MAKALAH
A. Metode Tafsir Maudhu’i
1.
Sejarah Perkembangan Tafsir Maudhu’i
Menurut Quraish Shihab,
Metode Tafsir Maudhu’i adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada
satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut
dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalis dan
memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat
umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan Muqayad dan
lain-lain, metode tafsir maudhu’i berdasarkan surah digagas pertama kali oleh
seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar,
Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir
al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas
pertama kali oleh Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang
sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model
tafsir ini digagas
pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.[1] Buah
dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya
Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân,
dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.[2]
Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis
oleh Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.[3]
Namun
kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir maudhu’i jauh lebih awal dari
apa yang dicatat Quraish Shihab, baik maudhu’i berdasar surah maupun
berdasarkan subjek. Kaitannya dengan tafsir maudhu’i
berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhân,[4]
misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan
pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga
Suyût}î (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân.[5]
Sementa
maudhu’i berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyi al-Jauzîyah
(1292-1350H.), ulama besar dari mazhab Hambalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm
al-Qur`ân; Majâz al-Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid; Mufradât al-Qur`ân oleh
al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan al-Wahîdî
al-Naisâbûrî, dan sejumlah karya dalam Nâsikh wa al-Mansûkh, yakni; (1) Naskh
al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî, (2) Kitâb al-Nâsikh wa
al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nah hâs, (3) al-Nâsikh wa
al-Mansûkh oleh Ibn Sal-amâ, (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
al-‘Atâ`iqi, (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
Khuzayma al-Fârisî.[6]
Sebagai
tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jass âs, adalah contoh lain
dari tafsir semi maudhu’i yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh
al-Qur’an. Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir maudhu’i sudah
diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini
secara metodologis dan sistematis berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga
jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik maudhu’i berdasarkan surah
al-Qur’an maupun maudhu’i berdasar subyek/topik.
2. Langkah-Langkah Menerapkan
Metode Tafsir Maudhu’i
Menurut
Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara
rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode maudhu’i
ini, yaitu ;
a. Menetapkan
masalah yang akan dibahas ( topik )
b. Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah terseabut ;
c. Menyusun
runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai pengetahuan tentang asbabun
d.
nuzulnya
e. Memahami
kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
f. Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna;
g. Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan;
h. Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan.[7]
Sementara menurut M.Quraish Shihab ada
beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode maudhu’i ini antara lain;
a. Penetapan masalah
yang dibahas.
Walaupun metode ini dapat menampaung semua
masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas
itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh
masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang kemiskinan, keterbelakangan,
penyakit dan lain-lainnya. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini
langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat
tertentu pula.
b. Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu
kisah atau kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis
peristiwa.
c.
Kesempurnaan metode maudhu’i dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir
berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an
sendiri.Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur
yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode maudhu’i [8]
Dari uraian di atas, baik
yang dikemukakan Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama
sependapat bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir maudhu’i
adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat
topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh
kepentingan msyarakat. agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi
jawaban terhadap problem masyarakat itu.
3. Keistimewaan
Tafsir Maudhu’i Menuntaskan Persoalan Masyarakat Kontemporer
Dari
paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir maudhu’i mempunyai keistimewaan di
dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya,
antara lain :
a.
Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis
Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan
Al-Qur’an,
b. Kesimpulan yang
dihasilkan oleh metode maudhu’i mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa
pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita
kepada pendapat Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan
jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
c.
Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus
membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.[9]
B. Metode Tafsir Al Muqaran
1. Pengertian Metode Tafsir Muqaran
Quraish
Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai: "Membandingkan
ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang
berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang
sama atau diduga sama."[10]
Termasuk dalam obyek
bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan Hadits Nabi
saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir
menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada karya Ahmad al-Sayyid
al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy al-Farmâwi juga
mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa perbandingan juga
bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan penafsiran
mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan,
keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh
disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai contohnya adalah penafsir
yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu (gramatika bahasa Arab)
sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf, bidang filsafat seumpama
Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr, atau bidang fiqih
seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an, dan
sebagainya.[11]
Dari beberapa
pengertian yang dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode muqâran
adalah:
Satu, membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi kasus yang sama. Dua, membandingkan ayat al-Qur'an dengan
hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Tiga, membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an.
Metode ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif terhadap
ayat-ayat al-Qur'an.[12]
2. Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran
Berikut ini penulis akan menguraikan ruang lingkup dan
langkah-langkah penerapan metode tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
a. Perbandingan Ayat dengan Ayat
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran
dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126
Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu)
melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu
karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana".[13]
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bantuan itu)
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan
kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".[14]
Perbedaan
antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama, dalam surat Ali
'Imrân dinyatakan بشرى لكم sedangkan dalam surat al-Anfâl tidak
disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali 'Imran
dinyatakan ولتطمئن قلوبكم به yakni menempatkan kata به setelah قلوبكم sedang
dalam surah al-Anfâl kata به diletakkan
sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup
dengan وماالنصر الا من عند
الله العزيزالحكيم tanpa
menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup dengan
menggunakan إن yang
berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز حكيم Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat
yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam
Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum
muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah
ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).
Perbedaan redaksi memberi
isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum
muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah
pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka
lebih banyak --sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora ditambah
keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang Badar. Tidak
ditemukannya kata لكم pada ayat kedua
mengisyaratkan kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi
semua kaum muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan
tonggak utama kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kata
لكم mengisyaratkan bahwa berita gembira hanya
ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan syarat-syarat.
Didahulukannya به atas قلوبكم dalam surat al-Anfâl adalah dalam konteks
mendahulukan berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan
perhatian besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Berbeda dengan surat
Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak lagi memerlukan penekanan karena bukankah
sebelumnya hal itu sudah pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya
dalam surat Ali 'Imrân tidak dipakai kata إن
sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[15]
b. Perbandingan Ayat dan Hadits
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat
al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if
tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh
adalah sabagai berikut:
a) Al-Qur'an:
فمكث غيربعيد فقال اخطت بما لم تحط به وجئتك من سباء بنباء يقين. اني وجدت امراة تملكهم واوتيت من
كل شيئ ولها عرش عظيم
Artinya: "Tak lama kemudian burung Hud-hud berkata kepada Nabi
Sulaiman: "Saya mengetahui apa yang Baginda belum tahu, saya baru saja
datang dari negeri Saba` membawa berita yang meyakinkan. Saya bertemu seorang
ratu yang memimpin mereka. Seluruh penjuru negeri mendatangkan sembah
kepadanya. Dia mempunyai istana besar."[16]
Artinya: "Kaum Saba` mempunyai dua kebun yang subur di kiri kanan
tempat tinggal mereka (seraya dikatakan kepada mereka), makanlah kalian dari
rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah kepada-Nya. (Itulah) sebuah
negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun".[17]
b) Al-Hadits:
Artinya: "Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang
menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita."[18]
Jika diperhatikan
secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu
karena al-Qur'an menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya,
Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan
ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan
demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki.
Padahal -kecuali Balqis, sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan
yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk
yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).[19]
Untuk mengkomparasi dan
mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi
hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu
dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb
al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja
Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan
itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin
negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah
itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format
nakirah (indefinite). Itu berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata
itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari
hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah
memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada
kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami
demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses
kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh
perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun
perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan
terjalin kerja sama yang baik.
c) Perbandingan
Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain,
Quraish Shihab mempraktikkan metode muqâran dengan membandingkan pendapat
beberapa mufassir seperti saat الم.
Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama yang
mencoba mengintip labih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat,
atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa
yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi yang memahami
huruf-huruf yang menjadi pembuka surat al-Qur'an itu sebagai tantangan kepada
yang meragukan al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan Sayyid Quthub
yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan al-Qur'an serupa
dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia.
Dengan bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah
menciptakan kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat
batu-bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah)
Allah menjadikan al-Qur'an dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa
dan puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?"
Quraish juga
menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa
huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam
surat-suratnya. Dalam surat al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam,
dan mim. Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun
Quraish Shihab terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia mengambil
kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم
dengan الله أعلم masih relevan sampai
saat ini.[20]
3 . Kelebihan dan Kekurangan
Sebagai sebuah metode
buatan manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan di
antara kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
a. Kelebihan
1)
Memberikan wawasan yang relatif lebih luas.
Mufassir yang melibatkan diri pada tafsir metode ini akan berjumpa dengan
mufassir lain dengan pandangan-pandangan mereka sendiri yang bisa saja berbeda
dengan yang dipahami pembanding sehingga akan memperkaya wawasannya.
2)
Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
Terbukanya wawasan penafsir otomatis akan membuatnya bisa memaklumi
perbedaan hingga memunculkan sikap toleran atas perbedaan itu.
3)
Membuat mufassir labih berhati-hati.
Belantara penafsiran dan pendapat yang begitu luas disertai latar belakang
yang beraneka warna membuat penafsir lebih berhati-hati dan obyektif dalam
melakukan analisa dan menjatuhkan pilihan.
b. Kekurangan
1) Kurang cocok dengan pemula.
Memaksa seorang pemula untuk memasuki ruang penuh perbedaan pedapat akan
berakibat bukan memperkaya dan memperluas wawasannya, tapi malah bisa
membingungkannya.
2) Kurang cocok untuk memecahkan masalah kontemporer.
Di masa yang serba kompleks dan membutuhkan pemecahan yang cepat dan tepat,
metode muqaran kutang cocok karena ia lebih menekankan pada perbandingan hingga
bisa memperlambat untuk membuka makna yang sebenarnya dan relevan dengan zaman.
3) Menimbulkan kesan
pengulangan pendapat para mufassir.
Kemampuan penafsir yang hanya sampai pada membandingkan beberapa pendapat
dan tidak menampilkan pandapat yang lebih baik membuat metode ini lebih
bersifat pengulangan dari pendapat-pendapat ulama klasik.[21]
[1] Ibid., hlm. 114.
[2] Ibid.
[3] Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode
Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. olehSuryan A. Jamrah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996).
[4] Badr al-Dîn Muhammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988),1:61-72.
[5] Jalâl al-Din
al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth,
1405/1985), 2:159-161.
[6] David S.
Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew
Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford:
Clarendon Press, 1988), hlm. 120.
[7] M.Quraish Shihab, Loc.Cit, Hlm.115
[8] Ibid, Hlm.116
[9] Ibid, hlm.117
[10] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), h. 118
[11] Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl,
Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h.
75-76
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), h.65
[13] Q.S. Ali 'Irân: 126
[14] Q.S.
Al-Anfâl: 10
[15] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 194-196
[16] Q.S. An-Naml: 22-23
[17] Q.S. Saba': 15
[18] H.R. Bukhari
[19] Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 94-100
[20] Quraish Shihab, Op. cit., h. 83-84
[21] Nasarudin Baidan., Loc Cit., hlm 142-144
No comments:
Post a Comment