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“

       Ayat ini di-naskh oleh ayat mawaris yaitu  dalam surah An Nisa (4): 11-14

 4.      Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat  mutlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.

         Selain itu ada juga naskh yang terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu naskh menurut Nashruddi Baidan yang dikutip oleh Ida Norleana dalam makalah yang telah dipresentasikan pada perkuliahan Qawaid al-Tafsir Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin di bawah bimbingan Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag”, yaitu: naskh hukum sedang tilawahnya tetap, naskh hukum dan tilawah, naskh tilawah sedang hukumnya tetap.

1.    Naskh hukum sedang tilawahnya tetap

                Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah Al-Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian  dinasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 234(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234).

                 Lalu timbul pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al-Qur’an di samping dibaca untuk diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang membacanya mendapat pahala.(2) Pada umumnya naskh itu untuk meringankan, sehingga  dengan tetapnya tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus. Ini pendapat mereka yang menerima adanya naskh.

b.    Naskh Hukum dan Tilawah

                 Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat Al-Qur’an. Bentuk ini menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al-Qur’an, karena ayat-ayat Al-Qur’an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau berkurang. Naskh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al-Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa naskh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al-Qur’an seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata: “Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinaskh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al-Qur’an yang baca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Al-Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah di-naskh(dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.





c.    Naskh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap

                 Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang disebut”Syar’un man qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum syari’at itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.

                 Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa naskh tilawah tetapi hukumnya tidak dinaskh ada juga dalam Al-Qur’an, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah dinaskh dan kini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu: “Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[5]



D.   Pembagian Naskh

         Para ulama yang mengakui adanya nasikh dan mansukh, membagi naskh menjadi tiga bagian, yaitu naskh sunnah dengan Al-Qur’an, naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan naskh Al-Qur’an dengan sunnah.

1.    Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an

                Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinaskh dengan dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah/2 ayat 144:

ﻓﻮ لﻮﺟﻬﻚ ﺷﻄﺮ ا ﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻢ... 

Artinya:

Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram… (Al-Baqarah:144)

                 Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu turunnya surah Al-Baqarah/2 ayat 185, yang artinya berbunyi: “Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(A-Baqarah/2:185)[6]

                 Namun naskh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’i; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara kitab dengan  sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[7]

2.    Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

                 Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an kemudian di-naskh dengan dalil ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.

                  Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al-Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al-Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut para ulama yang menolak adanya naskh adalah sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat(41) ayat 42 yang artinya, yaitu: “Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

                 Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al-Qur’an yang di-naskh atau mansukh. Ayat-ayat Al-Qur’an memang telah menaskh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim Al Isfahani, seorang mufassir yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al-Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.

                 Beberapa ulama yang mendukung pendapat Abu Muslim tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Dr. H.A. Athaillah, M.Ag dalam makalah beliau, yang dikutip oleh Ida Norlena dalam tugasnya, yaitu Fakhuruddin Al Fizi, seorang ahli tafsir dan tokoh dikalangan Ahlussunnah wa Al-Jamaah. Di era modern pendapat Abu Muslim tersebut didukung oleh Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridla, Maulana Muhammad Ali, Jamaluddin Al Asimi, Abd Al Muta’al Al Jabari, Abd Al Karim Al Khatib, dan Dr. Ahmad Hijazi Al Saqa.[8]

3.    Naskh Al Qur’an dengan sunnah

                 Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al-Qur’an di-naskh dengan dalil sunnah. [9] Naskh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:

a.      Naskh Al Qur’an dengan hadits mutawatir

        Naskh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4. Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.

        Sementara itu menurut Asy Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam penggalan surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya: “Apa saja ayat yang kami naskhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya...”

       Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an.[10] Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada naskh Al- Qur’an dengan sunnah, karena Al-Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al-Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang me-naskh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang di-naskh, atau setidaknya sama.

b.     Naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad

        Jumhur ulama berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga).

         Pembahasan tentang naskh yang meliputi nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an menghasilkan pendapat yang berbeda diantara para ulama. Ada yang pro dengan adanya naskh dan ada juga yang kontra. Perbedaan pendapat itu tentulah dengan dasar-dasar yang sudah mereka teliti terlebih dahulu.

         Ulama yang menerima adanya naskh ini menyatakan naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Dimana perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Hanya saja naskh ini ada sebelum Nabi Muhammad SAW,. Wafat. Setelah beliau wafat maka tidak ada lagi naskh. Dan naskh bisa dilakukan jika terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak  dapat di kompromikan, serta harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut.

         Sementara ulama yang menolak adanya naskh menyatakan dalam Al-Qur’an tidak ada kebatalan ataupun kesalahan, maka naskh juga tidak akan terjadi, perlu peninjauan lebih lanjut tentang dalil yang dijadikan sebagai patokan adanya naskh, tidak adanya kesepakatan para ulama tentang jumlah ayat yang telah di naskh, dan sebagainya. Yang alasan-alasan ini bisa ditemukan dalam buku “Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashruddin Baidan”.

         Dari perbedaan pendapat tentang naskh ini akhirnya muncullah telaah yang mendalam tentang naskh. Dimana para ahli tafsir mengemukakan argument-argument yang meyakinkan bahwa ayat-ayat yang dianggap termasuk nasikh dan mansukh dan seakan-akan bertentangan ternyata bisa dikompromikan. Sedangkan hadits yang di-naskh oleh ayat Al-Qur’an hal tersebut nyata adanya. Dan ayat Al-Qur’an yang di-naskh oleh hadits para ulama sepakat menyatakan tidak ada.




[1] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, “Ilm Ushul al-Fiqh, t.tp., al- Dar al- Kuwaytiyyat, cet. Ke-8, 1968, h. 222
[2] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVII; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 143
[3] Ibid. h. 144
[4] Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Cet ke-4; Jakarta: Pustaka Al Kautsar, h. 286
[5] Ida Norlena, dkk, Qawaid al Tafsir (Nasikh dan Al Mansukh),  Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo, 2014. h. 157-160.
[6] Departement Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h. 45.
7 Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu- Ilmu Qur’an (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011),  h 335.
                                     
[8] Ida Norlena, dkk, Qawaid al Tafsir (Nasikh dan Al Mansukh), op cit, h. 155-156.
[9] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 260-262
            [10] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 334-335

No comments: