Wednesday 21 December 2016

Hadits Syukur Nikmat



HADITS TENTANG SYUKUR NIKMAT


Oleh:
HADI PRIADI
NIM 1001210376
 



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KONSENTRASI AL-QUR’AN HADITS
BANJARMASIN
2013



 HADITS TENTANG SYUKUR NIKMAT

1.      Lafal dan Terjemah
Dalam shahih Muslim
عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ عَلَيْكُمْ
Bersumber dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallah Alaihi wa Sallam bersabda, “Perhatikanlah orang yang statusnya berada di bawah kalian, dan janganlah kalian memperhatikan orang statusnya berada di atas kalian. Dengan begitu maka kalian tidak akan menganggap kecil nikmat Allah yang kalian terima.” (Muslim VIII: 213)[1]
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ عَلَيْكُمْ
Zuhair bin Harb telah memberitahukan kepadaku, Jarir telah memberitahukan kepada kami. (H) Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami, Abu Mu'awiyah Telah memberitahukan kepada kami. (H) Abu Bakar bin Abu Syaibah telah memberitahukan kepada kami, -lafazh miliknya-, Abu Mu'awiyah dan Waki'  telah memberitahukan kepada kami, dari Al A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan melihat kepada orang  yang beraada di atas kalian, yang demikian itu itu lebih layak bagi  kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah."[2]
Dalam sunan Tirmidzi
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ. حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ, وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ, فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ. هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ.[3]
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’memberitahukan kepada kami dari Al ‘Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak merendahkan nikmat yang diberikan oleh Allah kepadamu.” Hadits ini adalah hadits shahih.[4]
Dalam sunan Ibnu Majah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ. حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ, عَنْ أَبِي صَالِحٍ, عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(( انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ.  وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ. فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ)).[5]
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian, dan janganlah kalian melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, sesungguhnya hal itu lebih baik agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah." [6]
Dalam Musnad imam ahmad bin hambal
حَدَّثَنَا عبد الله حدثنى أبى ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ َثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ عَلَيْكُمْ[7]
(AHMAD - 7137) : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki' mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Lihatlah kepada orang yang ada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang ada di atasmu, sebab itu lebih baik agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah." Abu Mu'awiyah berkata; "hendaklah kalian."
حَدَّثَنَا عبد الله حدّثنى ابى ثنا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنِي الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ.  H. 482.
B.  Penjelasan
            Sabda Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan melihat kepada orang  yang beraada di atas kalian, yang demikian itu itu lebih layak bagi  kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah." Makna أَجْدَرُ adalah lebih layak. Kata تَزْدَرُوا  artinya meremehka. Ibnu Jarir dan yang lain berkata, “Hadis ini menghimpun berbagai bentuk kebaikan, sebab jika seseorang melihat orang yang lebih baik darinya terkait kenikmatan dunia tentu jiwanya akan menuntut hal yang sama, ia akan menganggap remeh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada pada dirinya, ia akan bernafsu mendapatkan kenikmatan dunia agar bisa sejajar dengan orang tersebut atau paling tidak mendekatinya. Demikianlah yang terjadi pada sebagian besar umat manusia. Namun jika seseorang melihat orang yang lebih rendah darinya, sehingga ia akan mensyukurinya, bersikap tawadhu’, dan melakukan kebaikan.[8]
            Syukur atau bersyukur ialah merasa senang dan berterima kasih atas nikmat yang Allah SWT berikan. Hal ini tercermin aktivitas atau amal orang yang memperoleh nikmat itu dalam beribadah kepada Allah, imannya bertambah teguh, dan lidahnya semakn banyak berzikir kepada Allah.
            Jadi sebenarnya membicarakan soal syukur haruslah lebih dahulu diuraikan tentang nikmat, karena antara keduanya mempunyai hubungan yang erat, malah merupakan satu kesatuan. Timbulnya rasa syukur setelah memperoleh nikmat berupa pangkat, kedudukan, kekayaan dan lain sebagainya. Atau setelah ia merasakan bahwa apa yang ia miliki adalah nikmat dari Allah SWT. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa nikmat ialah segala kebaikan, kelezatan, kebahagiaan, bahkan setiap keinginan yang terpenuhi. Tetapi nikmat yang sejati ialah kebahagiaan hidup ukhrawi di akhirat nanti.
            Nikmat yang dikaruniakan Allah kepada manusia sungguh amat banyak sekali. Tidak dapat dihitung jumlahnya, tidak bisa ditimbang beratnya. Allah SWT di dalam surah An-Nahl ayat 18 berfirman:
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
            Cobalah kita perhatikan sepintas lalu saja, tak usah jauh-jauh, cukup tentang kejadian tubuh manusia, diri kita sendiri yang diciptakan Allah. Tidak usah kita tinjau satu persatu, cukup anggota badan yang penting-pentingnya saja, seperti kaki, tangan, perut, mulut, mata, telinga, dan hidung. Tak ubahnya laksana satu instrumen yang sangat lengkap, otomatis, yang bisa bergerak dan berfungsi serentak pada waktu yang sama. Sambil bisa melihat bisa berbicara, mendengar, mencium, berjalan dan seterusnya.[9]
            Oleh sebab itu wajiblah bagi kita semua bersyukur kepada Allah SWT. karena nikmat yang tak terhitung banyaknya yang Dia berikan kepada kita. Allah SWT. di dalam surah an-Nahl ayat 114 berfirman:
  
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.
            Jangankan manusia biasa, Rasulullah SAW. sendiri yang telah dijamin Allah menjadi seoarng yang ma’sum, yang terpelihara dari cacat dan dosa, masih merasa cemas kalau-kalau beliau tidak dimasukkan Allah ke dalam golongan orang-orang yang tidak bersyukur. Diceritakan oleh Siti Aisyah, bhwa pada suatu malam Rasulullah bangun dari tidurnya, kemudian beliau mengambil wudhu’ dan terus mengerjakan shalat. Baik ketika I’tidal (bangkir dari ruku’) maupun ketika ruku’ dan sujud, titik air mata beliau membasahi pipinya. Selesai mengerjakan satu rangkaian shalat, beliau menengadah ke atas memohon do’a kepada Allah. Beliau terus menerus mengerjakan shalat, sementara air matanya terus menitik sampai akhirnya terdengar suara azan Bilal menandakan waktu subuh telah tiba. Besok paginya Siti Aisyah bertanya kepada Raasulullah: “Apakah lagi yang engkau rusuhkan ya Rasullullah yang menyebabkan engkau terus menerus menangis tadi malam ketika shalat? Bukankah Allah telah menjamin akan mengampuni dosa-dosamu yang lampau dan yang akan datang? Nabi SAW menjawab: “Yang saya risaukan ialah, bahwa saya belum melakukan perbuatan sebagai mestinya seorang hamba bersyukur”.[10]
            Ada tiga macam cara bersyukur kepada Allah SWT, yaitu:
1.      Bersyukur dengan lisan atau lidah
Caranya ialah mengingat dan menyebut-nyebut nikmat-Nya atas kita, bukan karena sombong, tetapi karena senang dan bangga. Kita ucapkan Alhamdulillah.
2.      Bersyukur dengan badan atau tubuh.
Caranya ialah kita rajin melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT.
3.      Bersyukur dengan benda atau harta.
Caranya ialah kekayaan kita pakai untuk kepentingan yang diridhai Allah SWT, seperti untuk biaya keluarga secara wajar, tidak kikir dan tidak mubazir. Memberikan bantuan membangun masjid, jalan raya, dan lain-lain.[11]
            Sebenarnya sikap syukur itu adalah untuk keuntungan manusia sendiri. Allah tidak akan beruntung dengan sikap syukur yang dilakukan oleh hambanya, sebaliknya, Dia juga tidak akan rugi dengan sikap kufur yang dilakukan oleh manusia. Allah SWT di dalam surah an-Naml ayat 40 menyatakan:
Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
            Orang yang bersyukur itu jiwanya semakin bersih, dia bertambah dekat kepada Allah dan semakin sadar bahwa nikmat itu adalah karunia dan sekaligus amanat ilahi yang harus dipergunakan untuk keperluan kebaikan. Jika dia memperoleh kekayaan, maka kekayaan itu adalah karunia dan sekaligus dipergunakan untuk keperluan kebaikan seperti menyantunu fakir miskin, menolong orang yang sengsara, mendirikan lembaga yang yang bergerak dalam bidang keagamaan atau untuk kepentingan umum dan lain sebagainya. Kalau sedang berpangkat atau sedang berkuasa, lakukanlah kebaikan-kebaikan terhadap orang di bawah atau rakyat banyak, berlaku adil, bertindak berdasar peraturan, jangan kejam dan sewenang-wenang.[12]
            Bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah SWT, baik nikmat berupa kesehatan jasmani dan rohani, maupun nikmat yang terbentuk sumber kehidupan yang diciptakan-Nya dipermukaan bumi ini, agar diolah untuk dimanfaatkan ummat manusia. Allah SWT berfirman:
 
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kamu memberi tahu: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".[13]
            “Jika kalian mensyukuri nikmat penyelamatan dan lain-lain yang Aku berikan kepada kalian, dengan mentaati-Ku dalam segala perintah dan larangan-Ku, niscaya Aku menambah nikmat yang telah Kuberikan kepada kalian.”
            Pengalaman menunjukkan , bahwa setiap kali anggota tubuh yang digunakan untuk bekerja dilatih terus menerus dengan pekerjaan, maka bertambahlah kekuatannya, tetapi apabila diberhentikan dari kerja, maka akan lemahlah dia. Demikian halnya dengan nikmat, apabila digunakan dalam perkara yang itu ia berikan, maka akan tetaplah ia, tetapi apabila diabaikan, maka akan hilanglah ia. Al-Bukhari di dalam tarikh, dan Ad-Diya’ di dalam Al-Mukhtarah mengeluarkan riwayat Anas, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

Adapun keutamaan-keutamaan syukur kepada Allah adalah sebagai berikut:
·
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.  (Al-Baqarah, 2: 152)
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ?”(QS. An-Nisa, 4: 147)
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran, 3: 145)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. (QS. Ibrahim, 14: 7)
            Di antara hads yang menyebutkan keutamaan syukur adalah sabda Rasulullah SAW:
·     الطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِمُ الصَّابِرِ
Orang makan yang bersyukur adalah sederajat dengan orang bershaum yang sabar. (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
            Perlu diketahui, bahwa bersyukur itu tersusun dari tiga perkara: ilomu, keadaan, dan perbuatan. Ilmunya adalah mengetahui bahwanikmat itu berasal dari Dzat yang memberi nikmat. Keadaannya adalah kegembiraan yang muncul oleh sebab memperoleh nikmat. Dan amalnya adalah melaksanakan apa yang dikehendaki dan disukai oleh Dzat yang memberi nikmat.
            Perbuatan (amalan) ini berkaitan dengan hati, anggota tubuh dan lisan. Kaitannya dengan hati adalah kehendak (niat) untuk melakukan kebaikan dan merahasiakannya dari seluruh makhluk. Kaitannya dengan lisan adalah melahirkan rasa syukur kepada Allah dengan mengucapkan pujian-pujian yang menunjukkan hal itu. Sedangkan kaitannya dengan tubuh adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah tersebut untuk ketaatan kepada-Nya, dan menjaga nikmat-nikmat tersebut dari penggunaannya pada kemaksiatan.
            Perlu diketahui, bahwa seseorang tidak dianggap bersyukur kepada Allah kecuali bila ia menggunaka nikmat-Nya pada perkara-perkara yang disukai-Nya, bukan pada perkara-perkara yang disukai oleh sesama hamba Allah atau oleh dirinya. Jika ia menggunakan nikmat tersebut pada perkara-perkara yang dibenci-Nya, berarti ia telah mengkufuri nikmat-Nya sebagaimana bila ia mengabaikan dan menyia-nyiakan nikmat tersebut.
            Sekalipun yang kedua ini lebih sedikit keburukannya dari yang pertama, namun dengan menyia-nyiakan itu sendiri berarti ia telah mengkufuri nikmat. Sebab, semua yang maujud (Ada) di dunia ini tidak lain diciptakan sebagai alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[14]
            Perlu diketahui, bahwa seseorang tidak akan berpaling dari mensyukuri nikmat melainkan karena kebodohan dan kelalaiannya. Kebodohan dan kelalaian inilah yang menghalanginya dari pengetahuan bahwa sesuatu yang diperolehnya adalah suatu nikmat. Oleh karena itu, tidak akan pernah tergambarkan adanya syukur nikmat melainkan sesudah diketahui adanya nikmat tersebut.
            Dalam pada itu, kalaupun ia mengetahui adanya nikmat, ia mengira bahwa mensyukurinya cukup dengan mengucapkan Alhamdulillah Wasysyukru Lillah (segala puji bagi Allah, dan segala kesyukuran bagi-Nya pula). Ia tidak menyadari bahwa makna syukur yang sebenarnya adalah menggunakan nikmat yang diperoleh pada hikmat yang sesempurna-sempurnanya, sesuai yang dikehendaki nikmat tersebut. Yakni melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
            Jika pengetahuan tentang nikmat dan makna syukur ini telah diperoleh, tetapi ia masih belum dapat melakukan kesyukuran dengan sebenarnya, maka tak bisa tidak ia telah terkalahkan oleh syahwatnya dan telah terkuasai oleh setan.
            Perlu diketahui, bahwa tidak ada satupun nikmat duniawiyah melainkan bahwa disamping kedudukannya sebagai nikmat dapat pula menjadi bencana sekaligus. Berapa banyak orang yang dalam keadaan miskin dan sakit-sakitan justru memperoleh kebaikan yang banyak, sementara ketika tubuhnya sehat dan banyak hartanya, menjadilah ia seorang yang sombong dan sewenang-wenang.
Allah SWT berfirman:
Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,… (QS. asy-Syura, 42: 27)
Dan firman-Nya:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (6), karena Dia melihat dirinya serba cukup (7). (QS. Al-‘Alaq, 96: 6-7)[15]






[1] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil,  Ahmad Junaidi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009), h. 1507.
[2] Imam Nawawi, Penerjemah Darwis, Muhtadi, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011), h. 677.
[3] لأبى عيسى محمد بن عيسى بن سورة, سنن الترمذىّ, الجزء الرابع, h. 574
[4] Moh. Zuhri Dipl.TAFL, dkk, Terjemah Sunan Tirmidzi, Jilid IV, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 143
[5] للحافظ أبى عبد الله محمد بن يزيد القزويني, سنن ابن ماجه, الجزء الثاني, h. 548
[6] Software Kutubut Tis’ah.
[7] مسند الامام احمد بن حنبل, الجلد الثاني, h. 254
[8] Imam Nawawi, Penerjemah Darwis, Muhtadi, Op.cit, h. 704.
[9] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 219-220.
[10] Ibid, h. 222.
[11] Kahar Masyhur,  Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 34-35.
[12] Asmaran As, Op.cit, h. 223.
[13] Abdullah Salim, Akhlaq Islam, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), h. 25-26.
[14] Abu Ridha, Terjemah Mau’idhotul Mukminin, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1993), h. 708-710.
[15] Ibid, h. 714-715.

No comments: