Friday, 7 August 2020

Hadits Mutawatir (Makalah Ulumul Hadits)

  
MAKALAH

A.      Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa, adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1] Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu sebagai berikut:
ما رواه  جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند الى منتهاه
“Hadits yang diriwayatakan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesame jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir”
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.”
ما كان عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا فى الكثرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب
“Hadis yang didasarkan pada paca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong”
 Dari berbagai definisi di atas dapat dijelaskan bahwa hadis mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indriawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan. Berdasarkan definisi di atas ada 4 kriteria hadis mutawatir, yaitu sebagai berikut:
1.   Diriwayatkan  sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang [karena ia minimal jamak katsrah], 40 orang, 70 orang [jumlah sahabat Musa s.a] bahkan ada yang berpandapat 300 orang lebih [jumlah tentara Thalut dan ahli perang Badar]. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.[2]
2.   Adanya jumlah banyak pada seluruh tingakatan sanad
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir, tetapi  dinamakan ahad  atau wahid. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya, mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda, namun nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal tingkatan Sanad 10 orang, tingkatan sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 orang , 100 orang dan seterusnya. Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dua tergolong mutawatir.
3.   Mustahil bersepakat bohong
Misalnya para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara uruf(tradisi). Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan masa modern sekarang ini. Di samping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih andal, transportasi antar daerah tidak semudah sekarang, perlu waktu yang berbulan-bulan dalam kunjungan ke suatu negara. Berdasarkan ini, jika periwayatan suatu hadis berjumlah besar sangat sulit mereka sepakat bohong dalam suatu periwayatan. Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkonsensus berbohong.
4.   Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh denbgan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, [3] berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah (Kullu haditsin mutaghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun).  Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu haditin). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis tidak hawasi atau indriawi, maka tidak mutawatir. Sandarkan berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan:
سَمِعْنا              =  kami mendengar [dari rasulullah bersabda begini]
رَاَيْنَا أَوْ لَمَسْنَا  =  ­Kami sentuh atau kami melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
Jumlah hadis mutawatir tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana yang diduga oleh Ibnu Ash-Shalah atau yang lainnya. Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyaknya sanad  dan kondisi serta sifat-sifat para perawi yang menurut tradisi mustahil terjadi kesepakatan bohong. Hadis mutawatir memang sedikit jumlahnya dibandingkan dengan hadis ahad tetapi cukup banyak sebagaimana yang dijelaskan pada buku-buku hadis mutawatir yang benar. Di antaranya hadis tentang telaga (al-hawdh) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 orang sahabat, dan lain-lain.
B.      Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1.   Pewartaan yang disampaiakna oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengarann dan penglihatan sendiri. Kalau pewartaan dari hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbath dari satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita mutawatir. Misalnya pewartaan orang banyka tentang kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda baru. Demikian juga pewartaan para ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan meruapakan berita mutawatir.
2.   Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas tertentu. Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah  perawinya empat orang, Ashhab Asy-Syafi’I menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
3.   Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. oleh karena itu, kalau suatu hadis diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’iy dan seharusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan Hadits Mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.
C.      Macam-Macam Mutawatir
Para Ulama membagi hadits Mutawatir menjadi tigayakni:Mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain seperti ulama ushul fikih membaginya menjadinya menjadi dua macam, yakni: mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi.
Sebagaimana perbedaan hadis dari segi kuantitas jumlah periwayat, perbedaan umlah tidak menjadi persoalan, karena jumlah dapat dipersingkat menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting substansinya dalah sama.  Bagi yang menghitung dua macam makna mutawatir ‘amali dimasukan pada kedua macam diatas, karena ia hadis melihat hadis mutawatir ‘amali sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dua bentuk tersebut.[4]
1.     Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni:
Lafazh yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.
Contoh hadis mutawatir lafzhi adalah:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barang siapa yang sengaja berdusta atau namaku, hendaknya ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhari)[5]
2.     Hadis Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis ysng maknannya Muatawatir, bukan lafazhnya.[6]
Hadis Mutawatir makawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaan makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis.
مااختلفوا فى لفظه ومعناه مع وجوعه لمعنى كلي.
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum.
3.           Hadis mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir “amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa Nabi SAW. Mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. dari hali itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan, ijma.
D.    Keberadaan Hadis Mutawatir
Hadis-hadis mutawatir jumlahnya sangat terbatas. Diantaranya adalah hadis tentang telaga al-Haudl, hadis mengusap kedua buah Khuf, hadis mengangkat kedua tangan ketika shalat, hadis tentang Allah akan menggembirakan wajah hamba-Nya, dan lain-lain. Seandaninya kita bandingkan jumlah hadis Mutawatir dengan hadis ahad, maka jumlah hadis mutawatiritu amat sedikit.
E.     Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Mutawatir
Sebagian Ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1.       Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2.       Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3.       Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
4.       Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya muhammad bin ja’far Al-Kattani.[7]
F.           Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu memberi faedah ilmu-dlarury,  yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh Hadits Mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).[8]
Rawi-rawi hadis mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabithannya (kuat ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaiman yang diberikan oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang faedah hadis mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan khabar mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indera).



               [1]Mahmud Ath-Thahhan. Taisir Musthahah Al-Hadits. t.t. hlm. 19
               [2]  As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi….., Juz 2, hlm. 255-
               [3]Baru diartikan wujudnya sesuatu setelah tidak ada atau diciptakan, tidak wujud dengan sendirinya.
[4]Ushul hadis. Hlm. 134
[5]Ulumul Hadis, 130-133
[6] Ilmu Hadits Praktis. Hlm. 22
[7] Ulumul Hadis, op.cit. hlm. 130-133
[8]Ikhtishar Mushthalahul hadits,hlm. 84

1 comment:

Yaudah said...


poker online dengan pelayanan CS yang baik dan ramah hanya di AJOQQ :D
ayo di kunjungi agen AJOQQ :D
WA;+855969190856