Friday, 7 August 2020

Hadits Dhaif (Makalah Ulumul Hadits)


MAKALAH

A.    Pengertian Hadits Dha’if

Hadits dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dha’id berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dha’if ini karena sanad  dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujah. Dalam istilah hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung(muttashil), para perawinya tidak adil dan tidakdhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illah) pada sanad dan matan.[1]

Dari sini kemudian, kita perlu mengetahui sebab-sebab kedho’ifan hadits. Tidak semua hadits dha’if berarti tertolak sama sekali. Ada beberapa hadits dho’if yang masih dapat terangkat kualitasnya dan dapat meningkat statusnya.

Hadits yang dikatakan dha’if oleh para ulama, sebenarnya tidak selalu bermakna tertolak. Ada hadits dha’if yang masih bisa diamalkan.[2]

Dengan kaidah ini, sesungguhnya suatu hadits itu dianggap dha’if, selama belum dapat dibuktikan keshahihan atau kehasanannya. Sebab, yang diharuskan disini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah Hadits shahih dan Hadits Hasan, serta bukan hadits dha’if. Tetapi, Ulama hadits dalam membicarakan kualitas hadits sudah berusaha menjelaskan letak kedha’ifannya.[3]



B.     Contoh Hadits Dha’if

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:

مَنْ َأتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً مِنْ دُبُرٍ أًوْ كَاهِناً فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Artinya:”Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Contoh hadits dha’if yang lain:

كُنْ عَالِمًا اَوْ مُتَعَلِّمًا اَوْ مُسْتَمِعًا اَوْ مُحِبًا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتُهْلِكَ

Artinya:”Jadilahengkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkanilmuatau yang mencintaiilmu. Dan janganlahengkaumenjadi orang yang kelimamakakamuakancelaka.[4]

Dalamsanaddiatasterdapatseorangdha’ifyaitu Hakim Al-Atstram yang dinilaidha’ifolehparaulama.[5]

Kedha’ifan suatu hadits dapat dinilai dari sanad dan dapat pula dinilai dari segi matannya. Apabila di dalam sanadnya terdapat orang yang dipandang dha’if oleh sebagian ulama hadits, sedang ulama lainnya menilai sebagian periwayat yang kuat maka hadits demikian dinamakan hadits mudha’af (hadits yang diperselisihkan kuat atau lemahnya). Ulama yang mula-mula memakai hadits mudha’af ini ialah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, sedangkan Muhammad Ajjaj Al-Khatib menilai hadits mudha’af ini hadits yang paling tinggi nilainya di antara jajaran hadits-hadits dha’if.[6]Dan setelah itu, hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat saja dan periwayat tersebut dituduh dusta atau tertuduh berbuat maksiat atau banyak pelupa dan lain sebagainya, maka hadits demikian dinamakan hadits matruk (hadits yang salah satu periwayat yang tertuduh dusta), demikian pula dengan hadits mathruh.

Suatu hadits dimungkinkan menjadi dha’if kualitasnya apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

1.       Periwayatnya seorang pendusta

2.       Atau tertuduh dusta

3.       Banyak membuat kekeliruan

4.       Suka pelupa

5.       Suka maksiat dan fasik

6.       Banyak angan-angan

7.       Menyalahi periwayat kepercayaan

8.       Periwayatnya tidak dikenal

9.       Penganut bid’ah dibidang aqidah

10.    Tidak baik hafalannya[7]



C.    Hukum Periwayatan Hadits Dha’if

Hadits dha’if tidak identik dengan hadits maudhu’ (haditspalsu). Diantara hadits dha’if  terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi ia adil dan jujur. Sedang hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para  ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dha’if sekalaipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu:

1.     Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.

2.     Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’izhah, targhib watarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadits dha’if, jika tanpa sanad sebaiknya menggunakan bentuk kata aktif (mabnima’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapai cukup menggunakan bentuk pasif (mabnimajhul) yang meragukan (tamridh).



D.    Pengamalan Hadits Dha’if

Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadits dha’if. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat:

1.   Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya Bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan IbnuHazam.

2.   Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak dalam keutamaan amal atau dalam masalah hukum, pendapat abu dawud dan imam ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dha’if lebihkuat dari pada pendapat para ulama.

3.   Hadits dha’if dapat diamalkan dalam  fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:

a.   Tidak terlaludha’if, seperti di antara perawinya pendusta (hadits mawdu’) atau dituduh dusta (hadis tmatruk) orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (haditsmunkar).

b.   Masuk dalam kategori hadits yang diamalkan, seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajih (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

c.   Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.[8]

Mayoritas ulama yang mengamalkan hadits dha’if baik yang menerima secara mutlak maupun yang menentukan berbagai syarat untuk fadhail al-a’mal (keutamaan suatu amaliyah), targhib (kabar gembira) dan tarhib (suatu ancaman) umumnya berdasarkan pada suatu pendapat dari Ahmad Ibn Hambal yang mana bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram maka kami perketat persyaratannya, sedangkan riwayat untuk fadhail dan yang sejenisnya maka akan kami peringan.

Selain itu mereka juga berpendapat, bagaimana dha’ifnya suatu hadits dalam masalah tertentu, maka itulah yang terkuat selama tidak ada hadits shahih lainnya yang mengingkari dalam masalah itu, juga bagaimanapun lemahnya suatu hadits akan dapat kemungkinannya dinisbatkan kepada Nabi, lain halnya dengan hasil ijtihat seseorang yang tidak akan dapat dinisbatkan kepada Nabi.

Sementara itu ulama yang menolak mengamalkan hadits dha’if berpendapat, bahwa hadits dha’if yang dimaksud Ibn Hanbal itu adalah hadits yang berstatus hasan. Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim menafsirkan ucapan Ahmad Ibn Hanbal tentang pengamalan hadits dha’if itu maksudnya adalah hadits hasan seperti klasifikasi hadits menurut Imam Tirmidzi.

Inti dari perbedaan pendapat ituadalah sikap kehati-hatian dalam pengamalan ibadah, apakah benar-benar bersumber dari Rasulullah ataukah tidak. Jalan pemecahannya, hendaknya kita berusaha mengamalkan hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, meskipun statusnya dha’if.[9]



E.     TingkatanDha’if

Sebagai salah satu syarat hadits dha’if yang dapat diamalkan adalah tidak terlalu dha’if atau tidak terlalu buruk kedha’ifannya. Hadits yang terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapatdiamalkan sekalipun dalam  fadhail al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dha’if yang terburuk adalah mawdu’, matruk, munkar, mu’alal, mudraj, maqlub, kemudianmudhtharib.



F.     Kitab-Kitab Hadits Dha’if

Diantarakitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadits dha’if adalah:

1.   Al-Marasil, karya Abu Dawud.

2.   Al-I’lal, karya Ad-Daruquthni.

3.   Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al i’tidal karya Adz-Dzahabi.[10]




[1]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 164
[2]Zeid B. Smeer, Pengantar Study Hadits Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 36
[3]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung: Angkasa, tt), h.183
[4]Zeid B. Smeer, Op.Cit, h. 38
[5]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 164
[6]M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 275-277
[7]Loc.Cit, h. 275-276
[8]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 165-166
[9]M. Alfatih Suryadilaga dkk,Op.Cit,  h. 281-282
[10]Abdul Majid Khon, Op.Cit, h. 163-167

1 comment:

Yaudah said...


ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
WA : +855969190856