MAKALAH
A. Pengertian Abortus
(Aborsi)
Dalam bahasa Inggris abortus disebut abortion, berasal dari
bahasa Latin yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab, abortus,
biasa disebut dengan isqath, ijhaadh. Dalam Ensiklopedi Indonesia,
dijelaskan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa
gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai seribu gram.[1]
Menurut M. Ali Hasan, beliau mengutip pendapat Sardikin Ginaputra (Fakultas
Kedokteran UI), memberikan pengertian bahwa abortus adalah pengakhiran
kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dalam
ilmu kedokteran dijelaskan bahwa sampai saat ini janin yang terkecil yang dapat
hidup di luar kandungan, bila telah mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir.
Akan tetapi, karena jarang janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah
1.000 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat 1.000 gram. Janin yang berusia 16 minggu
dapat disamakan dengan manusia, karena peredaran darahnya yang merupakan tanda
dari kehidupan telah berfungsi sebagaimana mestinya. Firman Allah:
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik.(QS. Al Mu’minun: 12-14)
Kalimat Kami jadikan dia
makhluk yang berbentuk lain, dalam tafsir dikatakan:
(¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4) أي ثم بعد
تلك الأطوار نفخنا فيه الروح فصيرناه خلقااخر في أحسن تقويم قال الرازى: أي جعلناه
خلقامبينا للخلق الأول حيث صار إنساناوكان جمادا, وناطقاوكان أبكم, وسميعاوكان
أصم, وبصيراوكان أعمه, وأودع كل عضومن أعضائه عجائب فطرة, وغرائب حكمة لايحيط
بهاوصف الواصفين[2]
Maka setelah diciptakan
manusia dari tanah, dijadikan air mani dalam rahim, menjadi segumpal darah,
kemudian segumpal daging, kemudian ditiupkan ruh dan manusia itu dijadikan
sebaik-baik bentuk. Kata نطفة dalam
bahasa arab berarti setetes yang dapat membasahi. Ada juga yang memahami kata
itu dalam arti hasil pertemuan sperma dan ovum.
Dijelaskan pula dalam hadits Nabi:
عَنْ زَيْدِبْنِ وَهْبٍ عن عَبْدِاللهِ قَالَ حدثنارسولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَليه وسلم وهُوَالصَّادِق المَصْدُوْقُ إِنَّ أحدَكمْ
يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطن أُمِّهِ أَرْبعيْنَ يَومًا نُطْفَةً ثم يكون فى ذلك
عَلَقَةً مثل ذلك ثم يكون فى ذلك مُطْغَةً مثل ذلك ثم يُرْسِلُ الْمَلَكَ
فَيَنْفُخُ فيه الرُّوح
“Dari Zaid bin Wahab dari
Abdillah meriwayatkan: Rasulullah SAW.menjelaskan kepada kami (beliau adalah
benar dan dipercaya), bahwa sesungguhnya seseorang di antara kalian dikumpulkan
kejadiannya di dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai nuthfah (air mani),
kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) dengan waktu yang sama, kemudian
menjadi mudghah (segumpal daging) dengan masa yang sama, kemudian diutus
seorang malaikat meniupkan ruh kepadanya”. (HR. Muslim)
Maka,
janin yang dikeluarkan sebelum mencapai 16 minggu dan sebelum mencapai berat
1.000 gram, disebut sebagai abortus atau aborsi, baik karena alasan medis
maupun karena didorong oleh alasan-alasan lain. Adapun pengguguran janin yang
sudah berusia 16 minggu ke atas, dimasukkan ke dalam pembunuhan karena sudah
bernyawa.[3]
أن الدم يجتمع فى الرحم مدة تخلق الحمل وقبل نفخ الروح فيه
أربعين يوما نطفة ثم مثلها علقة ثم مثلها مضغة فتلك أربعة أشهر[4]
B. Pembagian dan Faktor-faktor yang mendorong
terjadinya Abortus (Aborsi)
Abortus ada dua macam yaitu
sebagai berikut:
1.
Abortus spontan (spontaneous
abortus), ialah abortus yang tidak disengaja, bisa terjadi karena penyakit
sifilis, kecelakaan, dan sebagainya.
2.
Abortus yang disengaja (abortus
provocatus), terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.
Abortus artificialis
therapicus, ialah abortus yang dilakukan oleh dokter atas
dasar indikasi tertentu, misalnya bisa membahayakan jiwa sicalon ibu, karena
penyakit, dan lain-lain.
b.
Abortus provocatus
criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi
medis, misalnya abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di
luar nikah atau untuk kehamilan yang tidak
dikehendaki.[5]
Selain itu, tentunya ada pula faktor-faktor yang mendorong
terjadinya abortus:
a.
Faktor pribadi, yaitu datang dari manusia itu sendiri,
misalnya karena miskin, tidak ingin punya banyak anak, menjaga kecantikan, dan
sebagainya.
b.
Menghindari kemungkinan terjadi cacat jasmani atau rohani
apabila janin dilahirkan.
c. Indikasi Medis; yaitu seorang dokter
yang menggugurkan kandungan seorang ibu, karena dipandangnya bahwa nyawa wanita
yang bersangkutan, tidak dapat tertolong bila kandungannya dipertahankan,
karena diindapi penyakit yang berbahaya; antara lain:
1. Penyakit jantung
2. Penyakit paru-paru
3. Penyakit ginjal
4. Penyakit Hypertensi dan sebagainya.
C. Dampak Abortus
1.
Timbul luka-luka dan infeksi pada dinding alat kelamin
dan merusak organ-organ di dekatnya seperti kandung kemih atau usus.
2.
Pendarahan sebagai akibat dari penggunaan obat-obatan dan alat-alat.
3.
Menstruasi tidak normal lagi selama sisa produk kehamilan
belum dikeluarka dan bahkan sisa itu dapat berubah menjadi kanker.
4.
Bahaya kemungkinan terjadinya infeksi besar sekali,
terutama jika abortus menggunakan peralatan yang tidak steril.
D. Hukum Abortus (pengguguran
Kandungan)
Mengenai
hukum menggugurkan kandungan, tidak ada nash yang secara langsung
meneybutkannya, baik Al Qur’an maupun hadits. Sedangkan yang dijelaskan dalam
Al Qur’an adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan
itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang abadi di neraka Jahannam.
Firman Allah:
dan
Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisaa: 93)
Ibnu Qudamah[7] berkata, inilah kebanyakan
ahli ilmu, pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a. mereka berdalil dengan
firman Allah:
dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-nisaa: 92)
Menurut
M. Nu’aim Yasin bahwa para fuqaha Islam telah sepakat dalam menggugurkan
kandungan setelah peniupan ruh. Adapun sebagian besar perbedaan di antara
mereka mengenai pengguguran janin sebelum peniupan ruh.
يحرم التسبب فى إسقاط
الجنين بعد استقرارفى الرحم بأن صارعلقة أومضغة ولوقبل نفخ الروح كما فى التحفة
وقال م ر لايحرم إلا بعدالنفخ واختلف النقل عن الحنيفة فى الجوازمطلقاوفى عدمه
بعدنفخ الروح وهل هوكبيرةالأحواط أن يقال إن علم الجانى بوجودالحمل بقرائن الأحوال
وتعمد فعل مايجحض غالبا وقدنفخ فيه الروح ولم يقلد القائل
با لحل فكبيرةوإلافلا [8]
Haram menggugurkan janin
jika sudah ditetapkan dalam rahim, yakni sudah menjadi segumpal darah atau segumpal
daging sekalipun sebelum ditiupkan ruh sebagaimana yang disebutkan dalam Tuhfah
(karya Ibnu Hajar[9] ). Sedangkan Sayyid Abdurrahman mengatakan tidak
haram menggugurkan janin sebelum peniupan ruh kecuali sesudah peniupan maka
dihukumkan haram. Berbeda dengan pendapat yang dinukil dari Imam Hanifah, bahwa
boleh secara muthlaq menggugurkan janin, kebolehan itu akan hilang manakala
sesudah peniupan ruh, dikatakan bahwa jika janin telah diketahui adanya melalui tanda-tanda keadaannya dan kebanyakan
orang bermaksud dengan sengaja melakukan pengguguran maka tidak termasuk dalam
kategori kebolehan yang dikatakan oleh mushannif.
1. Hukum pengguguran janin
setelah peniupan ruh
Para
fuqaha sepakat atas haramnya pengguguran janin berusia empat bulan di dalam
perut ibunya.[10] Mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah
peniupan ruh, hingga jika keberadaan janin itu membahayakan ibunya. Bahkan
sebagian dari mereka mengatakan bahwa seorang wanita hamil yang terancam bahaya
karena anak yang ada di dalam perutnya, anaknya tidak boleh digugurkan, tetapi
jika anaknya sudah mati di dalam perut tidak apa-apa digugurkan. Dan jika masih
hidup, tidak diperboehkan, karena menghidupkan seorang jiwa dengan membunuh
jiwa lain tidak diperkenankan dalam syari’at.
Ibnu
‘Abidin[11] juga mengatakan tidak boleh digugurkan, karena
kematian ibunya masih diragukan, maka tidak boleh membunuh manusia yang hidup
karean perkara yang meragukan. Dasar dari penetapan hukum ini adalah bahwa
membunuh jiwa yang diharamkan secara syari’at tidak boleh hukumnya dengan
alasan apapun. Firman Allah:
dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. (QS Al Israa:
33)
Namun demikian, panitia penelitian ilmiah dalam
perspektif fiqih yang dibentuk oleh kementrian wakaf di Kuwait membolehkan
pengguguran janin walaupun telah ditiupkan ruh kepadanya, jika itu merupakan
jalan satu-satunya untuk menyelamatkan ibunya dari kematian. Karena menjaga
kehidupan ibunya lebih diutamakan, karena kehidupannya lebih dulu ada dan sudah
ada secara meyakinkan.[12] Adapun alasan yang dijadikan sandaran oleh panitia ilmiah ini adalah bahwa
kehidupan sang ibu telah jelas adanya secara meyakinkan. Namun alasan itu
bisa dibantah, bahwa jika yang dimaksud adalah hidupnya sang ibu ketika
melahirkan, maka janin pun juga demikian halnya, karena janin itu telah
ditiupkan ruhnya dan untuk mengetahui hakikat kehidupan janin, dengan adanya
kemajuan dalam dunia kedokteran sangat memungkinkan secara mendetail. Artinya
bahwa tidak seorang pun dapat memastikan bahwa kehidupan dapat bertahan lama,
sehingga tidak sah menyatakan bahwa kehidupan salah satu dari mereka dapat
dipastikan secara meyakinkan.
Ini
berarti bahwa tidak ada jalan untuk memberikan keringanan dalam menggugurkan
janin yang telah memiliki ruh untuk menyelamatkan ibunya dari kematian, kecuali
dengan alasan bahwa kehormatan jiwa sang ibu lebih tinggi daripada kehormatan
jiwa sang janin.
2.
Hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh
1)
Para fuqaha dari mazhab Hanafi membolehkan pengguguran
janin sebelum peniupan ruh jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua
orangtuanya. Argumen yang mereka kemukakan tentang bolehnya hal tersebut karena sebelum peniupan ruh,
belum terjadi penciptaan apapun pada janin. Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha
madzhab ini berkata, membolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih
dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota
badannya. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin
berusi 120 hari. Mereka membolehkannya sebelum waktu itu, karena janin itu
masih belum menjadi manusia. Pengguguran pun dibolehkan baik itu karena
halangan ataupun tidak.
2)
Beberapa fuqaha madzhab Hanafi mengharamkan pengguguran
kandungan sebelum peniupan ruh karena janin pada masa ini merupakan bakal
manusia yang nantinya akan menjadi manusia atas kehendak Allah.[14] Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang dan
mereka menganggap hal tersebut sebagai pembunuhan terselubung. Mereka beralasan
bahwa ‘azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau
perwujudannya.
3) Sebagian ulama madzhab Hanafi
yang lain berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh
hukumnya boleh tapi makruh, karena setelah zigot menempel pada dinding rahim,
dia adalah hidup.
1)
Jumhur ulama madzhab Maliki mengharamkan pengguguran
kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Pendapat Ibnu Arabi bahwa
seorang anak mempunyai tiga keadaan:
a)
Keadaan sebelum adanya
percampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar
rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.
b)
Keadaan setelah rahim
menangkap sperma, maka pada saat itu tidak boleh seorang pun untuk
menggugurkannya .
c)
Keadaan setelah janin
mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini tidak boleh
digugurkan.
Istihsan yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd
Al-Maliki[16]
menyatakan bahwa tidak wajib mengganti dengan budak bagi orang yang
menggugurkan janin sebelum peniupan ruh. Dia berkata, “Mereka berselisih pendapat dalam
masalah ini, yaitu tentang ciptaan yang harus diganti dengan budak. Lalu Imam
Malik berkata, “Setiap mudghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah)
yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, maka pelakunya
harus menggantinya dengan budak, ‘ Dan Syafi’i berkata, ‘Tidak diwajibkan
mengganti apa-apa hingga janin itu mempunyai bentuk, dan yang palig benar
adalah diwajibkan mengganti degan budak bila menggugurkan janin yang telah
ditiupkan ruh kepadanya.
2)
Sebagian ulama malikiyah
memakruhkan pengguguran janin setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum
berusia 40 hari dan mengharamkannya sesudah itu.
3)
Al Lakhami salah seorang
ulama Malikiyah berpendapat, bahwa menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari
hukumnya boleh dan tidak boleh mengganti apa-apa.
4)
Sebagian fuqaha Malikiyah
berpendapat, diberi rukhshah untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh
jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut
dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil.
Maka dapat disimpulkan pendapat ulama
madzhab Maliki bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika
janin berusia 40 hari. Sedangkan sebelum janin berusia 40 hari, mayoritas ulama
mereka mengharamkan, ada sebagian yang memakruhkan, Al-Lakhami membolehkan, dan
sebagian lagi memberikan rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika
janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.
c.
Madzhab Syafi’i
1)
Pendapat pertama bahwa
mengguguran kandung selama janin belum
ditiupkan ruh adalah boleh. Ar-Ramli[17]
berkata dalam Nihayah Al Muhtaj mengatakan, “Yang benar, diharamkannyya
setelah peniupan ruh secara mutlak dan dibolehkan sebelumnya.”
2)
Imam Abu Hamid Al Ghazali[18]
mengharmkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dan dia
mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelu peniupan ruh, haram untuk digugurkan.
Para ulama madzhab Syafi’i meyatakan bahwa
pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alasan yang rasional, namun
jika ada alasan yang rasional, maka semuanya membolehkan.
1)
Pendapat mereka secra umum
dalam madzhab, membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama
sejak terbentuknya janin, yaitu fase zigot, yang usianya maksimal 40 hari, dan
setelah 40 hari tidak boleh digugurkan.
2)
Ibnul Jauzi[20] berpendapat
mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh dalam semua fase
perkembangan janin.
3)
Sebagian ulama Hambali
membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara mutlak tanpa
mensyaratkan fase-fase tertentu.
M. Nu’aim Yasin dalam bukunya fikih
Kedokteran menyimpulkan pendapat para fuqaha dan membaginya berdasarkan
fase-fase perkembangan janin yaitu sebagai berikut:
a.
Fase 40 hari pertama (fase
nuthfah/zigot). Sebagian besar fuqaha Hanfiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Al
Lakhami dari Malikiyah, membolehkan pengguguran janin pada usia 40 hari
pertama. Sedangkan sebagian besar ulama Malikiyah mengharamkannya, demikian
juga sebagian fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.
b.
Fase 40 hari kedua (fase
‘alaqah/ segumpal darah). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah membolehkan pengguguran janin pada
usia ini. Sedangkan semua fuqha Malikiyah mengharamkannya. Begitu pula sebagian
fuqaha Hanafiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah.
c.
Fase 40 hari ketiga (fae
mudghah/segunpal daging). Sebagian besar fuqaha Hanafiyah, jumhur fuqaha
Syafi’iyah, dan sebagian madzhab Hambali berpendapat boleh menggugurkannya,
sedangkan semua fuqaha Malikiyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah, sebagian
besar fuqaha Hanafiyah, serta sebagian fuqaha Syafi’iyah serta pengikut-pengikutnya
mengharamkannya dengan alasan karena fase ini dianggap waktu yang sudah dekat
dengan
waktu peniupan ruh.
d.
Adapun bagi orang-orang
yang mengharamkannya pada dua fase perkembangan itu (sebelum dan sesudah
peniupan ruh), menunjukkan bahwa tingkat keharamannya berbeda sesuai dengan
tingkat umur janin , hingga akhirnya pengguguran janin yang telah berumur empat
bulan pertama dianggap sebagai pembunuhan terhadap manusia, sedangkan sebelum
itu tidak dianggap pembunuhan.
e.
Pengguguran janin sebelum
peniupan ruh tidak dianggap pembunuhan terhadap manusia berdasarkan kesepakatan
fuqaha jika ada alasan yang rasional.
3.
Pendapat yang rajih
a.
Di dalam hadits tentang
peniupan ruh Rasulullah saw.bersabda:
“Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam
perut ibunya selama empat puluh hari . setelah genap empat puluh hari kedua,
terbentuklah segumpal darah beku. Manakala genap empat puluh hari ketiga,
berubahlah menjadi segumpal daging. kemudian Allah mengutus seorang malaikat
untuk meniupkan ruh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu
ditentukan rezeki, waktu kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat
kecelakaan atau kebahagiaan.”
Hadits tersebut menjelaskan dua hal:
1)
Penulisan takdir yang
berkaitan dengan manusia yang hendak diciptakan.
2)
Tentang peniupan ruh.
Maksudnya adalah bahwa sifat-sifat
kemanusiaan tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk di dalam perut ibunya
sebelum dia sampai pada umur empat bulan pertama dari umur janin. Maksud inilah
yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha klasik yang kemudian mereka tegaskan
bahwa sifat-sifat kemanusiaan pada janin itu ada setelah ditiupkan ruh
kepadanya.
Sesungguhnya Allah mengutus malaikat ke dalam
Rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia masih berupa air mani. Setelah
beberapa saat, malaikat berkata lagi, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa darah beku.
Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari malaikat berkata lagi, “Wahai
Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah hendak membuat keputusan
untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat berkata, “Wahai Tuhan!
Orang ini akan diciptakan lelaki atau perempuan?’ Celaka atau bahagia?
Bagaimana rezekinya? Serta bagaimana pula ajalnya? Segala-galanya dicatata
semasa dalam perut ibunya.”
Malaikat
yang bertugas pada rahim tidak bertanya kepada Tuhannya tentang takdir manusia
kecuali setelah fase menginjak fase perkembangan ketiga; nuthfah, ‘alaqah,
mudghah, dan fase setelah menginjak usia empat bulan.
c.
Ayat –ayat Al Qur’an
tentang perkembangan penciptaan manusia di dalam perut ibunya. Firman Allah dalam Surah Al
Hajj:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.(Al
Hajj:5)
(مخلقة وغيرمخلقة) أي مستبنية الخلق
مصورة وغيرمصورة قال ابن زيد : المخلقة التي خلق الله فيها الرأس واليدين والرجلين
وغير مخلقة التي لم يخلق فيهاشيئ[23]
Firman Allah dalam Surah A Qiyamah:
Bukankah Dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu
Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya
sepasang: laki-laki dan perempuan. (Al Qiyamah: 27-29)
Firman
Allah ini tentunya selaras dengan hadits-hadits di atas bahwa manusia itu
diciptakan dengan beberapa tingkat fase perkembangan hingga akhirnya menjadi
manusia seutuhnya. Dalam kitab Nihayah Al Muhtaj yang termasuk kitab mazhab
syafi’i, disebutkan dua macam pendapat para ahli mengenai nutfah sebelum empat
puluh hari.
“Ada yang mengatakan bahwa
hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang
mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh
melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim. Diantara fuqaha ada pula
yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan sesudah
penciptaan/pembentukan. Dan mereka memperbolehkan aborsi sebelum pembentukan
dan melarangnya setelah pembentukan.
d.
Sebagian besar fuqaha yang
mensyarah hadits Ibnu Mas’ud[24]
menafsirkan kalimat peniupan ruh itu dengan sebab yang dengannya Allah
mengawali kehidupan yang diberi sifat-sifat kemanusiaan pada mjanin, walaupun
sebagian besar dari mereka tidak seara terus terng menolak adanay kehidupan
yang mutlak sebelum adanya sebab tersebut.
e.
Selain itu, yang menguatkan
argumentasi para ulama yaitu peniupan ruh pada janin merupakan sebab janin
menjadi sosok seorang manusia, adalah keadaan ruh yang pertama yang ditempatkan
Allah di muka bumi, yaitu Adam. Firman Allah dalam Surah Shaad:
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya". (QS Shaad: 72)
f.
Adanya kesepakatan bahwa
berpisahnya ruh dari badan menjadi sebab hakiki bagi habisnya kehidupan manusia
di dunia, walaupun waktu berpisahnya ruh ini tidak ditentukan secara pasti.
Firman Allah:
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya… (QS
Az-Zumar: 42)
Namun, terjadi pertentangan dari
para pembahas modern tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa penafsiran
tentang ruh di dalam hadits Ibnu Mas’ud tersebut bertentangan
dengan firman Allah:
š
85.
dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS
Al Israa: 85)
Dari ayat di atas mereka
berkesimpulan bahwa masalah ruh adalah masalah ghaib yang tidak boleh
diperbincangkan dan ditetapkan hukumnya. Namun, sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa yang ghaib dan masalah ruh adalah hakikatnya dan bagaimana
ruh itu melekat pada jasad hanya Allahlah yang tahu. Ini sama sekaali bukan
berarti bahwa akal tidak boleh memikirkan tentang masalah roh dari aspek
lainnya yang tidak berkaitan dengan hakikatnya, seperti waktu bertemunya dengan
badan, waktu perpisahannya, pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia, dan sebagainya.
Berdasarkan pembahasan-pembahasan
tersebut, maka hukum pengguguran kandungan
(abortus) adalah sebagai berikut:
1. Jika kehidupan janin terbagi menjadi
dua fase (sebelum dan sesudah peniupan ruh), dan janin tidak bisa disebut manusia
kecuali setelah masuk kehidupan fase kedua. Maka akan dibedakan hukum
menggugurkan janin yang belum ditiupkan ruh kepadanya.
2. Adapun fase dimana janin belum
ditiupkan ruh kepadanya, maka menggugurkannya berarti merusak, sedangkan hukum
merusak berbeda-beda sesuai dengan obyek yang dirusak. Hukum perusakan bisa
menjadi wajib jika sesuatu yang dirusak itu haram untuk dipakai, membahayakan,
atau bahanya lebih besar daripada manfaatnya, seperti merusak khamr, patung,
dan membunuh hewan-hewan yang berbahaya. Seorang muslim tidak boleh merusak
salah satu anggota badannya tanpa ada kepentingan, dan tidak boleh pula merusak
hak miliknya dari keadaan baik kepada keadaan rusak tanpa ada uzur. Maka, janin
yang ada dalam perut ibunya yan tumbuh dan berkembang secara normal hingga siap
menerima ruh setelah berjalan melewati usia tertentu, mengandung unsur-unsur
yang bermanfaat dan jauh dari unsur-unsur yang membahayakan, maka janin yang
seperti ini haram hukumnya untuk digugurkan tanpa ada kepentingan tertentu.
3. Syari’at tidak mengakui janin
sebelum peniupan ruh sebagai manusia. Hal ini menunjukkan bahwa penjagaan yang
diberikan kepada janin pada usia ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan janin
yang sudah ditiupkan ruh kepadanya. Ini juga mengharuskan adanya perbedaan
dalam hukum penggugurannya. Adapun perbedaan dalam hukum pengguguran kandungan
ini terjadi hanya bila ada uzur dan keperluan saja.
4. Adapun udzur syar’i yang
karenanya diperbolehkan untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh,
tidak berarti harus membuka pintu lebar-lebar untuk melaksanakan praktik
aborsi. Adanya udzur syar’i harus dilakukan oleh panitia khusus dari tim kedokteran
muslim yang terpercaya, yang bekerja sama dengan ulama khusus yang kompeten,
untuk menentukan layak tidaknya udzur itu menjadi udzur untuk pengguguran
kandungan, baik dari segi kesehatan maupun syari’at.
Berikut permasalahan-permasalahan
yang timbul terkait dengan aborsi yaitu:
1.
Apabila
wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib
membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang
membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib
memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli
waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan
perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak
merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian juga jika yang
menggugurkan janin itu ayahnya, maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh
mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak. Jika tidak mendapatkan budak
atau tidak mampu memerdekakan budak, maka ia harus berpuasa dua bulan
berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
2.
Jika ada seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya
setelah kandungannya berusia 120 hari atau orang lain yang membunuhnya dengan
memukul (atau tindakan apa pun) terhadap
perut si perempuan, Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sebagai hukumannya wajib
dikenakan hukum qishash , dan ia tidak berkewajiban membayar denda.[25] Kecuali jika dimaafkan, maka dia
wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak
wajib membayar kifarat karena itu merupakan pembunuhan yang disengaja. Dia dikenakan hukuman qishas
karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) dengan sengaja, maka dibalas dengan
dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif,
menuntut hukum qishas atau diat.
Imam Syafi’i mengatakan apabila
seseorang memukul perut perempuan yang sedang hamil, lalu melahirkan bayi yang
telah mati, kemudian perempuan itu meninggal pula, maka dikenakanlah diat
terhadap kematian perempuan dan dikenakan ghurrah (memberi seorang budak) untuk
kandungan yang mati itu.[26]
3.
Mengenai
wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm[27] berkata: “Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia harus
membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh pada anak tersebut, maka dia dijatuhi
hukuman qishash.
Yusuf
Qardawi mengatakan bahwa pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun
keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin. Pada
usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan bahkan
kadang-kadang boleh digugurkan karena ada udzur yang akurat; dan `Sebagaimana
kaidah:
الضَّرَرُيُدْفَعُ بِقَدْرِاْلإِمْكانِ
“Bahaya itu ditolak sedapat mungkin”
Ibu
merupakan pangkal /asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai furu’
(cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan
cabang.[28] Abortus boleh dilakukan asal karena benar-benar
darurat dan terpaksa, misal demi menyelamatkan si ibu, karena Islam mempunyai
prinsip:
اِرْتِكَابُ أَخَفِّالضَّرَرَيْنِ وَاجِبٌ
Menempuh
salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya, itu wajib
hukumnya.[29]
اذا
تعارض مفسد تان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Manakala
berhadapan dua macam mafsadat (kesulitan) maka yang dipertahankan adalah yang
lebih besar resikonya, sedangkan yang lebih ringan resikonya dikorbankan.
E. Pengaturan oleh
pemerintah Indonesia (Hukum / Peraturan perundang-undangan tentang aborsi)
Aborsi
atau pembunuhan paksa yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap bayi yang
dikandungnya termasuk tindakan pidana. Pelaku akan dijerat pasal 341 dan 342
dengan tuntutan 12 tahun penjara. Sebenarnya aborsi dilakukan dengan
sengaja untuk menutup aib yang tidak ingin diketahui. Tindakan ini melanggar
hukum pidana yang diberlakukan untuk melindungi atau mencegah perlakuan tidak
terpuji tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat sangat penting karena kasus ini
secara tidak langsung telah membunuh generasi muda. Kalau tidak ada sosialisasi
maka seseorang akan biasa untuk terus menerus melakukan hal itu. penegak hukum
juga perlu bekerja keras untuk menyikapi persoalan tersebut. Jika kedapatan
mengaborsi maka perlu ditindak lanjuti dan dijatuhi hukuman penjara.
Pada
Pasal 341 KUHP mengatakan, seorang ibu yang karena takut akan ketahuan
melahirkan pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja
merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara.
Selanjutnya, pasal 342 KUHP menyebutkan, seorang ibu atas niatnya yang
ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak atau tidak
lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun penjara.
Hukuman
penjara tidak mutlak dijatuhkan kepada terdakwa karena ada undang-undang lain
juga mengatur tentang hak hidup anak dan perempuan. Jika terbukti melanggar
beberapan aturan maka hukuman yang dilimpahkan juga akan berlapis artinya bisa
kurang dan bisa bertambah. Sementara, dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor
23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Dalam undang-undang kesehatan yang baru, masalah aborsi
diatur dalam pasal 75 ayat 1-4 dan pasal 76 :
1.
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3.
Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang
menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu
(aborsi).
4.
UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sini, tampaklah pentingnya
kajian fiqih terhadap permasalahan-permasalahan baru yang akan terus muncul ke
permukaan seiring dengan perkembangan
zaman. Pada zaman sekarang, pengetahuan dan penemuan manusia telah
menyebar luas di segala bidang, khususnya dalam bidang-bidang ilmu kealaman,
dan tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan rahasia alam dan hukum-hukumnya ini
sangatlah penting, karena dengan penemuan-penemuan itu akan semakin terbentang
luas di hadapan manusia berbagai macam alternatif dan pilihan-pilihan yang
sesuai dengan kehendaknya.
Sebenarnya, kita ketahui bahwa
asal hukum aborsi adalah haram, namun seiring dengan canggihnya teknologi
kedokteran saat ini, ilmu kedokteran dapat mendeteksi jika seandainya
keberadaan janin dalam kandungan si ibu membahayakan. Oleh karena itu, kajian
fiqih kontemporer lah yang akan menemukan hukum-hukum baru guna menyelesaikan
problem-problem ummat.
B. Saran
Karena Islam adalah agama yang
diturunkan Allah ntuk meluruskan kehidupan manusia, baik gerak-gerik maupun
kegiatan-kegiatannya, maka Islam juga berperan dalam mengatur segala sesuatu
yang ditemukan manusia. Oleh karena itu, sekalipun manusia mengambil hukum
terhadap suatu permasalahan, maka perlu diperhatika n pula tujuan dan syari’at
Allah secara umum, bukan mengambil hukum sembarangan mengikuti nafsu semata.
Selain itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruksif dan membangun untuk penulisan
makalah-makalah selanjutnya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
W.
Al-Hafidz, Ahsin. 2007. Fikih Kesehatan. Jakarta: Amzah.
As Shabuni Muhammad Ali. 1999. Safwatuttafasiir.
Jakarta: Darul kutub Islami.
Ali Hasan
M. 1997. Masail Fiqhiyah al Haditsah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abi bakar
Sayyid. 2007. I’anatutthalibiin Juz 1.
Jakarta: Al Haramain.
Abdurrahman
Sayyid. Bughyah Al mustar syidin. Jakarta: Al Haramain.
Nu’aim
Yasin M. 2001. Fikih Kedokteran. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Qardhawi Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II. Jakarta: Gema Insani.
Muhammad
Hasbi Teungku. 1997. Hukum-hukum Fiqih Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra.
Mahyuddin. 2000. Masailul Fiqhiyyah. Jakarta:
Kalam Mulia.
Quraish Shihab, M. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera
Hati.
[1]Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, Amzah,
Jakarta: 2007, h. 153
[2]Muhammad
Ali As Shabuni, Safwatuttafasiir, Darul Kutub Islami, Jakarta, 1999,
h.280
[3]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al
Haditsah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1997, h.45
[4] Sayyid Abi bakar, I’anatutthalibiin Juz 1, Al Haramain, Jakarta:
2007, h. 73
[5]Ahsin
W. Al Hafidz, ibid., h.155
[6]
Mahyuddin, Masilul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia:2000, hal. 78
[7] Nama lengkapnya adalah Muwaffaqudin Abu Muhammad Abdullah b.
Ahmad b. Muhammad b. Qudamah. Ia terlahir di kota Jamail, Yerussalem, Syakban
541 H atau Januari – Februari 1147 M. dan ia meninggal di kota Damaskus, 6
Jumadil Akhir 620 H atau 6-7 Juli 1233 M. Ibnu Qudamah adalah salah seorang
pemikir dari mazhab Hanbali dan bahkan ia merupakan ulama besar dari mazhab
tersebut
[8] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain
bin Umar, Bughyah Al mustar syidin, Haramain, Jeddah Indonesia, h. 246
[9]Beliau adalah
al Imam al ‘Allamah al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad
bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy
Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al
Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah
kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza-red). Beliau
lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H.
[10] M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran, Pustaka
Al Kautsar, Jakarta: 2001, h.233
[11]Nama lengkapnya adalah Muhammad
Amin bin Umar ibn
Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Beliau dilahirkan di Damaskus Syiria pada tahun
1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli Fiqih di Syam, pemuka
golongan Hanafiyah di Masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh Fiqih masa
keenam (658 H akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah I).
Abdul Aziz Abidin Dimasiqy. Beliau dilahirkan di Damaskus Syiria pada tahun
1198 H dan wafat pada tahun 1252 H. Ia merupakan ahli Fiqih di Syam, pemuka
golongan Hanafiyah di Masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh Fiqih masa
keenam (658 H akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan Abdul Hamid I
(Dinasti Usmaniyah I).
[12]M.
nu’aim Yasin, ibid., h.234
[13] Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam
Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada
tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin
Marwan. Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa
pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2. Beliau wafat pada
bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak
orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
[14]M. Nu’aim Yasin, ibid., h.240
[15] Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin
Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani),
(Bahasa Arab: مالك
بن أنس), lahir di
(Madinah pada tahun 714
(93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih
dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
[16] Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad
ibn Rusyd lahir setelah lima belas tahun
setelah kematian Abu Hamid al-Ghazali. Lahir di Cordova, Andalusia. Ayahnya
bernama Ahmad bin Muhammad yang hidup pada tahun 487-563. Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Maliki yang juga seorang faqih bermadzhab Maliki dan hafidz
terkemuka pada zamannya.
[17] Nama lengkap
beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin Abil‘Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu
Syihabuddin Ar-Ramli. , lahir di Kairo.Beliau ini pengarang kitab Nihayatul
Muhtaj (Nihayah), 8 jilidbesa. Beliau diberi nama julukan “Imam
Syafi’I kecil” dan Mujtahid kurun ke 10. Kitab karangan beliau
Nihayatul Muhtaj yang dikarang dalamabad ke 10. Sebagai komentar syarah dari
kitab Al-Minhaj karanganImam Nawawi. kitab
fiqih besar dalam Mazhab Syafi’I (8 jilid).Di Indonesia kitab ini sangat
terkenal dan terpakai dalamperguruan-perguruan Tinggi dan pesantren
Syafi’iyyah.Kitab ini setaraf dengan kitab Tuhfatul Muhtaj karya Imam IbnuHajar
Al-Haitami. Wafat 946H yang juga
pensyarah kitab Minhajkarangan Imam Nawawi
[18] Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam
penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama
beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan
oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin
Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah
anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
[19] Ahmad bin Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH) (Arab أحمد
بن حنبل ) adalah
seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini
bernama Mary di Turkmenistan,
utara Afganistan dan utara Iran)
di kota Baghdad, Irak.
Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal
bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga
sebagai Imam Hambali. Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241
Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. pada hari Jum’at tanggal 12
Rabi’ul Awal, Beliau wafat dalam usia 77 tahun.
[20] Dia adalah ‘Abdurrohman bin ‘Ali bin Muhammad bin
‘Ali bin ‘Ubaidillah bin Abdillah bin Hadi bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far
Al-Jauzi: Abu Al-Faroj, Al-Qurosyi At-Taimi Al-Bakri. Silsilah keturunannya
bersambung sampai kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي
الله عنه. Dia menuturkan
tentang silsilah keturunannya, “Dan ketahuilah bahwa kami termasuk anak cucu
Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Dia رحمه الله dikenal dengan imbuhan Al-Baghdadi
di akhir namanya, karena ia lahir dan tinggal di kota Baghdad. Dia pun juga
dikenal dengan imbuhan nama Al-Hanbali, karena ia menjadi pengikut
mazhab Imam
Ahmad bin Hanbal رحمه الله.Al-lmam Abu Al-Faroj (Ibnul Jauzi) رحمه الله,
wafat pada malam Jumat tanggal 12 Romadhon tahun 597 H/1201 M, dan umurnya
hampir mencapai 90 tahun. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Babu Harb di kota
Baghdad, dekat dengan makam Al-lmam Ahmad bin Hanbal رحمه
الله.
[21] Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di
Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari,
namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat,
tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Imam Bukhari adalah ahli
hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama
dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits,
hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya
dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits
(Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua
ulama di dunia merujuk kepadanya. Meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256
H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.
[22] Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi
an-Naisaburi(bahasa Arab: أبو
الحسين مسلم
بن الحجاج
القشيري النيشابوري), atau
sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875)
dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan
Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi. Ia belajar hadis sejak masih
dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz,
Irak,
Syam,
Mesir dan negara-negara lainnya. Imam
Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu
daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam
usia 55 tahun.
[23] Muhammad
Ali As Shabuni, ibid., h.305
[24]Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil
al-Hudzali. Nama julukannya “ Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling
dahulu masuk islam. Ia meriwayatkan hadits dari Umar dan Sa’ad bin Mu’adz. Yang
meriwayatkan hadits darinya adalah Al-Abadillah (“Empat orang yang bernama
Abdullah”), Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah,
Masruq, Syuraih al-Qadli, dan beberapa yang lain. Jumlah hadits yang ia
riwayatkan mencapai 848 hadits. Beliau datang ke Medinah dan sakit disana
kemudian wafat pada tahun 32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut
menshalatkannya.
[25]Yusuf
Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, Gema Insani Pers, Jakarta:
1995, h. 772
[26] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum
Fiqih Islam, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, h. 466
[27] Tokoh yang bernama lengkap Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf bin
Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams
al-Umawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm al-Zahiri ini lahir di
Cordova pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H./7 November 994 M. Kakeknya, Yazid, adalah
orang yang pertama kali masuk Islam dari garis para kakeknya dan berasal dari
Persia. Sedangkan Khalaf bin Ma’dan adalah kakeknya yang pertama kali masuk ke
negeri Andalusia bersama Musa bin Nusair dalam bala tentara penaklukan pada 93
H.[3] Sehingga dari garis nasabnya dapat diketahui bahwa ia mempunyai garis
keturunan yang berasal dari keluarga Persia. Ibn Hazm wafat pada hari Ahad, dua
hari terakhir pada bulan Sya’ban 456 H./15 Agustus 1064 M. dengan umur 71 tahun
10 bulan 29 hari di padang Lablah, sebuah desa di bagian barat Andalusia di
Selat Laut Besar. Namun ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal di desa
kelahirannya, Montlisam.
[28]Yusuf Qardhawi, ibid., h.780
[29]M. Ali Hasan, op.cit., h.52
No comments:
Post a Comment