MAKALAH
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir,
menurut bahasa, adalah isim fa’il
musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1]
Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu sebagai
berikut:
ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من
أول السند الى منتهاه
“Hadits yang
diriwayatakan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat untuk berdusta dari sesame jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir”
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة
تواطؤهم على الكذب
“Hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak dari sejumlah orang banyak pula yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.”
ما كان عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا
فى الكثرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب
“Hadis yang
didasarkan pada paca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak mustahil menurut tradisi mereka
sepakat bohong”
Dari berbagai definisi di atas dapat
dijelaskan bahwa hadis mutawatir adalah berita hadis yang bersifat
indriawi (didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang
mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi
mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk
kebohongan. Berdasarkan
definisi di atas ada 4 kriteria hadis mutawatir, yaitu sebagai berikut:
1.
Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi
hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada
pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang
[karena ia minimal jamak katsrah], 40 orang, 70 orang [jumlah sahabat Musa s.a]
bahkan ada yang berpandapat 300 orang lebih [jumlah tentara Thalut dan ahli
perang Badar]. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat
Al-Ishthikhari.[2]
2.
Adanya
jumlah banyak pada seluruh tingakatan sanad
Jumlah banyak
orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir
sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka
tidak dinamakan mutawatir, tetapi
dinamakan ahad atau wahid.
Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya,
mungkin saja jumlah angka nominalnya berbeda, namun nilai verbalnya sama, yakni
sama banyak. Misalnya, pada awal tingkatan Sanad 10 orang, tingkatan sanad
berikutnya menjadi 20 orang, 40 orang , 100 orang dan seterusnya. Jumlah
yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dua tergolong mutawatir.
3.
Mustahil
bersepakat bohong
Misalnya para
perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis
yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para perawi yang banyak
ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara uruf(tradisi).
Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan masa
modern sekarang ini. Di samping kejujuran, dan daya memori mereka yang masih
andal, transportasi antar daerah tidak semudah sekarang, perlu waktu yang
berbulan-bulan dalam kunjungan ke suatu negara. Berdasarkan ini, jika
periwayatan suatu hadis berjumlah besar sangat sulit mereka sepakat bohong
dalam suatu periwayatan. Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir
adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena
dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan
dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain.
Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah
mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkonsensus berbohong.
4.
Sandaran
berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran
pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata
dan disentuh denbgan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti
tentang sifat barunya alam, [3]
berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah (Kullu haditsin
mutaghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu
haditin). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan
sendirinya. Jika berita hadis itu logis tidak hawasi atau indriawi, maka
tidak mutawatir. Sandarkan berita pada pancaindra misalnya ungkapan
periwayatan:
سَمِعْنا =
kami mendengar [dari rasulullah bersabda begini]
رَاَيْنَا أَوْ
لَمَسْنَا = Kami
sentuh atau kami melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
Jumlah hadis mutawatir
tidak banyak atau sedikit dan langka sebagaimana yang diduga oleh Ibnu
Ash-Shalah atau yang lainnya. Syaikh Al-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani
menjelaskan, bahwa dugaan tersebut karena kurang meneliti banyaknya sanad dan kondisi serta sifat-sifat para perawi yang
menurut tradisi mustahil terjadi kesepakatan bohong. Hadis mutawatir memang
sedikit jumlahnya dibandingkan dengan hadis ahad tetapi cukup banyak
sebagaimana yang dijelaskan pada buku-buku hadis mutawatir yang benar.
Di antaranya hadis tentang telaga (al-hawdh) diriwayatkan 70 orang
sahabat, hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat oleh 50 orang
sahabat, dan lain-lain.
B.
Syarat-Syarat
Hadits Mutawatir
1.
Pewartaan
yang disampaiakna oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil
pendengarann dan penglihatan sendiri. Kalau pewartaan dari hasil pemikiran
semata-mata atau hasil rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain
atau hasil istimbath dari satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita
mutawatir. Misalnya pewartaan orang banyka tentang kebaruan alam semesta yang
berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda
baru (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak,
sudah barang tentu ia benda baru. Demikian juga pewartaan para ahli filsafat
tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan meruapakan berita
mutawatir.
2.
Jumlah
rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat
untuk berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas
tertentu. Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah
perawinya empat orang, Ashhab Asy-Syafi’I menyatakan lima orang, dan
ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat puluh orang.
3.
Adanya
keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan
jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. oleh karena itu, kalau suatu hadis
diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang
tabi’iy dan seharusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan
Hadits Mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah
pertama, kedua dan ketiga.
C.
Macam-Macam Mutawatir
Para Ulama membagi hadits Mutawatir menjadi tigayakni:Mutawatir
lafzhi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain
seperti ulama ushul fikih membaginya menjadinya menjadi dua macam, yakni: mutawatir
lafzhi dan mutawatir ma’nawi.
Sebagaimana perbedaan hadis dari segi kuantitas jumlah periwayat,
perbedaan umlah tidak menjadi persoalan, karena jumlah dapat dipersingkat
menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting substansinya
dalah sama. Bagi yang menghitung dua
macam makna mutawatir ‘amali dimasukan pada kedua macam diatas, karena ia hadis
melihat hadis mutawatir ‘amali sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dua
bentuk tersebut.[4]
1.
Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu
dan lainnya, yakni:
Lafazh yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.
Contoh hadis mutawatir lafzhi adalah:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barang siapa yang sengaja berdusta atau
namaku, hendaknya ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (HR.
Bukhari)[5]
2.
Hadis Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis ysng maknannya Muatawatir,
bukan lafazhnya.[6]
Hadis Mutawatir makawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaan
makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu
hadis.
مااختلفوا فى لفظه ومعناه مع وجوعه لمعنى كلي.
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya,
tetapi dapat diambil makna umum.
3.
Hadis mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir “amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah
bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat islam bahwa Nabi SAW.
Mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. dari hali itu dapat
dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan
waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘ied, hijab perempuan yang
bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi
kesepakatan, ijma.
D.
Keberadaan Hadis Mutawatir
Hadis-hadis mutawatir jumlahnya sangat terbatas. Diantaranya adalah
hadis tentang telaga al-Haudl, hadis mengusap kedua buah Khuf, hadis
mengangkat kedua tangan ketika shalat, hadis tentang Allah akan menggembirakan
wajah hamba-Nya, dan lain-lain. Seandaninya kita bandingkan jumlah hadis Mutawatir
dengan hadis ahad, maka jumlah hadis mutawatiritu amat sedikit.
E.
Kitab-kitab tentang Hadis-hadis
Mutawatir
Sebagian Ulama telah mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam
sebuah kitab tersendiri. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1.
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi
Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2.
Qathf Al-Azhar, karya
As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
3.
Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi
Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
4.
Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits
Al-Mutawatirah, karya muhammad bin ja’far Al-Kattani.[7]
F.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu memberi faedah ilmu-dlarury, yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat
sesuatu yang diberitakan oleh Hadits Mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan
yang qath’y (pasti).[8]
Rawi-rawi hadis mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang
keadilan dan kedhabithannya (kuat ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah
menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu, sebagaiman yang diberikan oleh rawi-rawi mutawatir.
Segenap umat Islam telah sepakat pendapatnya tentang faedah hadis
mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu dlarury
yang berdasarkan khabar mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury
yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indera).
[4]Ushul
hadis. Hlm. 134
[5]Ulumul
Hadis, 130-133
[6] Ilmu
Hadits Praktis. Hlm. 22
[7]
Ulumul Hadis, op.cit. hlm. 130-133
[8]Ikhtishar
Mushthalahul hadits,hlm. 84
1 comment:
poker online dengan pelayanan CS yang baik dan ramah hanya di AJOQQ :D
ayo di kunjungi agen AJOQQ :D
WA;+855969190856
Post a Comment