Thursday, 6 August 2020

Metode Tafsir Maudhu'i dan Tafsir Muqaran (Makalah Tafsir)


MAKALAH

A.  Metode Tafsir Maudhu’i
      1.  Sejarah Perkembangan Tafsir Maudhu’i
Menurut Quraish Shihab, Metode Tafsir Maudhu’i adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalis dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan Muqayad dan lain-lain, metode tafsir maudhu’i berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.[1] Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.[2] Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.[3]
Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir maudhu’i jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik maudhu’i berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kaitannya dengan tafsir maudhu’i berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhân,[4] misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyût}î (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân.[5]
Sementa maudhu’i berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyi al-Jauzîyah (1292-1350H.), ulama besar dari mazhab Hambalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al-Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid; Mufradât al-Qur`ân oleh al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan al-Wahîdî al-Naisâbûrî, dan sejumlah karya dalam Nâsikh wa al-Mansûkh, yakni; (1) Naskh al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî, (2) Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nah hâs, (3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Sal-amâ, (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Atâ`iqi, (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî.[6]
Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jass âs, adalah contoh lain dari tafsir semi maudhu’i yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir maudhu’i sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang dimasa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik maudhu’i berdasarkan surah al-Qur’an maupun maudhu’i berdasar subyek/topik.

    2.  Langkah-Langkah Menerapkan Metode Tafsir Maudhu’i
              Menurut Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara rinci menyebutkan ada tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode maudhu’i ini, yaitu ;
a.      Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik )
b.     Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah terseabut ;
c.      Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai pengetahuan tentang asbabun   
d.     nuzulnya
e.      Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
f.      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;
g.     Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan;
h.     Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), muthlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan.[7]

      Sementara menurut M.Quraish Shihab ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam menerapkan metode maudhu’i ini antara lain;
a.      Penetapan masalah yang dibahas.
Walaupun metode ini dapat menampaung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
b.       Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
c.        Kesempurnaan metode maudhu’i dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode maudhu’i [8]
  
Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan Abdul Hay Al-farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir maudhu’i adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh kepentingan msyarakat. agar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban terhadap problem masyarakat itu.


3.  Keistimewaan Tafsir Maudhu’i Menuntaskan Persoalan Masyarakat Kontemporer
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir maudhu’i mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain :
a.        Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur’an,
b.       Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode maudhu’i mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
c.        Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[9]

B.   Metode Tafsir Al Muqaran
1.      Pengertian Metode Tafsir Muqaran
Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqâran sebagai: "Membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama."[10]    
Termasuk dalam obyek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dangan Hadits Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Bersandar pada karya Ahmad al-Sayyid al-Kûmî, al-Tafsîr al-Maudhû`î, 'Abd Al-Hayy al-Farmâwi juga mengungkapkan definisi yang senada, namun ditambahkan bahwa perbandingan juga bisa dilakukan lintas kecenderungan penafsir; seperti membandingkan penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh semangat kesyi'ahan, ketashawwufan, kemu`tazilahan, keas`ariyahan, dan selainnya, serta kecenderungan yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang dikuasai seorang penafsir. Sebagai contohnya adalah penafsir yang menitikberatkan pembahasan pada bidang nahwu (gramatika bahasa Arab) sebagaimana al-Zamakhsyarî dalam al-Kassyâf, bidang filsafat seumpama Imam al-Fakhruddîn al-Râzy dalam al-Tafsîr al-Kabîr, atau bidang fiqih seperti al-Qurthuby dalam al-Jâmi` li al-Ahkâm al-Qur'an, dan sebagainya.[11]
Dari beberapa pengertian yang dipaparkan di atas, maka terlihat bahwa tafsir metode muqâran adalah:
Satu, membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Dua, membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Tiga, membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an. Metode ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif terhadap ayat-ayat al-Qur'an.[12]

2.    Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran
Berikut ini penulis akan menguraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode tafsir muqâran pada masing-masing aspek:
a.      Perbandingan Ayat dengan Ayat
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat 126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.
وما جعله الله الا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وماالنصر الا من عند الله العزيزالحكيم
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bala-bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[13]
وما جعله الله الا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وماالنصر الا من عند الله ان الله عزيزحكيم
Artinya: "Allah tidak menjadikannya (pemberian bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[14]

Perbedaan antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama, dalam surat Ali 'Imrân dinyatakan بشرى لكم sedangkan dalam surat al-Anfâl tidak disebutkan kata لكم. Kedua, dalam surat Ali 'Imran dinyatakan ولتطمئن قلوبكم به yakni menempatkan kata به setelah قلوبكم sedang dalam surah al-Anfâl kata به diletakkan sebelum قلوبكم. Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan وماالنصر الا من عند الله العزيزالحكيم tanpa menggunakan kata إن sedang surat al-Anfâl ditutup dengan menggunakan إن yang berarti "sesungguhnya", إن الله عزيز حكيم Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun dalam konteks janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).
       Perbedaan redaksi memberi isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum muslim. Pada Perang Badar, kaum muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka lebih banyak --sekitar 700 orang, sehingga semangat menggelora ditambah keyakinan akan turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang Badar. Tidak ditemukannya kata لكم pada ayat kedua mengisyaratkan kegembiraan yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi semua kaum muslimin karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan tonggak utama kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kata لكم mengisyaratkan bahwa berita gembira hanya ditujukan kepada yang hadir saja, itupun dengan syarat-syarat.
       Didahulukannya به atas قلوبكم dalam surat al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak lagi memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal itu sudah pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali 'Imrân tidak dipakai kata إن sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.[15]

b.      Perbandingan Ayat dan Hadits
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat al-Qur'an adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if tidak perlu dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh adalah sabagai berikut:
a) Al-Qur'an:
فمكث غيربعيد فقال اخطت بما لم تحط به وجئتك من سباء بنباء يقين. اني وجدت امراة تملكهم واوتيت من كل شيئ ولها عرش عظيم
Artinya: "Tak lama kemudian burung Hud-hud berkata kepada Nabi Sulaiman: "Saya mengetahui apa yang Baginda belum tahu, saya baru saja datang dari negeri Saba` membawa berita yang meyakinkan. Saya bertemu seorang ratu yang memimpin mereka. Seluruh penjuru negeri mendatangkan sembah kepadanya. Dia mempunyai istana besar."[16]
لقد كان لسباء فى مسكنهم اية جنتان عن يمين و شمال كلوا من رزق ربكم واشكروا له بلدة طيبة ورب غفور
Artinya: "Kaum Saba` mempunyai dua kebun yang subur di kiri kanan tempat tinggal mereka (seraya dikatakan kepada mereka), makanlah kalian dari rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah kepada-Nya. (Itulah) sebuah negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun".[17]

b) Al-Hadits:
ماأفلح قوم ولوا أمرهم امراة
Artinya: "Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita."[18]

Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan dengan kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an menginformasikan keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba'. Sebaliknya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidaksuksesan sebuah negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian, perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki. Padahal -kecuali Balqis, sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam mencatat tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).[19]
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut diperlukan kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke permukaan. Namun jika dipakai kaidah العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب maka akan dijumpai pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan ditemui bahwa kata قوم - امراة dibentuk dalam format nakirah (indefinite). Itu berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua bidang yang ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa sedikit pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja sama yang baik.
c) Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab mempraktikkan metode muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat الم. Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: الله أعلم. Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba mengintip labih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat al-Qur'an itu sebagai tantangan kepada yang meragukan al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan al-Qur'an serupa dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah menjadikan al-Qur'an dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?"
Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim. Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab terlihat masih meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan الم dengan الله أعلم masih relevan sampai saat ini.[20]

   3 . Kelebihan dan Kekurangan
Sebagai sebuah metode buatan manusia, maka sangat wajar bila metode ini mengandung kekurangan di antara kelebihan-kelebihan yang dipunyainya.
a.       Kelebihan
1)      Memberikan wawasan yang relatif lebih luas.
Mufassir yang melibatkan diri pada tafsir metode ini akan berjumpa dengan mufassir lain dengan pandangan-pandangan mereka sendiri yang bisa saja berbeda dengan yang dipahami pembanding sehingga akan memperkaya wawasannya.
2)      Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
Terbukanya wawasan penafsir otomatis akan membuatnya bisa memaklumi perbedaan hingga memunculkan sikap toleran atas perbedaan itu.
3)      Membuat mufassir labih berhati-hati.
Belantara penafsiran dan pendapat yang begitu luas disertai latar belakang yang beraneka warna membuat penafsir lebih berhati-hati dan obyektif dalam melakukan analisa dan menjatuhkan pilihan.
b.      Kekurangan
1)      Kurang cocok dengan pemula.
Memaksa seorang pemula untuk memasuki ruang penuh perbedaan pedapat akan berakibat bukan memperkaya dan memperluas wawasannya, tapi malah bisa membingungkannya.
2)      Kurang cocok untuk memecahkan masalah kontemporer.
Di masa yang serba kompleks dan membutuhkan pemecahan yang cepat dan tepat, metode muqaran kutang cocok karena ia lebih menekankan pada perbandingan hingga bisa memperlambat untuk membuka makna yang sebenarnya dan relevan dengan zaman.
3)   Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufassir.
Kemampuan penafsir yang hanya sampai pada membandingkan beberapa pendapat dan tidak menampilkan pandapat yang lebih baik membuat metode ini lebih bersifat pengulangan dari pendapat-pendapat ulama klasik.[21]



[1] Ibid., hlm. 114.
[2] Ibid.
[3] Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. olehSuryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[4] Badr al-Dîn Muhammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988),1:61-72.
[5] Jalâl al-Din al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth, 1405/1985), 2:159-161.
[6] David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 120.
[7]  M.Quraish Shihab, Loc.Cit, Hlm.115
[8] Ibid, Hlm.116
[9]  Ibid, hlm.117
[10] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,1996), h. 118
[11] Abd. Hayy al-Farmâwi, Metode Tafsir Maudhu`I; Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 1994, h. 30-31. Bdk dengan Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994), h. 75-76
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.65
[13] Q.S. Ali 'Irân: 126
[14] Q.S. Al-Anfâl: 10
[15] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 194-196
[16] Q.S. An-Naml: 22-23
[17] Q.S. Saba': 15
[18] H.R. Bukhari
[19] Nashruddin Baidan, Op. cit., h. 94-100
[20] Quraish Shihab, Op. cit., h. 83-84
[21] Nasarudin Baidan., Loc Cit., hlm 142-144

No comments: