Saturday 24 December 2016

Hadits tentang Qana'ah (Makalah)


Makalah Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Apa yang ada pada kita, yang kita miliki, yang kita terima setiap hari itu sudah menjadi ketentuan Allah. Kaya dan miskin, bahagia dan susah, sehat dan sakit, dan semua yang terjadi pada diri kita atau yang kita alami setiap hari merupakan ketentuan dari Allah. Allah telah memilihkan kepada kita apa yang pantas, yang cocok dan sesuai sehingga kita harus menerimanya dengan rasa puas dan percaya bahwa semuanya itu pasti ada hikmah dan faedah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Hadits tentang syukur nikmat dengan sifat qana’ah.
2.      Mufradat hadits.
3.      Penjelasan.


HADITS TENTANG SYUKUR NIKMAT DENGAN SIFAT QANA’AH

A.    Lafal dan Terjemah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ.
Bersumber dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh berbahagia orang yang telah memeluk Islam, diberi rizki cukup, dan dikaruniai oleh Allah sifat qana’ah (suka menerima apa yang telah Allah karuniakan kepadanya).” (Muslim III: 102).[1]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ وَهُوَ ابْنُ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ.[2]
Abu Bakar bin Abi Syaibah telah memberitahukan kepada kami, Abu Abdurrahman Al-Muqri telah memberitahukan kepada kami, dari Sa'id bin Abi Ayyub, Syurahbil ibnu Syuraik telah memberitahukan kepada saya, dari Abu Abdurrahman Al-Hubuliy, dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Sungguh  beruntung orang yang telah masuk Islam dan diberikan rezeki yang cukup, serta Allah berikan padanya sikap qana'ah terhadap karunia-Nya."[3]
B.     Arti Mufradat
[4]Berhasi baik: أَفْلَحَ
[5]Sekedar mencukupi: كَفَافًا
[6]Merasa puas: قَنَعَ
C.    Penjelasan
Perkataannya, “Dari Abu Abdurrahman Al-Hubuliy” Al-Hubuliy disandarkan kepada Bani Al-Hubul. Penggunaan yang populer dalam membaca kata ini berdasarkan pendapat ulama hadits adalah Al-Hubuli. Sedangkan yang populer menurut pakar bahasa Arab adalah Al-Hubul, di antara mereka ada yang membacanya Al-Habl.
Sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ “Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam, dan diberikan rezeki yang cukup, serta Allah berikan padanya sikap qana’ah terhadap karunia-Nya.” Kafaaf artinya berkecukupan, tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam hadits tersebut terdapat penjelasan tentang keutamaan sifat-sifat ini. Madzhab yang berpegang bahwa berkecukupan lebih utama daripada kemiskinan dan kekayaan, berargumen dengan hadits ini.[7]
Kata qani’a-qan’an-qana’atan berarti rela menerima yang sedikit.[8] Merasa cukup (qana’ah) artinya suka menerima apa yang ada, maksudnya rela dengan pemberian yang telah dianugerahkan Allah SWT. kepada dirinya, karena merasa memang itulah yang sudah menjadi pembagiannya. Tetapi pengertian ini sama sekali tidak menghentikan usaha untuk menambah yang kurang, menyempurnakan sesuatu yang dirasakan belum memuaskan dan mengupayakan hari esok lebih baik dari hari ini.[9]
Qana’ah adalah basis menghadapi hidup, menerbitkan kesunggguhan hidup, menimbulkan energi kerja untuk mencari rizki, jadi berikhtiar dan juga percaya akan taqdir yang diperoleh sebagai hasil.[10]
Sifat qana’ah akan membawa orang tidak berlebih-lebihan dalam mengejar harta dunia yang mengakibatkan ia lalai akan kewajiban terhadap agama. Dan orang yang yang memiliki sifat qana’ah ini pasti tidak mempunyai sifat tamak atau rakus terhadap pemberian Allah pada sesama makhluk, tidak dengki terhadap apa yang menjadi milik orang lain. Perlu diketahui bahwa manusia itu apabila sudah kejangkitan penyakit tamak pasti akan terseret kepada kelakuan yang buruk, budi pekerti yang tercela dan cenderung kepada perbuatan keji dan munkar. Oleh sebab itu, sifat buruk ini harus dihilangkan dengan sifat qana’ah.[11]
Orang yang bersifat qana’ah berarti selalu menerima pemberian Allah dengan tangan terbuka dan senang hati, tidak menggerutu atau mengeluh meskipun pemberian itu tidak sesuai dengan jerih payah yang telah dilakukan.[12]
Banyak yang salah menginterprestasikan arti qana’ah yang sebenarnya, sehingga menjadikan malas berusaha dan kurang giat berikhtiar mencari kemajuan dengan alasan qana’ah.
Sebenarnya yang dimaksud dengan qana’ah ialah suatu sifat terpendam dalam hati, yaitu:
1.      Sabar menerima ketentuan Tuhan.
2.      Ridho dengan segala pemberiaa-Nya, banyak atau sedikit.
3.      Tawakkal kepada-Nya.
Dan dibuktikan dengan perbuatan dhohiriyyah, yaitu:
1.      Tidak mudah terpengaruh oleh tipu daya manusia.
2.      Memohon tambahan yang pantas kepada Allah Ta’ala.
3.      Berusaha dengan giat.[13]
Di dalam buku tasawuf moderen, buah kalam Buya Hamka, ada disebutkan bahwa qana’ah itu:
1.      Menerima dengan rela apa yang ada.
2.      Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha.
3.      Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.
4.      Bertawakal kepada Allah.
5.      Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.[14]
Dalam kitab al iman wa al hayah, DR. Yusuf Al Qardhawi menyebutkan dua makna qana’ah:
Pertama, keseimbangan dalam mencari kekayaan, mencari rizki dengan cara yang baik. Dengan ini nafsu manusia akan terkendali dan seimbang. Ia akan hidup dengan penuh kesenangan (sakinah) yang merupakan persyaratan hidup bahagia. Sifat qana’ah juga menjauhkan manusia dari kehidupan yang over yang mampu menggoncangkan jiwa atau jasad secara bersamaan. Karena itu Rasulullah bersabda:
يَا اَيُّهَاالنَّاسُ التَّقُوْا اللهَ وَاَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبَ فَاِنَ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْ فِى رِزْقُهَا فَالتَّقُوْا اللهَ وَاَجْمِلُوْا فِى الطَّلَبِ, خُذُوا مَاحَلَّ, وَدَعُوا مَا حَرَمَ.
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Maka sesungguhnya manusia itu tidak akan mati hingga rizkinya terpenuhi. Maka bertakwalah kepada Allah. Carilah (rizki) dengan cara yang baik. Ambillah yang halal, tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah)
            Kedua, rela menerima pemberian Allah yang tidak bisa diubah lagi, pada batas-batas yang telah Dia tentukan. Orang ini harus rajin dan bersemangat. Dia tidak layak mengharap sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya, serta mengharap sesuatu yang menjadi takdir orang lain. Contoh mengharap sesuatu yang tidak ditakdirkan adalah seorang jompo yang mengharap tidak menjadi muda lagi, atau seorang perempuan jelekingin menjadi cantik disertai rasa dengki dan hasud. Atau pandangan seorang pemuda pendek pada seorang laki-laki jangkung dengan penuh penyesalan.
            Qana’ah adalah akhlak Islami yang harus dijadikan perhiasan bagi seorang mukmin. Rasulullah adalah manusia yang paling baik sifat qana’ahnya. Beliau berhati kaya, rela terhadap rizki yang sederhana. Orang mukmin berhias diri dengan sifat qana’ah karena imannya kuat.
            Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ,وَ لؐكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah kaya jiwa.”  (Muttafaq ‘Alaihi).
            Hadits di atas mengandung makna bahwa standar kekayaan tidak harus diukur dari banyaknya harta yang dimiliki. Berapa banyak orang kaya yang merasa masih merasa kurang dan tidak mampu memanfaatkan hartanya. Seakan-akan dia adalah orang miskin karena kerakusannya. Hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Orang yang kaya jiwa adalah mereka yang rela menerima pemberian Allah dengan hati lapang.[15]
Jadi sangat jauh sekali dari kebenaran orang yang berkata, baiklah kita hidup qana’ah, tidak perlu bersusah payah.
Banyak sekali contoh dalam kitab-kitab tarikh tentang orang yang qana’ah yang memiliki kekayaan berlimpah, seperti Imam Abu Hanifah r.a, salah seorang imam madzhab empat. Beliau disamping sebagai ulama yang mengajar ilmu, juga berstatus sebagai saudagar sutera. Malik bin Dinar seorang zuhud kenamaan, adalah pedagang kertas tulis. Qutaibah bin Muslim seorang panglima yang masyhur, adalah saudagar onta.
Jadi qana’ah itu bukan meninggalkan usaha, tetapi tidak tamak akan dunia serta menerima apa adanya sebagai ketentuan dari Allah, setelah berusaha sekuat tenaga.[16]
            Pada dasarnya timbulnya sifat rakus adalah akibat dari ketidakmampuan manusia mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Hawa nafsu manusia memang mempunyai kecenderungan untuk bersifat rakus atau tamak. Sifat rakus ini kata Hasan Muhammad Al Syarkawi sering membawa orang ke alam khayalan karena terbawa oleh keinginan hawa nafsunya, yang pada gilirannya mencelakakan dirinya. Oleh karena itu, orang-orang arif selalu berusaha untuk menghindari sifat rakus. Mereka hanya mengarahkan segala kemauan dan usaha kepada hal-hal yang benar, jauh dari hal-hal yang bersifat angan-angan. Mereka hanya memohon dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dengan demikian, mereka memilih hidup qana’ah (merasa cukup) agar terhindar dari kekeliruan yang disebabkan karena mengikuti kemauan hawa nafsu.
            Jika seseorang dapat membersihkan dirinya dari sifat rakus dan ia bersifat qana’ah, maka ia akan hidup bebas dari pengaruh kehidupan duniawi yang sering menutup hati manusiawi dari kebenaran, dan ia merasa bahwa nikmatnya hidup itu hanya ada pada sifat qana’ah bersama Tuhan.[17]
            Falsafah hidup seseorang terhadap kehidupan material adalah alat ukur bagi baik buruknya sikap mentalnya. Barangkali sependapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi dunia hanya sekedar jembatan. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama adalah dengan cara mengendalikan penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu adalah sumber utama dari kerusakan moral. Seandainya kata Al-Gazali bukan karena ketergantungan manusia pada kenikmatan dan kemewahan duniawi, pasti tidak akan terjadi kerusakan moral. Kalau bukan karena adanya kompetisi dalam mengejar atribut-atribut kebesaran duniawi, tentu tidak akan ada tindakan-tindakan manipulasi, korupsi, fitnah, dan sifat-sifat lainnya yang sejalan dengan itu.[18]
            Sebenarnya apa yang ada pada kita, yang kita miliki, yang kita terima setiap hari itu sudah menjadi ketentuan Allah. Kaya dan miskin, bahagia dan susah, sehat dan sakit, dan semua yang terjadi pada diri kita atau yang kita alami setiap hari merupakan ketentuan dari Allah. Allah telah memilihkan kepada kita apa yang pantas, yang cocok dan sesuai sehingga kita harus menerimanya dengan rasa puas dan percaya bahwa semuanya itu pasti ada hikmah dan faedah.
            Menurut kebiasaan orang yang baru mau menerima dengan perasaan puas dan gembira bila yang diterimanya itu sesuai dengan yang diangan-angankan, misalnya cepat kaya, lancar rizkinya, mendapat laba yang banyak dengan mudah, sehat wal afiat dan terhindar dari segala malapetaka. Tetapi bila yang diterima itu kebalikannya, orang lalu menggerutu, hatinya sedih merasa tidak puas, bahkan kadang-kadang dalam hatinya terbetik suatu anggapan bahwa Allah itu tidak adil. Lalu dalam keadaan seperti itu timbul emosinya ingin mengejar apa-apa yang belum tercapai hingga lupa segalanya. Lupa shalatnya, lupa anak dan istrinya, lupa sanak saudaranya, dan lupa kewajiban sosialnya dan lain-lain. Yang ada dalam benaknya hanya ingin mengejar apa yang belum tercapai yang selama ini menjadi angan-angannya.
            Demikian itulah kalau sifat qana’ah belum berakar dalam jiwa seseorang. Hatinya kosong lagi gersang yang pada akhirnya akan timbul rasa putus asa. Itulah sebabnya Rasulullah Saw menganggap bahwa sifat qana’ah adalah suatu kekayaan yang takkan hilang dan sebagai simpanan yang tak akan lenyap. Rasulullah bersabda:
الْقَنَاعَةُ مَالٌ لاَيَنْفَدُ وَكَنْزٌ لاَ يَغْنَى
            Qana’ah itu merupakan harta yang tak akan hilang dan sebagai simpanan yang tak akan lenyap.” (HR. Thabarani)[19]
            Sifat qana’ah ampuh untuk membentengi diri dari pengaruh dan godaan materi yang semakin menggiurkan, menggelitik setiap insan yang lemah iman. Dengan sifat qana’ah pula orang tidak akan ragu dan resah menghadapi kehidupan yang serba menyusahkan. Segala tantangan hidup dihadapinya dengan tahan dan penuh harapan tanpa menyesali apa yang telah menimpa dirinya dari berbagai cobaan hidup.[20]
            Kalau orang tidak memiliki sifat qana’ah, dirinya akan merasa tersiksa sendiri oleh angan-angannya. Diperolehnya uang Rp 1.000,- ingin memperoleh Rp 2.000,- mendapat uang RP 2.000,- ingin memperoleh Rp 3.000,- dan seterusnya hingga lelah badan dan pikiran dibuatnya. Seandainya apa yang diinginkan itu tidak tercapai padahal tenaga dan pikiran sudah dicurahkan, timbullah gerutunya tak henti-hentinya. Akhirnya dicari jalan bagaimana/ apa yang diinginkan itu bisa tercapai meskipun harus dengan jalan yang tidak halal.
            Lebih parah lagi jika sampai terjadi suatu anggapan di dalam hatinya bahwa Allah tidak adil dalam memberikan karunia-Nya. Berprasangka buruk kepada Allah adalah larangan besar, yang tidak boleh dilakukan oleh siapa saja yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya. Allah itu Maha bijaksana dan Maha adil. Bijaksana dalam semua tindakan-Nya dan adil di dalam semua ketetapan dan keputusan-Nya. Berarti apa yang menjadi keputusan dan kehendak-Nya mengandung hikmah. Hanya saja untuk sementara kita belum mengetahui hikmah apa itu. Kita akan mengetahuinya apabila kita memiliki sifat qana’ah, menerima apa adanya dan merasa cukup apa yang telah diterimanya. Nanti pada suatu saat akan terasa sendiri hikmah itu sehingga kita akan menundukkan kepala seraya membenarkan akan kebaikan sifat qana’ah bagi seseorang.
            Adapun ciri orang yang bersifat qana’ah ialah tidak mudah terpengaruh oleh pasang surutnya keadaan dirinya. Waktu kaya dan sehat mengucap syukur. Waktu jatuh miskin atau tertimpa musibah tidak mengeluh. Semuanya diterimanya dengan senang hati dan penuh keyakinan kepada Allah.[21]
            Al Qurthubi berkata: “Sesungguhnya yang terpuji adalah kaya jiwa, karena ia menghindari ketamakan. Ia berhasil mencapai kemuliaan dan pujian lebih daripada ketika dia kaya harta, namun miskin hati karena sifat rakus. Miskin hati menjerumuskannya pada urusan-urusan rendah dan perbuatan hina karena rendahnya cita-cita, kebakhilan, dan kerakusannya. Banyak orang yang mengendalikannya (menguasainya). Akhinya, melemahlah rasa hormat manusia kepadanya.”
            Walhasil, orang yang kaya jiwa akan merasa qana’ah dengan pembagian Allah untuknya. Dia tidak mengharap kelebihan yang tidak diperlukan. Dia tidak terlalu berlebihan dalam mencari harta dan selalu ridha dengan pembagian yang telah ditetapkan Allah.[22]
            Manusia utama (al Insan al fadhil) adalah orang yang berbuat amal shaleh, menggunakan lisannya untuk berdzikir dan berbicara baik pada semua manusia, memanfaatkan anggota badannya untuk beribadah dan berderma, mengisi akalnya dengan pikiran yang bersumber dari iman yang murni kepada Allah, ridha dengan qadar baik maupun buruk. Dengan itu semua, perasaannya akan terpengaruhi oleh keridhaan dan qana’ah. Jika semua ini telah dipenuhi oleh seorang mu’min, niscaya ia akan hidup dengan baik yang penuh dengan kemuliaan dan ketinggian derajat.
            Manusia memerlukan bimbingan Islam untuk memainkan perannya dalam masyarakat. Karena, jika manusia menyerah kepada kecenderungan sifat rakus, maka ia akan membahayakan masyarakat, manusia dan semesta. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jangan kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan kekal.” (Thaha: 131).[23]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Kata qani’a-qan’an-qana’atan berarti rela menerima yang sedikit. Merasa cukup (qana’ah) artinya suka menerima apa yang ada, maksudnya rela dengan pemberian yang telah dianugerahkan Allah SWT. kepada dirinya, karena merasa memang itulah yang sudah menjadi pembagiannya. Tetapi pengertian ini sama sekali tidak menghentikan usaha untuk menambah yang kurang, menyempurnakan sesuatu yang dirasakan belum memuaskan dan mengupayakan hari esok lebih baik dari hari ini.
            Jika seseorang dapat membersihkan dirinya dari sifat rakus dan ia bersifat qana’ah, maka ia akan hidup bebas dari pengaruh kehidupan duniawi yang sering menutup hati manusiawi dari kebenaran, dan ia merasa bahwa nikmatnya hidup itu hanya ada pada sifat qana’ah bersama Tuhan.
            Sifat qana’ah ampuh untuk membentengi diri dari pengaruh dan godaan materi yang semakin menggiurkan, menggelitik setiap insan yang lemah iman. Dengan sifat qana’ah pula orang tidak akan ragu dan resah menghadapi kehidupan yang serba menyusahkan. Segala tantangan hidup dihadapinya dengan tahan dan penuh harapan tanpa menyesali apa yang telah menimpa dirinya dari berbagai cobaan hidup.
            Adapun ciri orang yang bersifat qana’ah ialah tidak mudah terpengaruh oleh pasang surutnya keadaan dirinya. Waktu kaya dan sehat mengucap syukur. Waktu jatuh miskin atau tertimpa musibah tidak mengeluh. Semuanya diterimanya dengan senang hati dan penuh keyakinan kepada Allah


DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil,  Ahmad Junaidi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah), 2010.

صحيح مسلم, الجزء الأول ,(بيرات لبنان: دار الفكر,M9291)  h.53
 
Nawawi, Imam, Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan, Suratman, Syarah Shahih Muslim, Jilid 5, (Jakarta: Darus Sunnah Press), 2010.

لأبى عيسى محمد بن عيسى بن سورة, سنن الترمذىّ, الجزء الرابع, (بيرات لبنان: دار الفكر(,M 1988.

Zuhri, Moh., dkk, Terjemah Sunan Tirmidzi, Jilid IV, (Semarang: CV. Adhi Grafika), 1992.

للحافظ أبى عبد الله محمد بن يزيد القزويني, سنن ابن ماجه, الجزء الثاني, ,( بيرات لبنان: دار الفكر(,M 2004 .

مسند الامام احمد بن حنبل, الجلد الثاني .

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwirr, (Surabaya: Pustaka Progressif), 1997.

Fatah, Abdul, Kehidupan Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 1995.

Al Sayih, Ahmad Abdul Raheem, Keutamaan Islam, Penerjemah Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Azzam), 2001.

As,  Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Grafindo Persada), 2002.

Umary. Barmawie, Materi Akhlak, (Solo: CV. Ramadhani), 1984.

H.A, Idrus, Menuju Insan Kamil, (Solo: CV. Aneka), 1996.




[1] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil,  Ahmad Junaidi, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), h. 371.
[2]للاِمام ابى الحسين مسلم بن الحجاج القشيرىّ النّيسا بورىّ, صحيح مسلم, الجزء الأول ,(بيرات لبنان: دار الفكر,M9291)  h.53 
[3] Imam Nawawi, Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan, Suratman, Syarah Shahih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 393.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwirr, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1.150
[5] Ibid, h. 1.310
[6] Ibid, h. 1.250.
[7] Imam An-Nawawi, Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan, Suratman, Syarah Shahih Muslim, Jilid 5, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 395.
[8] Ahmad Abdul Raheem Al Sayih, Keutamaan Islam, Penerjemah Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h.  99.
[9] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), h. 235.
[10] Barmawie Umary, Materi Akhlak, (Solo: CV. Ramadhani, 1984), h. 55.
[11] Asmaran As, Opcit, h. 235.
[12] Abdul Fatah, Kehidupan Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), h. 92
[13] Idrus H.A, Menuju Insan Kamil, (Solo: CV. Aneka, 1996), h. 56-57.
[14] Abdul Fatah, Op.cit, h. 92.
[15] Ahmad Abdul Raheem Al Sayih, Op.cit, h. 99-101.
[16] Idrus H.A, Op.cit, h. 57.
[17] Asmaran As, Op.cit, h. 235-236.
[18] Ibid, h. 327.
[19] Abdu Fatah, Op.cit, h. 93.
[20] Abdul Fatah, Op.ciit, h. 92.
[21] Ibid, h. 94-95.
[22] Ahmad Abdul Raheem  Al Sayih, Op.cit, h. 101.
[23] Ibid, h. 103.

No comments: