Friday 23 December 2016

ABORSI MENURUT PANDANGAN ISLAM (MAKALAH MASAIL FIQIH WA HADITSAH)


MAKALAH

A.  Pengertian Abortus (Aborsi)
Dalam bahasa Inggris abortus disebut abortion, berasal dari bahasa Latin yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab, abortus, biasa disebut dengan isqath, ijhaadh. Dalam Ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai seribu gram.[1]
Menurut M. Ali Hasan, beliau mengutip pendapat Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), memberikan pengertian bahwa abortus adalah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dalam ilmu kedokteran dijelaskan bahwa sampai saat ini janin yang terkecil yang dapat hidup di luar kandungan, bila telah mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarang janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 1.000 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 1.000 gram. Janin yang berusia 16 minggu dapat disamakan dengan manusia, karena peredaran darahnya yang merupakan tanda dari kehidupan telah berfungsi sebagaimana mestinya. Firman Allah:
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(QS. Al Mu’minun: 12-14)
Kalimat Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, dalam tafsir dikatakan:
(¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4) أي ثم بعد تلك الأطوار نفخنا فيه الروح فصيرناه خلقااخر في أحسن تقويم قال الرازى: أي جعلناه خلقامبينا للخلق الأول حيث صار إنساناوكان جمادا, وناطقاوكان أبكم, وسميعاوكان أصم, وبصيراوكان أعمه, وأودع كل عضومن أعضائه عجائب فطرة, وغرائب حكمة لايحيط بهاوصف الواصفين[2]

Maka setelah diciptakan manusia dari tanah, dijadikan air mani dalam rahim, menjadi segumpal darah, kemudian segumpal daging, kemudian ditiupkan ruh dan manusia itu dijadikan sebaik-baik bentuk. Kata نطفة dalam bahasa arab berarti setetes yang dapat membasahi. Ada juga yang memahami kata itu dalam arti hasil pertemuan sperma dan ovum.
Dijelaskan pula dalam hadits Nabi:

عَنْ زَيْدِبْنِ وَهْبٍ عن عَبْدِاللهِ قَالَ حدثنارسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليه وسلم وهُوَالصَّادِق المَصْدُوْقُ إِنَّ أحدَكمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطن أُمِّهِ أَرْبعيْنَ يَومًا نُطْفَةً ثم يكون فى ذلك عَلَقَةً مثل ذلك ثم يكون فى ذلك مُطْغَةً مثل ذلك ثم يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فيه الرُّوح
Dari Zaid bin Wahab dari Abdillah meriwayatkan: Rasulullah SAW.menjelaskan kepada kami (beliau adalah benar dan dipercaya), bahwa sesungguhnya seseorang di antara kalian dikumpulkan kejadiannya di dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dengan waktu yang sama, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) dengan masa yang sama, kemudian diutus seorang malaikat meniupkan ruh kepadanya”. (HR. Muslim)
Maka, janin yang dikeluarkan sebelum mencapai 16 minggu dan sebelum mencapai berat 1.000 gram, disebut sebagai abortus atau aborsi, baik karena alasan medis maupun karena didorong oleh alasan-alasan lain. Adapun pengguguran janin yang sudah berusia 16 minggu ke atas, dimasukkan ke dalam pembunuhan karena sudah bernyawa.[3]
أن الدم يجتمع فى الرحم مدة تخلق الحمل وقبل نفخ الروح فيه أربعين يوما نطفة ثم مثلها علقة ثم مثلها مضغة فتلك أربعة أشهر[4]
B.  Pembagian dan Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Abortus (Aborsi)
Abortus ada dua macam yaitu sebagai berikut:
1.    Abortus spontan (spontaneous abortus), ialah abortus yang tidak disengaja, bisa terjadi karena penyakit sifilis, kecelakaan, dan sebagainya.
2.    Abortus yang disengaja (abortus provocatus), terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.    Abortus artificialis therapicus, ialah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi tertentu, misalnya bisa membahayakan jiwa sicalon ibu, karena penyakit, dan lain-lain.
b.    Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis, misalnya abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar nikah atau untuk kehamilan yang tidak  dikehendaki.[5]
Selain itu, tentunya ada pula faktor-faktor yang mendorong terjadinya abortus:
a.    Faktor pribadi, yaitu datang dari manusia itu sendiri, misalnya karena miskin, tidak ingin punya banyak anak, menjaga kecantikan, dan sebagainya.
b.    Menghindari kemungkinan terjadi cacat jasmani atau rohani apabila janin dilahirkan.
c.    Indikasi Medis; yaitu seorang dokter yang menggugurkan kandungan seorang ibu, karena dipandangnya bahwa nyawa wanita yang bersangkutan, tidak dapat tertolong bila kandungannya dipertahankan, karena diindapi penyakit yang berbahaya; antara lain:
1.    Penyakit jantung
2.    Penyakit paru-paru
3.    Penyakit ginjal
4.    Penyakit Hypertensi dan sebagainya.
d.   Faktor moral, Karena malu dikatakan dihamili oleh pria yang bukan suaminya, dan sebagainya.[6]

C.  Dampak Abortus
1.    Timbul luka-luka dan infeksi pada dinding alat kelamin dan merusak organ-organ di dekatnya seperti kandung kemih atau usus.
2.    Pendarahan sebagai akibat dari penggunaan obat-obatan dan alat-alat.
3.    Menstruasi tidak normal lagi selama sisa produk kehamilan belum dikeluarka dan bahkan sisa itu dapat berubah menjadi kanker.
4.    Bahaya kemungkinan terjadinya infeksi besar sekali, terutama jika abortus menggunakan peralatan yang tidak steril.
D.  Hukum Abortus (pengguguran Kandungan)
Mengenai hukum menggugurkan kandungan, tidak ada nash yang secara langsung meneybutkannya, baik Al Qur’an maupun hadits. Sedangkan yang dijelaskan dalam Al Qur’an adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang abadi di neraka Jahannam. Firman Allah:

dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisaa: 93)

Ibnu Qudamah[7] berkata, inilah kebanyakan ahli ilmu, pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a. mereka berdalil dengan firman Allah:
 
dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-nisaa: 92)
Menurut M. Nu’aim Yasin bahwa para fuqaha Islam telah sepakat dalam menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh. Adapun sebagian besar perbedaan di antara mereka mengenai pengguguran janin sebelum peniupan ruh.
يحرم التسبب فى إسقاط الجنين بعد استقرارفى الرحم بأن صارعلقة أومضغة ولوقبل نفخ الروح كما فى التحفة وقال م ر لايحرم إلا بعدالنفخ واختلف النقل عن الحنيفة فى الجوازمطلقاوفى عدمه بعدنفخ الروح وهل هوكبيرةالأحواط أن يقال إن علم الجانى بوجودالحمل بقرائن الأحوال وتعمد فعل مايجحض غالبا وقدنفخ فيه الروح ولم يقلد القائل
 با لحل فكبيرةوإلافلا [8]                                         
Haram menggugurkan janin jika sudah ditetapkan dalam rahim, yakni sudah menjadi segumpal darah atau segumpal daging sekalipun sebelum ditiupkan ruh sebagaimana yang disebutkan dalam Tuhfah (karya Ibnu Hajar[9] ). Sedangkan Sayyid Abdurrahman mengatakan tidak haram menggugurkan janin sebelum peniupan ruh kecuali sesudah peniupan maka dihukumkan haram. Berbeda dengan pendapat yang dinukil dari Imam Hanifah, bahwa boleh secara muthlaq menggugurkan janin, kebolehan itu akan hilang manakala sesudah peniupan ruh, dikatakan bahwa jika janin telah diketahui adanya  melalui tanda-tanda keadaannya dan kebanyakan orang bermaksud dengan sengaja melakukan pengguguran maka tidak termasuk dalam kategori kebolehan yang dikatakan oleh mushannif.     
1.    Hukum pengguguran janin setelah peniupan ruh
Para fuqaha sepakat atas haramnya pengguguran janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya.[10] Mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah peniupan ruh, hingga jika keberadaan janin itu membahayakan ibunya. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan bahwa seorang wanita hamil yang terancam bahaya karena anak yang ada di dalam perutnya, anaknya tidak boleh digugurkan, tetapi jika anaknya sudah mati di dalam perut tidak apa-apa digugurkan. Dan jika masih hidup, tidak diperboehkan, karena menghidupkan seorang jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak diperkenankan dalam syari’at.
Ibnu ‘Abidin[11] juga mengatakan tidak boleh digugurkan, karena kematian ibunya masih diragukan, maka tidak boleh membunuh manusia yang hidup karean perkara yang meragukan. Dasar dari penetapan hukum ini adalah bahwa membunuh jiwa yang diharamkan secara syari’at tidak boleh hukumnya dengan alasan apapun. Firman Allah:

dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS Al Israa: 33)

Namun demikian, panitia penelitian ilmiah dalam perspektif fiqih yang dibentuk oleh kementrian wakaf di Kuwait membolehkan pengguguran janin walaupun telah ditiupkan ruh kepadanya, jika itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan ibunya dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibunya lebih diutamakan, karena kehidupannya lebih dulu ada dan sudah ada secara meyakinkan.[12] Adapun alasan yang dijadikan  sandaran oleh panitia ilmiah ini adalah bahwa kehidupan sang ibu telah jelas adanya secara meyakinkan. Namun alasan itu bisa dibantah, bahwa jika yang dimaksud adalah hidupnya sang ibu ketika melahirkan, maka janin pun juga demikian halnya, karena janin itu telah ditiupkan ruhnya dan untuk mengetahui hakikat kehidupan janin, dengan adanya kemajuan dalam dunia kedokteran sangat memungkinkan secara mendetail. Artinya bahwa tidak seorang pun dapat memastikan bahwa kehidupan dapat bertahan lama, sehingga tidak sah menyatakan bahwa kehidupan salah satu dari mereka dapat dipastikan secara meyakinkan.
Ini berarti bahwa tidak ada jalan untuk memberikan keringanan dalam menggugurkan janin yang telah memiliki ruh untuk menyelamatkan ibunya dari kematian, kecuali dengan alasan bahwa kehormatan jiwa sang ibu lebih tinggi daripada kehormatan jiwa sang janin.
2.    Hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh
a.    Mazhab Hanafi[13]
1)   Para fuqaha dari mazhab Hanafi membolehkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua orangtuanya. Argumen yang mereka kemukakan tentang bolehnya hal tersebut karena sebelum peniupan ruh, belum terjadi penciptaan apapun pada janin. Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab ini berkata, membolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin berusi 120 hari. Mereka membolehkannya sebelum waktu itu, karena janin itu masih belum menjadi manusia. Pengguguran pun dibolehkan baik itu karena halangan ataupun tidak.
2)   Beberapa fuqaha madzhab Hanafi mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh karena janin pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya akan menjadi manusia atas kehendak Allah.[14] Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang dan mereka menganggap hal tersebut sebagai pembunuhan terselubung. Mereka beralasan bahwa ‘azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya.
3)   Sebagian ulama madzhab Hanafi yang lain berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh hukumnya boleh tapi makruh, karena setelah zigot menempel pada dinding rahim, dia adalah hidup.
b.    Madzhab Maliki[15]
1)   Jumhur ulama madzhab Maliki mengharamkan pengguguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Pendapat Ibnu Arabi bahwa seorang anak mempunyai tiga keadaan:
a)    Keadaan sebelum adanya percampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
b)   Keadaan setelah rahim menangkap sperma, maka pada saat itu tidak boleh seorang pun untuk menggugurkannya .
c)    Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini tidak boleh digugurkan.
Istihsan yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd Al-Maliki[16] menyatakan bahwa tidak wajib mengganti dengan budak bagi orang yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh.  Dia berkata, “Mereka berselisih pendapat dalam masalah ini, yaitu tentang ciptaan yang harus diganti dengan budak. Lalu Imam Malik berkata, “Setiap mudghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah) yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, maka pelakunya harus menggantinya dengan budak, ‘ Dan Syafi’i berkata, ‘Tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin itu mempunyai bentuk, dan yang palig benar adalah diwajibkan mengganti degan budak bila menggugurkan janin yang telah ditiupkan ruh kepadanya.
2)   Sebagian ulama malikiyah memakruhkan pengguguran janin setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia 40 hari dan mengharamkannya sesudah itu.
3)   Al Lakhami salah seorang ulama Malikiyah berpendapat, bahwa menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari hukumnya boleh dan tidak boleh mengganti apa-apa.
4)   Sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi rukhshah untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil.
Maka dapat disimpulkan pendapat ulama madzhab Maliki bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin berusia 40 hari. Sedangkan sebelum janin berusia 40 hari, mayoritas ulama mereka mengharamkan, ada sebagian yang memakruhkan, Al-Lakhami membolehkan, dan sebagian lagi memberikan rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.
c.    Madzhab Syafi’i
1)   Pendapat pertama bahwa mengguguran kandung  selama janin belum ditiupkan ruh adalah boleh. Ar-Ramli[17] berkata dalam Nihayah Al Muhtaj mengatakan, “Yang benar, diharamkannyya setelah peniupan ruh secara mutlak dan dibolehkan sebelumnya.”
2)   Imam Abu Hamid Al Ghazali[18] mengharmkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dia mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelu  peniupan ruh, haram untuk digugurkan.
Para ulama madzhab Syafi’i meyatakan bahwa pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alasan yang rasional, namun jika ada alasan yang rasional, maka semuanya membolehkan.
d.   Madzhab Hambali[19]
1)   Pendapat mereka secra umum dalam madzhab, membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin, yaitu fase zigot, yang usianya maksimal 40 hari, dan setelah 40 hari tidak boleh digugurkan.
2)   Ibnul Jauzi[20] berpendapat mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh dalam semua fase perkembangan janin.
3)   Sebagian ulama Hambali membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara mutlak tanpa mensyaratkan fase-fase tertentu.
M. Nu’aim Yasin dalam bukunya fikih Kedokteran menyimpulkan pendapat para fuqaha dan membaginya berdasarkan fase-fase perkembangan janin yaitu sebagai berikut:
a.    Fase 40 hari pertama (fase nuthfah/zigot). Sebagian besar fuqaha Hanfiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Al Lakhami dari Malikiyah, membolehkan pengguguran janin pada usia 40 hari pertama. Sedangkan sebagian besar ulama Malikiyah mengharamkannya, demikian juga sebagian fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.
b.    Fase 40 hari kedua (fase ‘alaqah/ segumpal darah). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah,  Hanabilah membolehkan pengguguran janin pada usia ini. Sedangkan semua fuqha Malikiyah mengharamkannya. Begitu pula sebagian fuqaha Hanafiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah.
c.    Fase 40 hari ketiga (fae mudghah/segunpal daging). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, jumhur fuqaha Syafi’iyah, dan sebagian madzhab Hambali berpendapat boleh menggugurkannya, sedangkan semua fuqaha Malikiyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah, sebagian besar fuqaha Hanafiyah, serta sebagian fuqaha Syafi’iyah serta pengikut-pengikutnya mengharamkannya dengan alasan karena fase ini dianggap waktu yang sudah dekat dengan waktu peniupan ruh.
d.   Adapun bagi orang-orang yang mengharamkannya pada dua fase perkembangan itu (sebelum dan sesudah peniupan ruh), menunjukkan bahwa tingkat keharamannya berbeda sesuai dengan tingkat umur janin , hingga akhirnya pengguguran janin yang telah berumur empat bulan pertama dianggap sebagai pembunuhan terhadap manusia, sedangkan sebelum itu tidak dianggap pembunuhan.
e.    Pengguguran janin sebelum peniupan ruh tidak dianggap pembunuhan terhadap manusia berdasarkan kesepakatan fuqaha jika ada alasan yang rasional.

3.    Pendapat yang rajih
a.    Di dalam hadits tentang peniupan ruh Rasulullah saw.bersabda:
“Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari . setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Manakala genap empat puluh hari ketiga, berubahlah menjadi segumpal daging. kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezeki, waktu kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.”
Hadits tersebut menjelaskan dua hal:
1)   Penulisan takdir yang berkaitan dengan manusia yang hendak diciptakan.
2)   Tentang peniupan ruh.
Maksudnya adalah bahwa sifat-sifat kemanusiaan tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk di dalam perut ibunya sebelum dia sampai pada umur empat bulan pertama dari umur janin. Maksud inilah yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha klasik yang kemudian mereka tegaskan bahwa sifat-sifat kemanusiaan pada janin itu ada setelah ditiupkan ruh kepadanya.
b.     Hadits shahih dari Bukhari[21] dan Muslim[22]
Sesungguhnya Allah mengutus malaikat ke dalam Rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia masih berupa air mani. Setelah beberapa saat, malaikat berkata lagi, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa darah beku. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari malaikat berkata lagi, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah hendak membuat keputusan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Orang ini akan diciptakan lelaki atau perempuan?’ Celaka atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Serta bagaimana pula ajalnya? Segala-galanya dicatata semasa dalam perut ibunya.”
Malaikat yang bertugas pada rahim tidak bertanya kepada Tuhannya tentang takdir manusia kecuali setelah fase menginjak fase perkembangan ketiga; nuthfah, ‘alaqah, mudghah, dan fase setelah menginjak usia empat bulan.
c.    Ayat –ayat Al Qur’an tentang perkembangan penciptaan manusia di dalam  perut ibunya. Firman Allah dalam Surah Al Hajj:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.(Al Hajj:5)
(مخلقة وغيرمخلقة) أي مستبنية الخلق مصورة وغيرمصورة قال ابن زيد : المخلقة التي خلق الله فيها الرأس واليدين والرجلين وغير مخلقة التي لم يخلق فيهاشيئ[23]
Firman Allah dalam Surah A Qiyamah:
 
 Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. (Al Qiyamah: 27-29)
Firman Allah ini tentunya selaras dengan hadits-hadits di atas bahwa manusia itu diciptakan dengan beberapa tingkat fase perkembangan hingga akhirnya menjadi manusia seutuhnya. Dalam kitab Nihayah Al Muhtaj yang termasuk kitab mazhab syafi’i, disebutkan dua macam pendapat para ahli mengenai nutfah sebelum empat puluh hari.
“Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim. Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan sesudah penciptaan/pembentukan. Dan mereka memperbolehkan aborsi sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
d.   Sebagian besar fuqaha yang mensyarah hadits Ibnu Mas’ud[24] menafsirkan kalimat peniupan ruh itu dengan sebab yang dengannya Allah mengawali kehidupan yang diberi sifat-sifat kemanusiaan pada mjanin, walaupun sebagian besar dari mereka tidak seara terus terng menolak adanay kehidupan yang mutlak sebelum adanya sebab tersebut.
e.    Selain itu, yang menguatkan argumentasi para ulama yaitu peniupan ruh pada janin merupakan sebab janin menjadi sosok seorang manusia, adalah keadaan ruh yang pertama yang ditempatkan Allah di muka bumi, yaitu Adam. Firman Allah dalam Surah Shaad:
 Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya". (QS Shaad: 72)

f.     Adanya kesepakatan bahwa berpisahnya ruh dari badan menjadi sebab hakiki bagi habisnya kehidupan manusia di dunia, walaupun waktu berpisahnya ruh ini tidak ditentukan secara pasti. Firman Allah:

 Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya… (QS Az-Zumar: 42)



Namun, terjadi pertentangan dari para pembahas modern tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa penafsiran tentang ruh di dalam hadits Ibnu Mas’ud tersebut bertentangan dengan firman Allah:
š 
85. dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS Al Israa: 85)
Dari ayat di atas mereka berkesimpulan bahwa masalah ruh adalah masalah ghaib yang tidak boleh diperbincangkan dan ditetapkan hukumnya. Namun, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang ghaib dan masalah ruh adalah hakikatnya dan bagaimana ruh itu melekat pada jasad hanya Allahlah yang tahu. Ini sama sekaali bukan berarti bahwa akal tidak boleh memikirkan tentang masalah roh dari aspek lainnya yang tidak berkaitan dengan hakikatnya, seperti waktu bertemunya dengan badan, waktu perpisahannya, pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, dan sebagainya.
Berdasarkan pembahasan-pembahasan tersebut, maka hukum pengguguran kandungan (abortus) adalah sebagai berikut:
1.    Jika kehidupan janin terbagi menjadi dua fase (sebelum dan sesudah peniupan ruh), dan janin tidak bisa disebut manusia kecuali setelah masuk kehidupan fase kedua. Maka akan dibedakan hukum menggugurkan janin yang belum ditiupkan ruh kepadanya.
2.    Adapun fase dimana janin belum ditiupkan ruh kepadanya, maka menggugurkannya berarti merusak, sedangkan hukum merusak berbeda-beda sesuai dengan obyek yang dirusak. Hukum perusakan bisa menjadi wajib jika sesuatu yang dirusak itu haram untuk dipakai, membahayakan, atau bahanya lebih besar daripada manfaatnya, seperti merusak khamr, patung, dan membunuh hewan-hewan yang berbahaya. Seorang muslim tidak boleh merusak salah satu anggota badannya tanpa ada kepentingan, dan tidak boleh pula merusak hak miliknya dari keadaan baik kepada keadaan rusak tanpa ada uzur. Maka, janin yang ada dalam perut ibunya yan tumbuh dan berkembang secara normal hingga siap menerima ruh setelah berjalan melewati usia tertentu, mengandung unsur-unsur yang bermanfaat dan jauh dari unsur-unsur yang membahayakan, maka janin yang seperti ini haram hukumnya untuk digugurkan tanpa ada kepentingan tertentu.
3.    Syari’at tidak mengakui janin sebelum peniupan ruh sebagai manusia. Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan yang diberikan kepada janin pada usia ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya. Ini juga mengharuskan adanya perbedaan dalam hukum penggugurannya. Adapun perbedaan dalam hukum pengguguran kandungan ini terjadi hanya bila ada uzur dan keperluan saja.
4.    Adapun udzur syar’i yang karenanya diperbolehkan untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh, tidak berarti harus membuka pintu lebar-lebar untuk melaksanakan praktik aborsi. Adanya udzur syar’i harus dilakukan oleh panitia khusus dari tim kedokteran muslim yang terpercaya, yang bekerja sama dengan ulama khusus yang kompeten, untuk menentukan layak tidaknya udzur itu menjadi udzur untuk pengguguran kandungan, baik dari segi kesehatan maupun syari’at.
Berikut permasalahan-permasalahan yang timbul terkait dengan aborsi yaitu:
1.    Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian juga jika yang menggugurkan janin itu ayahnya, maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak. Jika tidak mendapatkan budak atau tidak mampu memerdekakan budak, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
2.    Jika ada seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia 120 hari atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun)  terhadap perut si perempuan, Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash , dan ia tidak berkewajiban membayar denda.[25] Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kifarat karena itu merupakan pembunuhan yang disengaja. Dia dikenakan hukuman qishas karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) dengan sengaja, maka dibalas dengan dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif, menuntut hukum qishas atau diat.
Imam Syafi’i mengatakan apabila seseorang memukul perut perempuan yang sedang hamil, lalu melahirkan bayi yang telah mati, kemudian perempuan itu meninggal pula, maka dikenakanlah diat terhadap kematian perempuan dan dikenakan ghurrah (memberi seorang budak) untuk kandungan yang mati itu.[26]
3.    Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm[27] berkata: “Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh pada anak tersebut, maka dia dijatuhi hukuman qishash.
Yusuf Qardawi mengatakan bahwa pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin. Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena ada udzur yang akurat; dan `Sebagaimana kaidah:
الضَّرَرُيُدْفَعُ بِقَدْرِاْلإِمْكانِ
“Bahaya itu ditolak sedapat mungkin”
Ibu merupakan pangkal /asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai furu’ (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang.[28] Abortus boleh dilakukan asal karena benar-benar darurat dan terpaksa, misal demi menyelamatkan si ibu, karena Islam mempunyai prinsip:
اِرْتِكَابُ أَخَفِّالضَّرَرَيْنِ وَاجِبٌ
Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya, itu wajib hukumnya.[29]
اذا تعارض مفسد تان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Manakala berhadapan dua macam mafsadat (kesulitan) maka yang dipertahankan adalah yang lebih besar resikonya, sedangkan yang lebih ringan resikonya dikorbankan.

E.   Pengaturan oleh pemerintah Indonesia (Hukum / Peraturan perundang-undangan tentang aborsi)
Aborsi atau pembunuhan paksa yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap bayi yang dikandungnya termasuk tindakan pidana. Pelaku akan dijerat pasal 341 dan 342 dengan tuntutan 12 tahun penjara. Sebenarnya aborsi dilakukan dengan sengaja untuk menutup aib yang tidak ingin diketahui. Tindakan ini melanggar hukum pidana yang diberlakukan untuk melindungi atau mencegah perlakuan tidak terpuji tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat sangat penting karena kasus ini secara tidak langsung telah membunuh generasi muda. Kalau tidak ada sosialisasi maka seseorang akan biasa untuk terus menerus melakukan hal itu. penegak hukum juga perlu bekerja keras untuk menyikapi persoalan tersebut. Jika kedapatan mengaborsi maka perlu ditindak lanjuti dan dijatuhi hukuman penjara.
Pada Pasal 341 KUHP mengatakan, seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara. Selanjutnya, pasal 342 KUHP menyebutkan, seorang ibu atas niatnya yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun penjara.
Hukuman penjara tidak mutlak dijatuhkan kepada terdakwa karena ada undang-undang lain juga mengatur tentang hak hidup anak dan perempuan. Jika terbukti melanggar beberapan aturan maka hukuman yang dilimpahkan juga akan berlapis artinya bisa kurang dan bisa bertambah. Sementara, dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Dalam undang-undang kesehatan yang baru, masalah aborsi diatur dalam pasal 75 ayat 1-4 dan pasal 76 :
1.    Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2.    Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3.    Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
4.    UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari sini, tampaklah pentingnya kajian fiqih terhadap permasalahan-permasalahan baru yang akan terus muncul ke permukaan seiring dengan perkembangan  zaman. Pada zaman sekarang, pengetahuan dan penemuan manusia telah menyebar luas di segala bidang, khususnya dalam bidang-bidang ilmu kealaman, dan tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan rahasia alam dan hukum-hukumnya ini sangatlah penting, karena dengan penemuan-penemuan itu akan semakin terbentang luas di hadapan manusia berbagai macam alternatif dan pilihan-pilihan yang sesuai dengan kehendaknya.
Sebenarnya, kita ketahui bahwa asal hukum aborsi adalah haram, namun seiring dengan canggihnya teknologi kedokteran saat ini, ilmu kedokteran dapat mendeteksi jika seandainya keberadaan janin dalam kandungan si ibu membahayakan. Oleh karena itu, kajian fiqih kontemporer lah yang akan menemukan hukum-hukum baru guna menyelesaikan problem-problem ummat.
B.  Saran
Karena Islam adalah agama yang diturunkan Allah ntuk meluruskan kehidupan manusia, baik gerak-gerik maupun kegiatan-kegiatannya, maka Islam juga berperan dalam mengatur segala sesuatu yang ditemukan manusia. Oleh karena itu, sekalipun manusia mengambil hukum terhadap suatu permasalahan, maka perlu diperhatika n pula tujuan dan syari’at Allah secara umum, bukan mengambil hukum sembarangan mengikuti nafsu  semata.
Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruksif dan membangun untuk penulisan makalah-makalah selanjutnya di kemudian hari.



DAFTAR PUSTAKA

W. Al-Hafidz, Ahsin. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta: Amzah.
As Shabuni Muhammad Ali. 1999. Safwatuttafasiir. Jakarta: Darul kutub Islami.
Ali Hasan M. 1997. Masail Fiqhiyah al Haditsah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abi bakar Sayyid. 2007.  I’anatutthalibiin Juz 1. Jakarta: Al Haramain.
Abdurrahman Sayyid. Bughyah Al mustar syidin. Jakarta: Al Haramain.
Nu’aim Yasin M. 2001. Fikih Kedokteran. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Qardhawi Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II. Jakarta: Gema Insani.
Muhammad Hasbi Teungku. 1997. Hukum-hukum Fiqih Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Mahyuddin. 2000. Masailul Fiqhiyyah. Jakarta: Kalam Mulia.
Quraish Shihab, M. 2002.  Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.


[1]Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, Amzah, Jakarta: 2007, h. 153
[2]Muhammad Ali As Shabuni, Safwatuttafasiir, Darul Kutub Islami, Jakarta, 1999, h.280
[3]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al Haditsah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997, h.45
[4] Sayyid Abi bakar,  I’anatutthalibiin Juz 1, Al Haramain, Jakarta: 2007, h. 73
[5]Ahsin W. Al Hafidz, ibid., h.155
[6] Mahyuddin, Masilul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia:2000, hal. 78
[7] Nama lengkapnya adalah Muwaffaqudin Abu Muhammad Abdullah b. Ahmad b. Muhammad b. Qudamah. Ia terlahir di kota Jamail, Yerussalem, Syakban 541 H atau Januari – Februari 1147 M. dan ia meninggal di kota Damaskus, 6 Jumadil Akhir 620 H atau 6-7 Juli 1233 M. Ibnu Qudamah adalah salah seorang pemikir dari mazhab Hanbali dan bahkan ia merupakan ulama besar dari mazhab tersebut
[8] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyah Al mustar syidin, Haramain, Jeddah Indonesia, h. 246
[9]Beliau adalah al Imam al ‘Allamah al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza-red). Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H.
[10] M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran, Pustaka Al Kautsar, Jakarta: 2001, h.233
[11]Nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar ibn
Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Beliau dilahirkan di Damaskus Syiria pada tahun
1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli Fiqih di Syam, pemuka
golongan Hanafiyah di Masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh Fiqih masa
keenam (658 H akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah I).
[12]M. nu’aim Yasin, ibid., h.234
[13] Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2. Beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
[14]M. Nu’aim Yasin, ibid., h.240
[15] Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
[16] Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd lahir setelah lima belas  tahun setelah kematian Abu Hamid al-Ghazali. Lahir di Cordova, Andalusia. Ayahnya bernama Ahmad bin Muhammad yang hidup pada tahun 487-563. Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Maliki yang juga seorang faqih bermadzhab Maliki dan hafidz terkemuka pada zamannya.

[17] Nama lengkap beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin Abil‘Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin Ar-Ramli. , lahir di Kairo.Beliau ini pengarang kitab Nihayatul Muhtaj (Nihayah), 8 jilidbesa. Beliau diberi nama julukan “Imam Syafi’I kecil” dan Mujtahid kurun ke 10. Kitab karangan beliau Nihayatul Muhtaj yang dikarang dalamabad ke 10. Sebagai komentar syarah dari kitab Al-Minhaj karanganImam Nawawi. kitab fiqih besar dalam Mazhab Syafi’I (8 jilid).Di Indonesia kitab ini sangat terkenal dan terpakai dalamperguruan-perguruan Tinggi dan pesantren Syafi’iyyah.Kitab ini setaraf dengan kitab Tuhfatul Muhtaj karya Imam IbnuHajar Al-Haitami. Wafat 946H  yang juga pensyarah kitab Minhajkarangan Imam Nawawi
[18] Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
[19] Ahmad bin Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH) (Arab أحمد بن حنبل‏‏ ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali. Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, Beliau wafat dalam usia 77 tahun.
[20] Dia adalah ‘Abdurrohman bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Ubaidillah bin Abdillah bin Hadi bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far Al-Jauzi: Abu Al-Faroj, Al-Qurosyi At-Taimi Al-Bakri. Silsilah keturunannya bersambung sampai kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه. Dia menuturkan tentang silsilah keturunannya, “Dan ketahuilah bahwa kami termasuk anak cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Dia رحمه الله dikenal dengan imbuhan Al-Baghdadi di akhir namanya, karena ia lahir dan tinggal di kota Baghdad. Dia pun juga dikenal dengan imbuhan nama Al-Hanbali, karena ia menjadi pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله.Al-lmam Abu Al-Faroj (Ibnul Jauzi) رحمه الله, wafat pada malam Jumat tanggal 12 Romadhon tahun 597 H/1201 M, dan umurnya hampir mencapai 90 tahun. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Babu Harb di kota Baghdad, dekat dengan makam Al-lmam Ahmad bin Hanbal رحمه الله.

[21] Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
[22] Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi(bahasa Arab: أبو الحسين مسلم بن الحجاج القشيري النيشابوري), atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi. Ia belajar hadis sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.

[23] Muhammad Ali As Shabuni, ibid., h.305

[24]Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “ Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia meriwayatkan hadits dari Umar dan Sa’ad bin Mu’adz. Yang meriwayatkan hadits darinya adalah Al-Abadillah (“Empat orang yang bernama Abdullah”), Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah, Masruq, Syuraih al-Qadli, dan beberapa yang lain. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 848 hadits. Beliau datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun 32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.

[25]Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, Gema Insani Pers, Jakarta: 1995, h. 772
[26] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, h. 466
[27] Tokoh yang bernama lengkap Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams al-Umawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm al-Zahiri ini lahir di Cordova pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H./7 November 994 M. Kakeknya, Yazid, adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari garis para kakeknya dan berasal dari Persia. Sedangkan Khalaf bin Ma’dan adalah kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia bersama Musa bin Nusair dalam bala tentara penaklukan pada 93 H.[3] Sehingga dari garis nasabnya dapat diketahui bahwa ia mempunyai garis keturunan yang berasal dari keluarga Persia. Ibn Hazm wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir pada bulan Sya’ban 456 H./15 Agustus 1064 M. dengan umur 71 tahun 10 bulan 29 hari di padang Lablah, sebuah desa di bagian barat Andalusia di Selat Laut Besar. Namun ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal di desa kelahirannya, Montlisam.

[28]Yusuf Qardhawi, ibid., h.780
[29]M. Ali Hasan, op.cit., h.52

No comments: