Makalah Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Apa yang ada pada
kita, yang kita miliki, yang kita terima setiap hari itu sudah menjadi
ketentuan Allah. Kaya dan miskin, bahagia dan susah, sehat dan sakit, dan semua
yang terjadi pada diri kita atau yang kita alami setiap hari merupakan
ketentuan dari Allah. Allah telah memilihkan kepada kita apa yang pantas, yang
cocok dan sesuai sehingga kita harus menerimanya dengan rasa puas dan percaya
bahwa semuanya itu pasti ada hikmah dan faedah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Hadits tentang
syukur nikmat dengan sifat qana’ah.
2.
Mufradat
hadits.
3.
Penjelasan.
HADITS TENTANG
SYUKUR NIKMAT DENGAN SIFAT QANA’AH
A.
Lafal dan Terjemah
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا
وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ.
Bersumber dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh berbahagia orang yang telah
memeluk Islam, diberi rizki cukup, dan dikaruniai oleh Allah sifat qana’ah
(suka menerima apa yang telah Allah karuniakan kepadanya).” (Muslim III: 102).[1]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْمُقْرِئُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ وَهُوَ
ابْنُ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ
اللَّهُ بِمَا آتَاهُ.[2]
Abu Bakar bin Abi
Syaibah telah memberitahukan kepada kami, Abu Abdurrahman Al-Muqri telah
memberitahukan kepada kami, dari Sa'id bin Abi Ayyub, Syurahbil ibnu Syuraik
telah memberitahukan kepada saya, dari Abu Abdurrahman Al-Hubuliy, dari Abdullah
bin Amr bin Al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Sungguh beruntung orang yang telah
masuk Islam dan diberikan rezeki yang cukup, serta Allah berikan padanya sikap
qana'ah terhadap karunia-Nya."[3]
B.
Arti
Mufradat
[4]Berhasi
baik: أَفْلَحَ
[5]Sekedar mencukupi: كَفَافًا
[6]Merasa puas: قَنَعَ
C.
Penjelasan
Perkataannya,
“Dari Abu Abdurrahman Al-Hubuliy” Al-Hubuliy disandarkan kepada Bani
Al-Hubul. Penggunaan yang populer dalam membaca kata ini berdasarkan pendapat
ulama hadits adalah Al-Hubuli. Sedangkan yang populer menurut pakar bahasa Arab
adalah Al-Hubul, di antara mereka ada yang membacanya Al-Habl.
Sabda
beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Sungguh
beruntung orang yang telah masuk Islam, dan diberikan rezeki yang cukup, serta
Allah berikan padanya sikap qana’ah terhadap karunia-Nya.” Kafaaf artinya berkecukupan, tidak lebih dan tidak
kurang. Di dalam hadits tersebut terdapat penjelasan tentang keutamaan
sifat-sifat ini. Madzhab yang berpegang bahwa berkecukupan lebih utama daripada
kemiskinan dan kekayaan, berargumen dengan hadits ini.[7]
Kata
qani’a-qan’an-qana’atan berarti rela menerima yang sedikit.[8]
Merasa cukup (qana’ah) artinya suka menerima apa yang
ada, maksudnya rela dengan pemberian yang telah dianugerahkan Allah SWT. kepada
dirinya, karena merasa memang itulah yang sudah menjadi pembagiannya. Tetapi
pengertian ini sama sekali tidak menghentikan usaha untuk menambah yang kurang,
menyempurnakan sesuatu yang dirasakan belum memuaskan dan mengupayakan hari
esok lebih baik dari hari ini.[9]
Qana’ah
adalah basis menghadapi hidup, menerbitkan kesunggguhan hidup, menimbulkan
energi kerja untuk mencari rizki, jadi berikhtiar dan juga percaya akan taqdir
yang diperoleh sebagai hasil.[10]
Sifat
qana’ah akan membawa orang tidak berlebih-lebihan dalam mengejar harta dunia
yang mengakibatkan ia lalai akan kewajiban terhadap agama. Dan orang yang yang
memiliki sifat qana’ah ini pasti tidak mempunyai sifat tamak atau rakus
terhadap pemberian Allah pada sesama makhluk, tidak dengki terhadap apa yang
menjadi milik orang lain. Perlu diketahui bahwa manusia itu apabila sudah
kejangkitan penyakit tamak pasti akan terseret kepada kelakuan yang buruk, budi
pekerti yang tercela dan cenderung kepada perbuatan keji dan munkar. Oleh sebab
itu, sifat buruk ini harus dihilangkan dengan sifat qana’ah.[11]
Orang
yang bersifat qana’ah berarti selalu menerima pemberian Allah dengan tangan
terbuka dan senang hati, tidak menggerutu atau mengeluh meskipun pemberian itu
tidak sesuai dengan jerih payah yang telah dilakukan.[12]
Banyak
yang salah menginterprestasikan arti qana’ah yang sebenarnya, sehingga
menjadikan malas berusaha dan kurang giat berikhtiar mencari kemajuan dengan
alasan qana’ah.
Sebenarnya
yang dimaksud dengan qana’ah ialah suatu sifat terpendam dalam hati, yaitu:
1.
Sabar
menerima ketentuan Tuhan.
2.
Ridho dengan
segala pemberiaa-Nya, banyak atau sedikit.
3.
Tawakkal
kepada-Nya.
Dan dibuktikan dengan perbuatan
dhohiriyyah, yaitu:
1.
Tidak mudah
terpengaruh oleh tipu daya manusia.
2.
Memohon
tambahan yang pantas kepada Allah Ta’ala.
3.
Berusaha
dengan giat.[13]
Di dalam buku
tasawuf moderen, buah kalam Buya Hamka, ada disebutkan bahwa qana’ah itu:
1.
Menerima
dengan rela apa yang ada.
2.
Memohon
kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha.
3.
Menerima
dengan sabar akan ketentuan Allah.
4.
Bertawakal
kepada Allah.
5.
Tidak
tertarik oleh tipu daya dunia.[14]
Dalam kitab al iman
wa al hayah, DR. Yusuf Al Qardhawi menyebutkan dua makna qana’ah:
Pertama,
keseimbangan dalam mencari kekayaan, mencari rizki dengan cara yang baik.
Dengan ini nafsu manusia akan terkendali dan seimbang. Ia akan hidup dengan
penuh kesenangan (sakinah) yang merupakan persyaratan hidup bahagia. Sifat
qana’ah juga menjauhkan manusia dari kehidupan yang over yang mampu
menggoncangkan jiwa atau jasad secara bersamaan. Karena itu Rasulullah
bersabda:
يَا اَيُّهَاالنَّاسُ التَّقُوْا اللهَ
وَاَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبَ فَاِنَ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْ فِى
رِزْقُهَا فَالتَّقُوْا اللهَ وَاَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ, خُذُوا مَاحَلَّ,
وَدَعُوا مَا حَرَمَ.
“Wahai
manusia, bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Maka
sesungguhnya manusia itu tidak akan mati hingga rizkinya terpenuhi. Maka
bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Ambillah yang
halal, tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua,
rela menerima pemberian Allah yang tidak bisa diubah lagi, pada batas-batas
yang telah Dia tentukan. Orang ini harus rajin dan bersemangat. Dia tidak layak
mengharap sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya, serta mengharap sesuatu yang
menjadi takdir orang lain. Contoh mengharap sesuatu yang tidak ditakdirkan
adalah seorang jompo yang mengharap tidak menjadi muda lagi, atau seorang
perempuan jelekingin menjadi cantik disertai rasa dengki dan hasud. Atau
pandangan seorang pemuda pendek pada seorang laki-laki jangkung dengan penuh
penyesalan.
Qana’ah
adalah akhlak Islami yang harus dijadikan perhiasan bagi seorang mukmin.
Rasulullah adalah manusia yang paling baik sifat qana’ahnya. Beliau berhati
kaya, rela terhadap rizki yang sederhana. Orang mukmin berhias diri dengan
sifat qana’ah karena imannya kuat.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ,وَ لؐكِنَّ الغِنَى
غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan
itu adalah kaya jiwa.” (Muttafaq
‘Alaihi).
Hadits
di atas mengandung makna bahwa standar kekayaan tidak harus diukur dari
banyaknya harta yang dimiliki. Berapa banyak orang kaya yang merasa masih
merasa kurang dan tidak mampu memanfaatkan hartanya. Seakan-akan dia adalah
orang miskin karena kerakusannya. Hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Orang yang
kaya jiwa adalah mereka yang rela menerima pemberian Allah dengan hati lapang.[15]
Jadi sangat jauh
sekali dari kebenaran orang yang berkata, baiklah kita hidup qana’ah, tidak
perlu bersusah payah.
Banyak sekali
contoh dalam kitab-kitab tarikh tentang orang yang qana’ah yang memiliki
kekayaan berlimpah, seperti Imam Abu Hanifah r.a, salah seorang imam madzhab
empat. Beliau disamping sebagai ulama yang mengajar ilmu, juga berstatus
sebagai saudagar sutera. Malik bin Dinar seorang zuhud kenamaan, adalah
pedagang kertas tulis. Qutaibah bin Muslim seorang panglima yang masyhur,
adalah saudagar onta.
Jadi qana’ah itu
bukan meninggalkan usaha, tetapi tidak tamak akan dunia serta menerima apa
adanya sebagai ketentuan dari Allah, setelah berusaha sekuat tenaga.[16]
Pada
dasarnya timbulnya sifat rakus adalah akibat dari ketidakmampuan manusia
mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Hawa nafsu manusia memang mempunyai
kecenderungan untuk bersifat rakus atau tamak. Sifat rakus ini kata Hasan
Muhammad Al Syarkawi sering membawa orang ke alam khayalan karena terbawa oleh
keinginan hawa nafsunya, yang pada gilirannya mencelakakan dirinya. Oleh karena
itu, orang-orang arif selalu berusaha untuk menghindari sifat rakus. Mereka
hanya mengarahkan segala kemauan dan usaha kepada hal-hal yang benar, jauh dari
hal-hal yang bersifat angan-angan. Mereka hanya memohon dan menyerahkan segala
urusannya kepada Allah. Dengan demikian, mereka memilih hidup qana’ah (merasa
cukup) agar terhindar dari kekeliruan yang disebabkan karena mengikuti kemauan
hawa nafsu.
Jika
seseorang dapat membersihkan dirinya dari sifat rakus dan ia bersifat qana’ah,
maka ia akan hidup bebas dari pengaruh kehidupan duniawi yang sering menutup
hati manusiawi dari kebenaran, dan ia merasa bahwa nikmatnya hidup itu hanya
ada pada sifat qana’ah bersama Tuhan.[17]
Falsafah
hidup seseorang terhadap kehidupan material adalah alat ukur bagi baik buruknya
sikap mentalnya. Barangkali sependapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah
tujuan, tetapi dunia hanya sekedar jembatan. Oleh karena itu, dalam rangka
pendidikan mental, yang pertama dan utama adalah dengan cara mengendalikan
penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak
terkontrolnya hawa nafsu adalah sumber utama dari kerusakan moral. Seandainya
kata Al-Gazali bukan karena ketergantungan manusia pada kenikmatan dan
kemewahan duniawi, pasti tidak akan terjadi kerusakan moral. Kalau bukan karena
adanya kompetisi dalam mengejar atribut-atribut kebesaran duniawi, tentu tidak
akan ada tindakan-tindakan manipulasi, korupsi, fitnah, dan sifat-sifat lainnya
yang sejalan dengan itu.[18]
Sebenarnya
apa yang ada pada kita, yang kita miliki, yang kita terima setiap hari itu
sudah menjadi ketentuan Allah. Kaya dan miskin, bahagia dan susah, sehat dan sakit,
dan semua yang terjadi pada diri kita atau yang kita alami setiap hari
merupakan ketentuan dari Allah. Allah telah memilihkan kepada kita apa yang
pantas, yang cocok dan sesuai sehingga kita harus menerimanya dengan rasa puas
dan percaya bahwa semuanya itu pasti ada hikmah dan faedah.
Menurut
kebiasaan orang yang baru mau menerima dengan perasaan puas dan gembira bila
yang diterimanya itu sesuai dengan yang diangan-angankan, misalnya cepat kaya,
lancar rizkinya, mendapat laba yang banyak dengan mudah, sehat wal afiat dan
terhindar dari segala malapetaka. Tetapi bila yang diterima itu kebalikannya,
orang lalu menggerutu, hatinya sedih merasa tidak puas, bahkan kadang-kadang
dalam hatinya terbetik suatu anggapan bahwa Allah itu tidak adil. Lalu dalam
keadaan seperti itu timbul emosinya ingin mengejar apa-apa yang belum tercapai
hingga lupa segalanya. Lupa shalatnya, lupa anak dan istrinya, lupa sanak
saudaranya, dan lupa kewajiban sosialnya dan lain-lain. Yang ada dalam benaknya
hanya ingin mengejar apa yang belum tercapai yang selama ini menjadi
angan-angannya.
Demikian
itulah kalau sifat qana’ah belum berakar dalam jiwa seseorang. Hatinya kosong
lagi gersang yang pada akhirnya akan timbul rasa putus asa. Itulah sebabnya
Rasulullah Saw menganggap bahwa sifat qana’ah adalah suatu kekayaan yang takkan
hilang dan sebagai simpanan yang tak akan lenyap. Rasulullah bersabda:
الْقَنَاعَةُ
مَالٌ لاَيَنْفَدُ وَكَنْزٌ لاَ يَغْنَى
Qana’ah
itu merupakan harta yang tak akan hilang dan sebagai simpanan yang tak akan lenyap.”
(HR. Thabarani)[19]
Sifat
qana’ah ampuh untuk membentengi diri dari pengaruh dan godaan materi yang
semakin menggiurkan, menggelitik setiap insan yang lemah iman. Dengan sifat
qana’ah pula orang tidak akan ragu dan resah menghadapi kehidupan yang serba
menyusahkan. Segala tantangan hidup dihadapinya dengan tahan dan penuh harapan
tanpa menyesali apa yang telah menimpa dirinya dari berbagai cobaan hidup.[20]
Kalau
orang tidak memiliki sifat qana’ah, dirinya akan merasa tersiksa sendiri oleh angan-angannya.
Diperolehnya uang Rp 1.000,- ingin memperoleh Rp 2.000,- mendapat uang RP
2.000,- ingin memperoleh Rp 3.000,- dan seterusnya hingga lelah badan dan
pikiran dibuatnya. Seandainya apa yang diinginkan itu tidak tercapai padahal
tenaga dan pikiran sudah dicurahkan, timbullah gerutunya tak henti-hentinya.
Akhirnya dicari jalan bagaimana/ apa yang diinginkan itu bisa tercapai meskipun
harus dengan jalan yang tidak halal.
Lebih
parah lagi jika sampai terjadi suatu anggapan di dalam hatinya bahwa Allah
tidak adil dalam memberikan karunia-Nya. Berprasangka buruk kepada Allah adalah
larangan besar, yang tidak boleh dilakukan oleh siapa saja yang mengaku dirinya
beriman kepada-Nya. Allah itu Maha bijaksana dan Maha adil. Bijaksana dalam
semua tindakan-Nya dan adil di dalam semua ketetapan dan keputusan-Nya. Berarti
apa yang menjadi keputusan dan kehendak-Nya mengandung hikmah. Hanya saja untuk
sementara kita belum mengetahui hikmah apa itu. Kita akan mengetahuinya apabila
kita memiliki sifat qana’ah, menerima apa adanya dan merasa cukup apa yang
telah diterimanya. Nanti pada suatu saat akan terasa sendiri hikmah itu
sehingga kita akan menundukkan kepala seraya membenarkan akan kebaikan sifat
qana’ah bagi seseorang.
Adapun
ciri orang yang bersifat qana’ah ialah tidak mudah terpengaruh oleh pasang
surutnya keadaan dirinya. Waktu kaya dan sehat mengucap syukur. Waktu jatuh
miskin atau tertimpa musibah tidak mengeluh. Semuanya diterimanya dengan senang
hati dan penuh keyakinan kepada Allah.[21]
Al
Qurthubi berkata: “Sesungguhnya yang terpuji adalah kaya jiwa, karena ia
menghindari ketamakan. Ia berhasil mencapai kemuliaan dan pujian lebih daripada
ketika dia kaya harta, namun miskin hati karena sifat rakus. Miskin hati
menjerumuskannya pada urusan-urusan rendah dan perbuatan hina karena rendahnya
cita-cita, kebakhilan, dan kerakusannya. Banyak orang yang mengendalikannya
(menguasainya). Akhinya, melemahlah rasa hormat manusia kepadanya.”
Walhasil,
orang yang kaya jiwa akan merasa qana’ah dengan pembagian Allah untuknya. Dia
tidak mengharap kelebihan yang tidak diperlukan. Dia tidak terlalu berlebihan
dalam mencari harta dan selalu ridha dengan pembagian yang telah ditetapkan
Allah.[22]
Manusia
utama (al Insan al fadhil) adalah orang yang berbuat amal shaleh, menggunakan
lisannya untuk berdzikir dan berbicara baik pada semua manusia, memanfaatkan
anggota badannya untuk beribadah dan berderma, mengisi akalnya dengan pikiran
yang bersumber dari iman yang murni kepada Allah, ridha dengan qadar baik
maupun buruk. Dengan itu semua, perasaannya akan terpengaruhi oleh keridhaan
dan qana’ah. Jika semua ini telah dipenuhi oleh seorang mu’min, niscaya ia akan
hidup dengan baik yang penuh dengan kemuliaan dan ketinggian derajat.
Manusia
memerlukan bimbingan Islam untuk memainkan perannya dalam masyarakat. Karena,
jika manusia menyerah kepada kecenderungan sifat rakus, maka ia akan
membahayakan masyarakat, manusia dan semesta. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jangan kamu
tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba
mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan kekal.” (Thaha:
131).[23]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata
qani’a-qan’an-qana’atan berarti rela menerima yang sedikit. Merasa
cukup (qana’ah) artinya suka menerima apa yang ada, maksudnya rela dengan
pemberian yang telah dianugerahkan Allah SWT. kepada dirinya, karena merasa
memang itulah yang sudah menjadi pembagiannya. Tetapi pengertian ini sama
sekali tidak menghentikan usaha untuk menambah yang kurang, menyempurnakan
sesuatu yang dirasakan belum memuaskan dan mengupayakan hari esok lebih baik
dari hari ini.
Jika
seseorang dapat membersihkan dirinya dari sifat rakus dan ia bersifat qana’ah,
maka ia akan hidup bebas dari pengaruh kehidupan duniawi yang sering menutup
hati manusiawi dari kebenaran, dan ia merasa bahwa nikmatnya hidup itu hanya
ada pada sifat qana’ah bersama Tuhan.
Sifat
qana’ah ampuh untuk membentengi diri dari pengaruh dan godaan materi yang
semakin menggiurkan, menggelitik setiap insan yang lemah iman. Dengan sifat
qana’ah pula orang tidak akan ragu dan resah menghadapi kehidupan yang serba
menyusahkan. Segala tantangan hidup dihadapinya dengan tahan dan penuh harapan
tanpa menyesali apa yang telah menimpa dirinya dari berbagai cobaan hidup.
Adapun
ciri orang yang bersifat qana’ah ialah tidak mudah terpengaruh oleh pasang
surutnya keadaan dirinya. Waktu kaya dan sehat mengucap syukur. Waktu jatuh
miskin atau tertimpa musibah tidak mengeluh. Semuanya diterimanya dengan senang
hati dan penuh keyakinan kepada Allah
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Penerjemah
Ma’ruf Abdul Jalil, Ahmad Junaidi, Ringkasan
Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010.
صحيح
مسلم, الجزء الأول ,(بيرات لبنان: دار الفكر,M9291) h.53
Nawawi, Imam, Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan,
Suratman, Syarah Shahih Muslim, Jilid 5, (Jakarta: Darus Sunnah Press),
2010.
لأبى عيسى محمد بن عيسى بن سورة, سنن الترمذىّ,
الجزء الرابع, (بيرات لبنان: دار الفكر(,M 1988.
Zuhri, Moh., dkk, Terjemah Sunan Tirmidzi,
Jilid IV, (Semarang: CV. Adhi Grafika), 1992.
للحافظ أبى عبد الله محمد بن يزيد القزويني, سنن
ابن ماجه, الجزء الثاني, ,( بيرات لبنان: دار الفكر(,M 2004 .
مسند
الامام احمد بن حنبل, الجلد الثاني .
Munawwir,
Ahmad Warson, Kamus Al Munawwirr, (Surabaya: Pustaka Progressif), 1997.
Fatah, Abdul,
Kehidupan Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta), 1995.
Al Sayih, Ahmad
Abdul Raheem, Keutamaan Islam, Penerjemah Muhammad Muchson Anasy,
(Jakarta: Pustaka Azzam), 2001.
As, Asmaran, Pengantar Studi Akhlak,
(Jakarta: PT. Grafindo Persada), 2002.
Umary. Barmawie,
Materi Akhlak, (Solo: CV. Ramadhani), 1984.
H.A, Idrus, Menuju
Insan Kamil, (Solo: CV. Aneka), 1996.
[1] Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil,
Ahmad Junaidi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010), h. 371.
[2]للاِمام ابى الحسين مسلم بن الحجاج القشيرىّ النّيسا بورىّ, صحيح
مسلم, الجزء الأول ,(بيرات لبنان: دار الفكر,M9291) h.53
[3] Imam Nawawi, Penerjemah
Agus Ma’mun, Suharlan, Suratman, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2010), h. 393.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al Munawwirr, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1.150
[5] Ibid, h. 1.310
[6] Ibid, h. 1.250.
[7] Imam An-Nawawi, Penerjemah
Agus Ma’mun, Suharlan, Suratman, Syarah Shahih Muslim, Jilid 5,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 395.
[8] Ahmad Abdul Raheem Al
Sayih, Keutamaan Islam, Penerjemah Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001), h. 99.
[9] Asmaran As, Pengantar
Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), h. 235.
[10] Barmawie Umary, Materi
Akhlak, (Solo: CV. Ramadhani, 1984), h. 55.
[11] Asmaran As, Opcit, h. 235.
[12] Abdul Fatah, Kehidupan
Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), h.
92
[13] Idrus H.A, Menuju
Insan Kamil, (Solo: CV. Aneka, 1996), h. 56-57.
[14] Abdul Fatah, Op.cit, h.
92.
[15] Ahmad Abdul Raheem Al
Sayih, Op.cit, h. 99-101.
[16] Idrus H.A, Op.cit, h. 57.
[17] Asmaran As, Op.cit, h.
235-236.
[18] Ibid, h. 327.
[19] Abdu Fatah, Op.cit, h.
93.
[20] Abdul Fatah, Op.ciit, h.
92.
[21] Ibid, h. 94-95.
[22] Ahmad Abdul Raheem Al Sayih, Op.cit, h. 101.
[23] Ibid, h. 103.
No comments:
Post a Comment