Wednesday 21 December 2016

Syarat-syarat Pemimpin Menurut Islam (Makalah)

Makalah


 


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Fungsi keberadaan manusia di dunia adalah untuk melaksanakan tugas kekalifahan, yaitu membangun dan mengolah segala potensi alam sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan itu tergambar dalam kitab suci yang diturunkan dan harus digali nilai-nilainya oleh manusia agar dapat menyesuaikan perkembangan sosial budaya dengan nilai-nilai kitab suci.
Tuhan telah memudahkan alam semesta untuk diolah manusia. Kemudahan tersebut berasal dari Tuhan. Untuk itu Tuhan menganugerahi beberapa daya kepada manusia, yaitu daya tubuh, daya akal, daya qolbu dan daya hidup.  Kemudian Tuhan memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia agar dapat menjadi khalifah yang baik.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pemimpin itu?
2.      Bagaimana urgensi pemimpin?
3.      Apa saja syarat-syarat pemimpin dalam Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
SYARAT-SYARAT PEMIMPIN DALAM ISLAM

A.    Pengertian Pemimpin
Pemimpin berasal dari kata “pimpin” (dalam bahasa Inggris lead) berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian di dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang "memimpin". Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (dalam bahasa Inggris leader) berarti orang yang menuntun atau yang membimbing. Secara bahasa, pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.[2]
Menurut Kartini Kartono, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/kelebihan disatu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan.[3]
            Edwin A. Locke, mengemukakan pengertian pemimpin adalah orang berproses membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju suatu sasaran bersama.[4]
B.     Urgensi Pemimpin
Pemimpin merupakan suatu yang urgen dari suatu komunitas yang disebut manusia. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian, satu sama lainnya saling tergantung dan membutuhkan. Sehingga satu sama lain harus melakukan komunikasi yang saling menguntungkan. Akan tetapi, terkadang komunikasi tidak berjalan lancar seperti yang diharapkan, sehingga menimbulkan kesenjangan. Untuk memelihara keteraturan dan kebersamaan dan tidak menimbulkan kesenjangan diperlukan pemimpin yang dapat mengayomi anggota masyarakatnya supaya satu sama lain hidup damai dan tentram. Anggota masyarakat inilah yang dikenal sekarang sebagai organisasi yang setiap organisasi akan memiliki pemimpin.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa untuk menjaga stabilitas kehidupan diperlukan adanya suatu organisasi dalam setiap komunitas. Organisasi ini merupakan suatu wahana yang dapat dijadikan manusia selain sebagai pengatur satu sama lainnya, juga merupakan suatu wadah untuk dapat saling melindungi dari gangguan yang lainnya. Menurutnya, Ketika Allah swt menciptakan alam semesta dan membagi-bagikan kekuatan kepada makhluk-makhluk-Nya, Allah memberikan kekuatan kepada binatang lebih sempurna dibanding yang diberikan kepada manusia. Karena itu, manusia diberikan akal untuk menangkal segala bahaya yang mengancam dirinya. Lebih lanjut Ibnu Khaldun mengatakan bahwa manusia tidak akan sempurna eksistensinya tanpa organisasi. Demikian juga kehendak Tuhan untuk memakmurkan bumi ini dengan memperkembangbiakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah tidak akan terlaksana.[5]
Urgensi tentang kepemimpinan juga diisyaratkan oleh baginda Rasulullah saw melalui sabdanya, bahwa bila ada tiga orang yang melakukan perjalanan maka salah satu dari ketiga orang tersebut harus diangkat sebagai pemimpin.[6]
Ibnu Taymiyah (w. 728 H) mengatakan bahwa keberadaan pemimpin atau kepala negara yang dzalim masih lebih baik bagi rakyat dibandingkan tidak ada pemimpin sama sekali. Bahkan, dengan meminjam suatu ungkapan ia mengatakan bahwa enam puluh tahun dibawah pemerintahan yang dzalim masih lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin.[7]
Pemimpin adalah seseorang yang diikuti oleh sekelompok orang yang dipimpinnya. Oleh sebab itu pemimpin merupakan sosok sentral bagi pengikutnya, jika pemimpin nya baik maka orang yang dipimpinnya juga akan baik. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan berakibat buruk terhadap organisasi maupun perusahaan atau lembaga yang dipimpinnya. Dalam memilih pemimpin yang baik, harus dipenuhi persyaratannya tercantum dalam Al-Qur’an terdapat dalam beberapa surah, yaitu: Islam memberi pedoman memilih pemimpin yang baik yang terdapat di Al- Qur’an, surah: Qs. Mumtahanah (60):1, Qs.Taubah (9):23, Qs.An-Nisa (4):144, Qs.Ali Imran (3):28, Qs. Al- Maidah (5):51 & 57
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Mumtahanah: 1)

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah: 23)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (QS. An-Nisa: 144)
 
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS. Ali-Imran: 28)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah: 51)
$  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. Al-Maidah: 57)
Dari beberapa dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat calon pemimpin haruslah dipilih orang yang beriman dan yang bertaqwa. Kesalahan besar bagi kaum yang memilih pemimpin dari orang kafir dan musyrik karena akan berakibat buruk pada kaumnya dan Allah SWT tidak memberi pertolongan dan petunjuk bagi orang yang zalim.
Kesalahan dalam memilih pemimpin akan berakibat fatal bagi kaum yang dipimpinnya. Hal ini di ungkapkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni surah QS. Al-Ahzab: 67, QS. Ali Imran:149-150, QS. An-Nisa:138-139, QS. Al-Maidah: 80-81.
 
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab: 67)r
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allahlah Pelindungmu, dan Dia-lah Sebaik-baik penolong. (QS. Ali-Imran: 149-150)
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. Yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An-Nisa: 138-139)
  
Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya Amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, Yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah: 80-81)
Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan dampak buruk bagi suatu kaum yang memilih pemimpin dari kaum kafir dan musyrik sebab pemimpin tersebut akan menyesatkan kaum yang dipimpinnya dan akhirnya mereka menjadi orang yang merugi serta menerima kemurkaan Allah SWT dan mereka akan berada dalam siksaan yang kekal dalam siksaan.[8]
C.    Syarat-Syarat Pemimpin
Menurut Ibnu Abi Rabbi, seseorang dapat diangkat menjadi seorang pemimpin jika memenuhi enam kriteria, yaitu:
1.      Dia harus merupakan keturunan raja dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
2.      Seseorang yang mempunyai aspirasi yang luhur.
3.      Harus memilki pandanganyang mantap dan kokoh.
4.      Harus memiliki ketahanan yang kuat manakala mendapatkan kesulitan.
5.      Harus memiliki kekayaan yang banyak.
6.      Harus memiliki pembantu-pembantu yang setia[9]
Al-Farabi menetapkan sembilan syarat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menjadi pemimpin. Kesembilan syarat tersebut adalah:
1.      Seorang pemimpin harus memiliki anggota badan yang lengkap.
2.      Memiliki daya pemahaman yang baik.
3.      Tinggi intelektualitasnya.
4.      Memiliki kepandaian dalam mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya.
5.      Mencintai pendidikan dan gemar mengajar.
6.      Tidak rakus dalam hal makanan, minuman dan perempuan.
7.      Mencintai kejujuran, berjiwa besar, dan berbudi luhur.
8.      Mencintai keadilan.
9.      Kuat pendiriannya.[10]
Imam al-Ghazali mengemukakan sepuluh syarat bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin, yaitu:
1.      Seorang yang akan menjadi pemimpin adalah orang yang telah dewasa.
2.      Memiliki pikiran yang sehat.
3.      Seorang yang merdeka.
4.      Seorang pemimpin haruslah berjenis kelamin laki-laki.
5.      Keturunan quraisy.
6.      Mempunyai pendengaran dan penglihatan yang sehat.
7.      Memiliki kekuasaan yang nyata.
8.      Mempunyai hidayah.
9.      Memiliki ilmu pengetahuan.
10.  Mampu mengendalikan diri dari perbuatan tercela.[11]
Pemimpin yang ideal dalam perspektif Islam menitik beratkan keberhasilan seorang pemimpin itu pada kemampuannya dalam mentransfer nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan dan lainnya yang bersifat immateri dan abstrak sehingga sebelum menjadi pemimpin, kredibilitasnya harus bersih dari noda noda pelanggaran dan parameter kemampuannya diukur dari keinginannya dalam menegakkan Agama Allah yang mencapai tatanan masyarakat yang bermoral tinggi.[12]
Kharakteristik yang harus dimiliki untuk menjadi pemimpin ideal, sebagai berikut:
1.      Visinya adalah Al-Qur’an, misinya menegakkan kebenaran.
2.      Memiliki sikap tawadhu’ dan mawas diri dalam mengemban amanah Allah, karena pada prinsipnya kepemimpinan itu bukan saja harus dipertanggung jawabkan di depan lembaga formal, namun yang lebih penting lagi dihadapan Allah
3.      Harus mampu memimpin dan mengendalikan dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Pribadi pemimpin seorang pemimpin itu merupakan cerminan dari keberhasilannya memimpin, yang harus dimulai dari belajar memimpin diri sendiri sebelum memimpin orang lain.
4.      Memiliki kemampuan manajerial yang baik karena seorang pemimpin harus dipilih dari orang-orang yang berkualitas terbaik.
5.      Memiliki konsep relasi yang baik karena pemimpin harus mampu menjembatani berbagai perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakatnya
6.      Kriteria Pemimpin ideal dalam perspektif Islam, harus memiliki sifat-sifat yang dimiliki Rasullullah, yaitu sifat siddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan apa adanya) dan fatonah (cerdas). Seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh Rasullullah yang berintikan kebenaran, kejujuran, kemampuan intelengensi yang baik serta harus amanah karena kepepimpinannaya akan dimintai pertangggung jawaban kepada Allah.SWT. Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki rasa takut kepada Allah sebagai kontrol sempurna bagi kepemimpinpinannya.[13]
Ibnu Taimiyah melihat keadilan sebagai syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam maupun bukan. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa keadilan merupakan ciri alamiah segala sesuatu. Jika keadilan menjadi dasar suatu rejim pemerintahan, maka sangat mungkin kesuksesan akan diraih, siapapun yang mengendalikan pemerintahan. Sebaliknya, suatu pemerintahan yang zalim mungkin sekali terjerumus dalam kehidupan tanpa Parti meskipun terbungkus dengan berbagai ragam kewajiban pemerintahan. Prinsip keadilan adalah bagian dari hukum Allah itu sendiri sebagaimana ditegaskan dari berbagai hadits dan ayat Alquran yang dijadikan sandaran Ibnu Taimiyah, salah satunya yaitu hadits yang berasal dari Musnad Ibnu Hambal yang menyebutkan:P
“Makhluk yang paling dicintai Allah adalah pimpinan yang adil, sedang makhluk yang paling dibenci Allah adalah pimpinan yang zalim.” Lebih dari itu, ketikaa menafsirkan ayat Alquran (11: 24) Ibnu Taimiyah menejelaskan bahwa kandungan firman itu adalah penegasan Allah bahwa keadilan meupakan syarat penting bagi seorang pemimpin yang sah. Oleh karenanya, pimpinan yang zalim tidak patut diikuti atau ditaati karena kezaliman yang dilakukan memupus fungsi kepemimpinanya. Konsekuensi penekanan kepada keadilan dalam pemerintahan yang sah adalah bahwa individu dalam pemerintahan mempunyai hak dan kewajiban untuk menuntut keadilan dari pemegang kekuasaan politik.
Ibnu Taimiyah juga menekankan persamaan (equality) sebagai nilai moral lain yang tercantum dalam syariah dan mempunyai pengaruh nyata pada kedudukan individu dalam masyarakat Islam. Ia mengaitkan persamaan dengan keadilan seraya mengajukan alasan bahwa semmua manusia mempunyai asal usul yang sama. Oleh karena itu, sungguh amat tidak adil jika beberapa di antara mereka dianggap atau memandang diri lebih tinggi ketimbang orang lain. Keadilan menuntut agar semua orang diperlakukan atas dasar persamaan.[14]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemimpin berasal dari kata “pimpin” (dalam bahasa Inggris lead) berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian di dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang "memimpin". Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (dalam bahasa Inggris leader) berarti orang yang menuntun atau yang membimbing. Secara bahasa, pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Pemimpin adalah seseorang yang diikuti oleh sekelompok orang yang dipimpinnya. Oleh sebab itu pemimpin merupakan sosok sentral bagi pengikutnya, jika pemimpin nya baik maka orang yang dipimpinnya juga akan baik. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan berakibat buruk terhadap organisasi maupun perusahaan atau lembaga yang dipimpinnya. Dalam memilih pemimpin yang baik, harus dipenuhi persyaratannya tercantum dalam Al-Qur’an
Pemimpin yang ideal dalam perspektif Islam menitik beratkan keberhasilan seorang pemimpin itu pada kemampuannya dalam mentransfer nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan dan lainnya yang bersifat immateri dan abstrak sehingga sebelum menjadi pemimpin, kredibilitasnya harus bersih dari noda noda pelanggaran dan parameter kemampuannya diukur dari keinginannya dalam menegakkan Agama Allah yang mencapai tatanan masyarakat yang bermoral tinggi


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Alim, PendidikanAgama Islam, (Bandung: Rosdakarya), 2011

Muh. Shaleh Suratmin, “Pemimpin Perspektif Al-Quran” ,shaleh suratmin. blogspot. co.id

Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah Pemimpinan Abnormal Itu ? (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1998

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Press), 1993

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)

Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah Fî Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyah, (Beirut: Daru al-Fikr), 1997

Eka Nuraini Rachmawati, Hukum Dan Siyasah Islam  (Analisis Konsep Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Perspektif Islam), Universitas Islam Riau

Al-farabi, Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Unzlagh, Ar-u Ahl al-Madînah al-Fadîlah, (Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, t.t.)

Aunur Rohim Fakih, Kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: UII Press), 2002

Kalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta), 1994





[1] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2011), h. 77-78
[2]Muh. Shaleh Suratmin, “Pemimpin Perspektif Al-Quran” ,shaleh suratmin. blogspot. co.id/diakses 01/10/2016 
[3] Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah Pemimpinan Abnormal Itu ? (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 181. 
[4]Ibid
[5]Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Press,1993), h. 46.
[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 35.
[7] Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah Fî Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyah, (Beirut: D_r al-Fikr, 1997), h. 114.
[8]Eka Nuraini Rachmawati, Hukum Dan Siyasah Islam  (Analisis Konsep Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Perspektif Islam), Universitas Islam Riau, h. 313-317
[9] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara… h, 48.
[10] Al-farabi, Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Unzlagh, Ar-u Ahl al-Madînah al-Fadîlah, (Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, t.t.), h. 15
[11] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 78
[12] Aunur Rohim Fakih, Kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002). h. 32. 
[13] Ibid, h. 35
[14] Kalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 104-106

No comments: