HADITS
TENTANG SYUKUR NIKMAT
Oleh:
HADI
PRIADI
NIM
1001210376
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KONSENTRASI
AL-QUR’AN HADITS
BANJARMASIN
2013
HADITS TENTANG
SYUKUR NIKMAT
1.
Lafal dan Terjemah
Dalam shahih Muslim
عَنْ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ
مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا
تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو
مُعَاوِيَةَ عَلَيْكُمْ
Bersumber
dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallah Alaihi wa Sallam
bersabda, “Perhatikanlah orang yang statusnya berada di bawah kalian, dan
janganlah kalian memperhatikan orang statusnya berada di atas kalian. Dengan
begitu maka kalian tidak akan menganggap kecil nikmat Allah yang kalian
terima.” (Muslim VIII: 213)[1]
و
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا أَبُو
كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ
مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا
تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو
مُعَاوِيَةَ عَلَيْكُمْ
Zuhair
bin Harb telah memberitahukan kepadaku, Jarir telah memberitahukan kepada kami.
(H) Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami, Abu Mu'awiyah Telah
memberitahukan kepada kami. (H) Abu Bakar bin Abu Syaibah telah memberitahukan
kepada kami, -lafazh miliknya-, Abu Mu'awiyah dan Waki' telah memberitahukan kepada kami, dari Al
A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam bersabda, "Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari
kalian dan jangan melihat kepada orang yang beraada di atas kalian, yang demikian itu
itu lebih layak bagi kalian untuk tidak
meremehkan nikmat Allah."[2]
Dalam
sunan Tirmidzi
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ. حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ
:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ, وَلَا تَنْظُرُوا
إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ, فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ. هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ.[3]
Abu
Kuraib menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’memberitahukan kepada
kami dari Al ‘Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW
bersabda: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat
kepada orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak
merendahkan nikmat yang diberikan oleh Allah kepadamu.” Hadits
ini adalah hadits shahih.[4]
Dalam
sunan Ibnu Majah
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرٍ. حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ, عَنْ أَبِي صَالِحٍ, عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:((
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ. وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ.
فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ)).[5]
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada
kami Waki' dan Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian, dan janganlah kalian
melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, sesungguhnya hal itu lebih baik
agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah."
[6]
Dalam
Musnad imam ahmad bin hambal
حَدَّثَنَا عبد
الله حدثنى أبى ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ َثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ
أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ
أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ
عَلَيْكُمْ[7]
(AHMAD
- 7137) : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki' mereka
berkata; telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:
"Lihatlah kepada orang yang ada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang
yang ada di atasmu, sebab itu lebih baik agar kalian tidak meremehkan nikmat
Allah." Abu Mu'awiyah berkata; "hendaklah kalian."
حَدَّثَنَا
عبد الله حدّثنى ابى ثنا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنِي الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ
هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ. H. 482.
B. Penjelasan
Sabda Rasul
Shallallahu Alaihi wa Sallam “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda, "Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan
melihat kepada orang yang beraada di
atas kalian, yang demikian itu itu lebih layak bagi kalian untuk tidak meremehkan nikmat
Allah." Makna أَجْدَرُ adalah
lebih layak. Kata تَزْدَرُوا artinya meremehka. Ibnu
Jarir dan yang lain berkata, “Hadis ini menghimpun berbagai bentuk kebaikan,
sebab jika seseorang melihat orang yang lebih baik darinya terkait kenikmatan
dunia tentu jiwanya akan menuntut hal yang sama, ia akan menganggap remeh
nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada pada dirinya, ia akan bernafsu
mendapatkan kenikmatan dunia agar bisa sejajar dengan orang tersebut atau
paling tidak mendekatinya. Demikianlah yang terjadi pada sebagian besar umat
manusia. Namun jika seseorang melihat orang yang lebih rendah darinya, sehingga
ia akan mensyukurinya, bersikap tawadhu’, dan melakukan kebaikan.[8]
Syukur
atau bersyukur ialah merasa senang dan berterima kasih atas nikmat yang Allah
SWT berikan. Hal ini tercermin aktivitas atau amal orang yang memperoleh nikmat
itu dalam beribadah kepada Allah, imannya bertambah teguh, dan lidahnya semakn
banyak berzikir kepada Allah.
Jadi
sebenarnya membicarakan soal syukur haruslah lebih dahulu diuraikan tentang
nikmat, karena antara keduanya mempunyai hubungan yang erat, malah merupakan
satu kesatuan. Timbulnya rasa syukur setelah memperoleh nikmat berupa pangkat,
kedudukan, kekayaan dan lain sebagainya. Atau setelah ia merasakan bahwa apa
yang ia miliki adalah nikmat dari Allah SWT. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
nikmat ialah segala kebaikan, kelezatan, kebahagiaan, bahkan setiap keinginan
yang terpenuhi. Tetapi nikmat yang sejati ialah kebahagiaan hidup ukhrawi di
akhirat nanti.
Nikmat
yang dikaruniakan Allah kepada manusia sungguh amat banyak sekali. Tidak dapat
dihitung jumlahnya, tidak bisa ditimbang beratnya. Allah SWT di dalam surah
An-Nahl ayat 18 berfirman:
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Cobalah
kita perhatikan sepintas lalu saja, tak usah jauh-jauh, cukup tentang kejadian
tubuh manusia, diri kita sendiri yang diciptakan Allah. Tidak usah kita tinjau
satu persatu, cukup anggota badan yang penting-pentingnya saja, seperti kaki,
tangan, perut, mulut, mata, telinga, dan hidung. Tak ubahnya laksana satu
instrumen yang sangat lengkap, otomatis, yang bisa bergerak dan berfungsi
serentak pada waktu yang sama. Sambil bisa melihat bisa berbicara, mendengar,
mencium, berjalan dan seterusnya.[9]
Oleh
sebab itu wajiblah bagi kita semua bersyukur kepada Allah SWT. karena nikmat
yang tak terhitung banyaknya yang Dia berikan kepada kita. Allah SWT. di dalam
surah an-Nahl ayat 114 berfirman:
Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu,
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.
Jangankan
manusia biasa, Rasulullah SAW. sendiri yang telah dijamin Allah menjadi seoarng
yang ma’sum, yang terpelihara dari cacat dan dosa, masih merasa cemas
kalau-kalau beliau tidak dimasukkan Allah ke dalam golongan orang-orang yang
tidak bersyukur. Diceritakan oleh Siti Aisyah, bhwa pada suatu malam Rasulullah
bangun dari tidurnya, kemudian beliau mengambil wudhu’ dan terus mengerjakan
shalat. Baik ketika I’tidal (bangkir dari ruku’) maupun ketika ruku’ dan sujud,
titik air mata beliau membasahi pipinya. Selesai mengerjakan satu rangkaian
shalat, beliau menengadah ke atas memohon do’a kepada Allah. Beliau terus
menerus mengerjakan shalat, sementara air matanya terus menitik sampai akhirnya
terdengar suara azan Bilal menandakan waktu subuh telah tiba. Besok paginya
Siti Aisyah bertanya kepada Raasulullah: “Apakah lagi yang engkau rusuhkan ya
Rasullullah yang menyebabkan engkau terus menerus menangis tadi malam ketika
shalat? Bukankah Allah telah menjamin akan mengampuni dosa-dosamu yang lampau
dan yang akan datang? Nabi SAW menjawab: “Yang saya risaukan ialah, bahwa saya
belum melakukan perbuatan sebagai mestinya seorang hamba bersyukur”.[10]
Ada
tiga macam cara bersyukur kepada Allah SWT, yaitu:
1.
Bersyukur
dengan lisan atau lidah
Caranya
ialah mengingat dan menyebut-nyebut nikmat-Nya atas kita, bukan karena sombong,
tetapi karena senang dan bangga. Kita ucapkan Alhamdulillah.
2. Bersyukur
dengan badan atau tubuh.
Caranya
ialah kita rajin melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT.
3. Bersyukur
dengan benda atau harta.
Caranya
ialah kekayaan kita pakai untuk kepentingan yang diridhai Allah SWT, seperti
untuk biaya keluarga secara wajar, tidak kikir dan tidak mubazir. Memberikan
bantuan membangun masjid, jalan raya, dan lain-lain.[11]
Sebenarnya
sikap syukur itu adalah untuk keuntungan manusia sendiri. Allah tidak akan
beruntung dengan sikap syukur yang dilakukan oleh hambanya, sebaliknya, Dia
juga tidak akan rugi dengan sikap kufur yang dilakukan oleh manusia. Allah SWT
di dalam surah an-Naml ayat 40 menyatakan:
Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya
lagi Maha Mulia”.
Orang yang bersyukur itu jiwanya
semakin bersih, dia bertambah dekat kepada Allah dan semakin sadar bahwa nikmat
itu adalah karunia dan sekaligus amanat ilahi yang harus dipergunakan untuk
keperluan kebaikan. Jika dia memperoleh kekayaan, maka kekayaan itu adalah
karunia dan sekaligus dipergunakan untuk keperluan kebaikan seperti menyantunu
fakir miskin, menolong orang yang sengsara, mendirikan lembaga yang yang
bergerak dalam bidang keagamaan atau untuk kepentingan umum dan lain
sebagainya. Kalau sedang berpangkat atau sedang berkuasa, lakukanlah
kebaikan-kebaikan terhadap orang di bawah atau rakyat banyak, berlaku adil,
bertindak berdasar peraturan, jangan kejam dan sewenang-wenang.[12]
Bersyukur
atas semua nikmat yang diberikan Allah SWT, baik nikmat berupa kesehatan
jasmani dan rohani, maupun nikmat yang terbentuk sumber kehidupan yang
diciptakan-Nya dipermukaan bumi ini, agar diolah untuk dimanfaatkan ummat
manusia. Allah SWT berfirman:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kamu memberi
tahu: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".[13]
“Jika
kalian mensyukuri nikmat penyelamatan dan lain-lain yang Aku berikan kepada
kalian, dengan mentaati-Ku dalam segala perintah dan larangan-Ku, niscaya Aku
menambah nikmat yang telah Kuberikan kepada kalian.”
Pengalaman
menunjukkan , bahwa setiap kali anggota tubuh yang digunakan untuk bekerja
dilatih terus menerus dengan pekerjaan, maka bertambahlah kekuatannya, tetapi
apabila diberhentikan dari kerja, maka akan lemahlah dia. Demikian halnya
dengan nikmat, apabila digunakan dalam perkara yang itu ia berikan, maka akan
tetaplah ia, tetapi apabila diabaikan, maka akan hilanglah ia. Al-Bukhari di
dalam tarikh, dan Ad-Diya’ di dalam Al-Mukhtarah mengeluarkan riwayat Anas,
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Adapun keutamaan-keutamaan syukur kepada
Allah adalah sebagai berikut:
·
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku
ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari nikmat-Ku. (Al-Baqarah, 2: 152)
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu
bersyukur dan beriman ?”(QS. An-Nisa, 4: 147)
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. (Ali Imran, 3: 145)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu. (QS.
Ibrahim, 14: 7)
Di
antara hads yang menyebutkan keutamaan syukur adalah sabda Rasulullah SAW:
·
الطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِمُ
الصَّابِرِ
Orang makan yang bersyukur adalah sederajat
dengan orang bershaum yang sabar. (HR.
Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Perlu
diketahui, bahwa bersyukur itu tersusun dari tiga perkara: ilomu, keadaan, dan
perbuatan. Ilmunya adalah mengetahui bahwanikmat itu berasal dari Dzat yang
memberi nikmat. Keadaannya adalah kegembiraan yang muncul oleh sebab memperoleh
nikmat. Dan amalnya adalah melaksanakan apa yang dikehendaki dan disukai oleh
Dzat yang memberi nikmat.
Perbuatan
(amalan) ini berkaitan dengan hati, anggota tubuh dan lisan. Kaitannya dengan
hati adalah kehendak (niat) untuk melakukan kebaikan dan merahasiakannya dari
seluruh makhluk. Kaitannya dengan lisan adalah melahirkan rasa syukur kepada
Allah dengan mengucapkan pujian-pujian yang menunjukkan hal itu. Sedangkan
kaitannya dengan tubuh adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah tersebut untuk
ketaatan kepada-Nya, dan menjaga nikmat-nikmat tersebut dari penggunaannya pada
kemaksiatan.
Perlu
diketahui, bahwa seseorang tidak dianggap bersyukur kepada Allah kecuali bila
ia menggunaka nikmat-Nya pada perkara-perkara yang disukai-Nya, bukan pada
perkara-perkara yang disukai oleh sesama hamba Allah atau oleh dirinya. Jika ia
menggunakan nikmat tersebut pada perkara-perkara yang dibenci-Nya, berarti ia
telah mengkufuri nikmat-Nya sebagaimana bila ia mengabaikan dan menyia-nyiakan
nikmat tersebut.
Sekalipun
yang kedua ini lebih sedikit keburukannya dari yang pertama, namun dengan
menyia-nyiakan itu sendiri berarti ia telah mengkufuri nikmat. Sebab, semua
yang maujud (Ada) di dunia ini tidak lain diciptakan sebagai alat bagi manusia
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[14]
Perlu
diketahui, bahwa seseorang tidak akan berpaling dari mensyukuri nikmat melainkan
karena kebodohan dan kelalaiannya. Kebodohan dan kelalaian inilah yang
menghalanginya dari pengetahuan bahwa sesuatu yang diperolehnya adalah suatu
nikmat. Oleh karena itu, tidak akan pernah tergambarkan adanya syukur nikmat
melainkan sesudah diketahui adanya nikmat tersebut.
Dalam
pada itu, kalaupun ia mengetahui adanya nikmat, ia mengira bahwa mensyukurinya
cukup dengan mengucapkan Alhamdulillah Wasysyukru Lillah (segala puji bagi
Allah, dan segala kesyukuran bagi-Nya pula). Ia tidak menyadari bahwa makna
syukur yang sebenarnya adalah menggunakan nikmat yang diperoleh pada hikmat
yang sesempurna-sempurnanya, sesuai yang dikehendaki nikmat tersebut. Yakni
melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Jika
pengetahuan tentang nikmat dan makna syukur ini telah diperoleh, tetapi ia
masih belum dapat melakukan kesyukuran dengan sebenarnya, maka tak bisa tidak
ia telah terkalahkan oleh syahwatnya dan telah terkuasai oleh setan.
Perlu
diketahui, bahwa tidak ada satupun nikmat duniawiyah melainkan bahwa disamping
kedudukannya sebagai nikmat dapat pula menjadi bencana sekaligus. Berapa banyak
orang yang dalam keadaan miskin dan sakit-sakitan justru memperoleh kebaikan
yang banyak, sementara ketika tubuhnya sehat dan banyak hartanya, menjadilah ia
seorang yang sombong dan sewenang-wenang.
Allah SWT berfirman:
…
Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,… (QS. asy-Syura, 42: 27)
Dan firman-Nya:
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas (6), karena Dia melihat dirinya serba cukup (7). (QS. Al-‘Alaq, 96: 6-7)[15]
[1] Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil,
Ahmad Junaidi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2009), h. 1507.
[2] Imam Nawawi, Penerjemah
Darwis, Muhtadi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah Press,
2011), h. 677.
[3] لأبى عيسى محمد بن عيسى بن سورة, سنن الترمذىّ, الجزء الرابع, h. 574
[4] Moh. Zuhri Dipl.TAFL, dkk,
Terjemah Sunan Tirmidzi, Jilid IV, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h.
143
[5] للحافظ أبى عبد الله محمد بن يزيد القزويني, سنن ابن ماجه, الجزء
الثاني, h. 548
[6]
Software Kutubut Tis’ah.
[7] مسند الامام احمد بن حنبل, الجلد الثاني, h. 254
[8] Imam Nawawi, Penerjemah
Darwis, Muhtadi, Op.cit, h. 704.
[9]
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 219-220.
[10]
Ibid, h. 222.
[11]
Kahar Masyhur, Membina Moral dan
Akhlak, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 34-35.
[12]
Asmaran As, Op.cit, h. 223.
[13]
Abdullah Salim, Akhlaq Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), h. 25-26.
[14]
Abu Ridha, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, (Semarang: CV. Asy Syifa,
1993), h. 708-710.
[15]
Ibid, h. 714-715.
No comments:
Post a Comment