Makalah Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Irfani
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dengan metode fenomenologi kita akan
mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau
ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek.
Penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan
yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu
realitas itu untuk menampakkan diri.
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian
utama para cendekiawan muslim dimasa silam. Sehingga banyak muncul epistemologi
pada pemikiran Islam, salah satunya adalah irfani.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan fenomenologi?
2. Siapa tokoh fenomenologi dan bagaimana
pemikirannya tentang fenomenologi?
3.
Apa yang dimaksud dengan irfani?
4.
Dari mana asal sumber irfani?
5.
Bagaimana pekembangan, metode dan konsep
irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
FENOMENOLOGI DAN FILSAFAT IRFANI
A.
Fenomenologi
1.
Pengertian
Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari yunani, yaitu fenomenom yang berarti
sesuatu yang tampak. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai dengan istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri.[1]
Dengan demikian, semua wilayah fenomena (realitas) yang menampakkan diri
(manusia, gejala sosial budaya atau objek-objek yang lain) dapat dikatakan
sebagai objek fenomenologi.[2]
Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai kejadian yang dapat diamati
oleh indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat
fenomenologi, arti tersebut berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu suatu
gejala tidak perlu harus diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat
dari batin.
Filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis. Pemikiran
ini besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945
dalam bidang ilmu pengetahuan positif. Tokohnya: Edmund Husserl (1859-1939) dan
pengikutnya Max Scheler (1874-1928).[3]
Sebelum istilah fenomenologi dipergunakan oleh Husserl, istilah
tersebut sudah digunakan sebelumnya oleh Imanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhem
Friedrich Hegel (1770-1831). Kant mengemukakan istilah fenomena dan noemena.
Fenomena pada Kant mengacu pada apa yang tampak dan sesuatu yang tampak itu
dapat dipahami dan dimengerti. Kant membedakan antara fenomena dengan noemena.
Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi, sedangkan
noemena adalah hakikat realitas yang berada dibalik fenomena (metafisik). Noemena
berada di luar jangkauan pengamataan, menurut Kant kita tidak bisa memahaminya
sebab tidak ada jalan masuk indrawi ke noemena itu. Jadi, fenomenologi Kant
adalah bentuk epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui fenomena
saja dan bukan noemena.
Sedangkan fenomenologi bagi Hegel adalah seluruh fenomena hanyalah
penampakkan diri dari akal yang tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam pandangan
idealisme Hegel, seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya tetap pada satu
esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Hegel menekankan adanya
hubungan antara esensi (hakikat) dengan penampakkan (fenomena) yang teramati.
Bagi Hegel tidak ada pertentangan antara yang dapat diamati (empiri) dengan
yang dapat dipikirkan secara rasional.[4]
2.
Tokoh Fenomenologi
a.
Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Proznitz
daerah Moravia yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria-Hongaria dan sejak
perang dunia I masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl berasal dari golongan Yahudi
menengah dan pada usia 27 tahun masuk Protestan karena pengaruh temannya yakni
G.Alberch. Husserl belajar matematika, filsafat dan astronomi di Universitas
Leipzig, Berlin, dan Wina. Minat pada filsafat tumbuh sewaktu Husserl mengikuti
kuliah Franz Brentano merupakan filsuf yang paling berpengaruh di Universitas
tempat Husserl belajar dan Brentano dalam pemikirannya mengupayakan
menggabungkan pemikiran Skolastik dengan empirisme. Kelak pengaruh pemikiran
Brentano pada Husserl terlihat pada konsep intensionalitas yang menjadi salah
satu pemikiran penting dari Husserl.
Husserl meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi
mengenai filsafat matematik. Husserl kemudian menjadi dosen privat di
Universitas Helle dari tahun 1887-1901. Tahun 1901 Husserl diangkat menjadi
profesor di Gottingen (1901-1916) dan waktu iilah pemikirannya tentang
fenomenologi mencapai kematangan. Setelah tahun 1916, Husserl memenuhi undangan
menjadi profesor di Universitas Freiburg im breisgau. Pemikiran Husserl
khususnya fenomenologi melalui tulisan-tulisannya telah mempengaruhi filsafat
abad ke 20.[5]
Filsafat Husserl memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada
mulanya ia berfilsafat tentang ilmu pasti, tetapi kemudian sampai jugalah ia
pada renungan tentang filsafat umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti
dulu Descartes ia berpendapat bahwa adanya bermacam-macam aliran dalam filsafat
yang satu sama lain bertentangan itu, karena orang tidak mulai dengan metode
dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu haruslah dicari
satu metode yang memungkinkan kita berpikir, tanpa mendasarkan pikiran itu
kepada suatu pendapat lebih dulu.biasanya orang berpikir setelah mempunyai
suatu teori atau pemikiran sendiri. Itu tidak benar, demikian Hesserl, orang
harus memulai dengan mengamat-amati hal sendiri tanpa dasar suatupun: (Zun
den Sachen Selbest). Ia memerlukan analisa kesadaran. Maka analisa ini
menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu selalu terarah kepada obyek. Oleh
karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah nampak
obyek dalam kesadaran (gejala fenomenon), maka gejala itu diselidiki pula.
Sungguh tidaknya obyek tidaklah masuk dalam penyelidikan. Yang harus dicari
sekarang ialah sungguh-sungguh merupakan intisarinya. Adapun yang diluar
intisari itu tidak dihiraukan. Tetapi bukanlah cara abstraksi seperti ajaran Tomisme
melainkan inti itu tercapai oleh intuisi : inti itu terpandang oleh budi,
demikian terdapat inti susunan kesadaran, akan tetapi hal ini lain dari
kesadaran empiri : inti itu terpandang oleh budi.[6]
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia
adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua
orang dan manusia dapat mempercayainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi
menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang
harus kembali kepada benda-benda itu sendiri. Dalam bentuk slogan, pendirian
ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sactien (to the things). Kembali
pada benda-benda, yaitu bahwa benda-benda diberi kesempatan untuk berbicara
tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat benda-benda tidak lagi
bergantung pada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh
benda-benda itu sendiri.
Akan tetapi, benda-benda tidaklah secara langsung
memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu pada pemikiran
biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu.
Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi
hakikat, diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk
menemukan hakikat pada pemikiran ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan
Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah
Wesenchau, melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.
Dalam rangka memahami fenomenologi Husserl, kita akan
bahas masing-masing istilah tersebut:
1.
Epoche, yaitu melupakan
pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek
secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian sebelumnya.[7]
Hal utama yang menunjang keberhasilan metode fenomenologis tersebut adalah
ketika seorang peneliti, ilmuan, dan sebagainya mampu membebaskan dirinya dari
praduga-paduga atau penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian.
Praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian itu dapat
berbentuk keyakinan-keyakinan, stigma-stigma, stereotipe-streotipe, teori-teori
atau langgam berpikir yang sudah menjadi kebiasaan (kelaziman). Hal-hal semacam
itu oleh Husserl mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung ( ).
Maksud disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung bukanlah berarti
menafikan atau menyingkirkan hal-hal yang terdapat di dalam tanda kurung
terssebut (seperti praduga-praduga, penilaian-penilaian atau
pengandaian-pengandaian), melainkan menunda atau mengosongkan diri dari praduga-praduga,
penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian. Dengan kata lain, tanpa
memberi keterangan benar-salah terlebih dahulu kepada fenomena yang muncul atau
tampak itu. Inilah yang dimaksud dengan epoche (penundaan). Tujuannya agar
keterangan yang tampak dalam fenomena itu benar-benar asli, genuine atau tidak
terlebih dahulu disusupi/ dicampuri oleh
praduga-praduga, pengandaian-pengandaian, penilaian-penilaian
(presuposisi) pengamat.[8]
2.
Reduksi, yaitu penundaan
segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum dilakukan pengamatan
intuitif. Reduksi juga dapat diartikakn penyaringan atau pengecilan. Reduksi
merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk
mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan teori-teori
atau pengertian-pengertian yang telah ada, dalam hal ini diberi kesempatan
berbicara tentang dirinya sendiri.[9]
Menurut Husserl ada 3 jenis reduksi yang dapat digunakan, yaitu:
a.
Reduksi fenomenologis,
reduksi ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap menyisihkan (penyaringan)
pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya setiap pengalaman pribadi dan indrawi
dan subjektif disaring, disisihkan, ditunda terlebih dahulu.[10]
Yang timbul dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Reduksi pertama ini
adalah pembersihan diri dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu
perjalanan mencapai realitas.[11]
b.
Reduksi Eidetis, reduksi
ini dapat dikatakan sebagai sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang
tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah pemilihan hakikat yang sebenarnya,
bukan sesuatu yang sifatnya imajinasi semata.[12]
Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl
memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh
tertentu yang representatif melukiskan fenomenan. Kemudian dikurangi atau
ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi
atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.[13]
c.
Reduksi transendental,
fokus dari reduksi ini adalah subjek itu sendiri. Reduksi ini agak berbeda
dengan dua jenis reduksi lainnya. Dua reduksi lainnya lebih terkait erat
terhadap pemahaman subjek terhadap objek. Dengan kata lain, reduksi
transendental ini merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri.
Contoh, si a dipukul, dengan sadar dia tidak membalas pukulan setelah dia
meletakkan “aku” (subjek yang dipukul/ subjek yang empiris) di dalam tanda
kurung. Dia tiak membalas pukulan karena takut, tidak berani atau sebagainya,
namun karena dia meletakkan subjek empiris di dalam tanda kurung untuk mencapai
subjek sejati.[14]
3.
Intensionalitas, kesadaran
selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Dengan kata lain, kesadaran selalu
terarah pada suatu objek, inilah yang disebut dengan intensionalitass.[15]
Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalits Husserl, salah satunya
adalah intensionalitas mengadakan konstitusi. Konstitusi bisa diartikan sebagai
aktivitas kesadaran menuju suatu penampakan fenomena dalam kesadaran. Dengan
kata lain, melalui konstitusi itulah fenomena-fenomena tampak pada kesadaran
kita.[16]
4.
Lebenswelt, yaitu dunia
sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/ dunia yang dihayati/ dunia
sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati itu bukanlah mengacu
kepada dunnia nyata yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis
atau ilmiah eperti seumpama yang terdapat pada pandangan idealisme maupun
realisme.[17]
Idealisme memandang dunia nyata adalah dunia yang dipikirkan subjek. Realisme
menyatakan dunia nyata adalah dunia yang berada di luar subjek, dengan kata
lain subjek hanya menerima rangsangan dari luar secara passif. Sedangkan
Lebenswelt adalah lebih mengacu kepada dunia yang belum ditafsirkan atau
dikategorikan ilmu pengetahuan (ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain,
lebenswelt adalah dunia yang disadari secara pra filosofis, pra ilmiah dan pra
reflektif.[18]
b.
Max Scheler
Di samping Husserl filsuf fenomenologi adalah Max Sheller (1874-1928).
Ia mempergunakan metode Husserl. Yang diutamakannya adalah penyelidikan secara
fenomenologis etika dan filsafat agama. Manusia itu bukanlah pencipta nilai
tingkah laku, melainkan nilai-nilai itu berlaku lepas dari manusia. Tugas
manusia ialah mengakui nilai-nilai itu sertta mengikutinya. Adapun mengenai
gejalanya tidaklah demikian, kita harus tahu apakah yang menurut kewajiban itu
harus kita lakukan.[19]
c.
Martin Heidegger
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi
hermeneutika. Terkadang fenomenologi Heidegger juga disebut dengan analisis
eksistensial, karena fokus pengamatan Heidegger atau fenomenologinya diarahkan
kepada dunia manusia atau dalam istilah Heidegger in-der-welt-sein (ada dalam
dunia). Persoalan utama yang diangkat Heidegger adalah lupa akan makna ada.
Lupa akan makna ada ini secara teoritis maksudnya dapat dilihat dari berbagai pandangan
ilmu pengetahuan atau teori-teori modern yang mengabaikan nilai dan makna
eksistensi manusia seperti pandangan yang bersifat deterministik
(determinesme/behaviorisme). Dari segi praktis maksudnya adalah ditandai dengan
gejala seperti rutinitas, kedangkalan hidup serta ketidakotentikan dalam
menjalankan kehidupan.
Tujuan fenomenologi Heidegger ialah untuk mengembangkan
suatu metode untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang makna ada yang
telah dilupakan.[20]
Heidegger mengemukakan bahwa berbagai pendekatan dalam ilmu dan filsafat yang
selama ini digunakan tidak pernah terlepas dari asumsi-asumsi metafisis yang
mengasalkan ada (sein) dari adaan (sciende). Heidegger kemudian melakukan
dekontruksi metodologis yang bertujuan menghilangkan kabut metafisis tersebut.
Caranya kembali pada fenomena itu sendiri yang disebut kembali pada realitas
pertama dan sebenarnya. Maksudnya kembali pada realitas sebelum dicampuri oleh
berbagai asumsi dan prasangka. Untuk sampai pada fenomena seperti ini, dalam
pandangan Heidegger diperlukan metode yang disebutnya interpretasi.
Interpretasi diperlukan untuk menggali dan mengangkat kepermukaan setiap makna
dari gejala ada. Heidegger lantas menyebut fenomenologinya sebagai metode
interpretasi (fenomenologi hermeneutik), ia gunakan untuk mengungkapkn makna
tersembunyi dari eksistesi manusia. Tujuannya untuk menginterpretasikan makna
tersembunyi dari ada melalui mengadanya manusia (dasein). Artinya, penyelidikan
tentang makna ada tersebut secara langsung amat berhubungan dengan manusia
yakni makhluk yang mampu mempertanyakan makna ada itu.[21]
d.
Merleau Ponty
Berbicara ihwal fenomenologi Ponty, salah satu hal utama fenomenologi
Ponty adalah menolak pandangan dualisme (jiwa/kesadaran dan tubuh sebagai dua
realitas yang terpisah). Bagi Ponty, jiwa/ ksadaran dan tubuh adalah kesatuan
utuh.[22]
Persepsi adalah salah satu konsep yang penting dalam memahami
fenomenologi Ponty. Dalam pandangan empirisme umpamanya, persepsi diartikan
sebagai kumpulan-kumpulan data yang kita terima lewat pengindraan/pengalaman.
Adapun dalampengertian fenomenologi Ponty, persepsi ini diartikan sebagai suatu
intensi dari seluruah ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam
dunia pra-objektif yang disebut berada di dalam dunia. Dari sini dapat kita pahami
bahwa persepsi menunjukkan manusia itu mendunia.
Terkait dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada
kita di dunia ini, tubuh manusia dapat pula dipahami sebagai tubuh-subjek.
Tubuh-subjek ini dipahami berbeda dengan tubuh-objek. Bila tubuh-objek berarti
tubuh sejauh “aku” mengambil jarak terhadapnya atau menontonnya sebagai objek,
tubuh-subjek adalah tubuh yang kuhayati atau belum dikonseptualisasikan oleh
pandangan-pandangan fisiologis dan lain sebagainya. Pada tubuh-subjek ini, ada
kesatuan utuh antara tubuh dan jiwa/kesadaran atau dengan kata lain ada
kesatuan utuh antara tubuh yang menyadari dan kesadaran yang menubuh.[23]
B.
Filsafat Irfani
1.
Pengertian Irfani
Irfani berasal dari bahasa arab, yaitu arafa yang semakna
dengan ma’rifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (‘ilm).
Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung
lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Secara
terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah
adanya olah rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran
bidik irfani adalah aspek esoteric syariat.[24]
2.
Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani.
Perbedaan tersbut yaitu:
a. Pertama menganggap bahwa irfan islam berasal dari sumber Persia
dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan
islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan pendiri
aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma’ruf Al-Kharki
(w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).[25]
b. Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti
dikatakan Von Kramer, Ignaz, Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery.
Alasanya, (1) Adanya interaksi antara orang-orang arab dan kaum nasrani pada
masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-segi kesamaan antara
kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah) dan
mengasing diri (khalwat).
c. Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan
hortman. Alasanya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali
adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari
kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh (w.810 M) dan
yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat agama
dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika
memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan
pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
d. Keempat, irfan beraal dari sumber-sumber yunani, khususnya
neo-platonisme dan hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson.
Alasannya, “theology aristoteles” merupakan paduan antara system porphyry dan
proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun, menurut Dzun Al-Nun
al-Misri (796-861 M), irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang pengambilan
dari teks-teks Al-Qur’an lebih dikarnakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah
maqamat yang secara Lafzi dan maknawi diambil dari Al-Qur’an (QS. Al-Fushilat
164), identik dengan konsep Hermes tentang mi’raj, yakni kenaikan jiwa manusia
setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan.[26]
Mengenai persoalan sumber asal irfani, berdasarkan landasan di atas
kita mencoba melihat asal dan sumber irfani:
a.
Pendapat pertama bahwa irfan berasal dari
sumber Persia dan Majusi tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. Alasan yang
pertama, perkembangan irfan dan sufisme tidak sekedar upaya Ma’ruf al-Kharki dan
Bayazid Bushtami. Banyak tokoh sufis arab yang hidup di Mesir, Syiria, dan
Baghdad, seperti Dzun al-Nun al-Misri (w. 861 M), Abd al-Qadir Jilani (w. 1165
M), ibn Arabi (w. 1240 M), Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan ibn Athaillah
al-Iskandari (w.1309 M). Mereka bahkan tokoh yang memberi pengaruh besar bagi
perkembangan irfan di kemudian hari. Alasan yang kedua, kemunculan Ma’ruf
al-Kharki dan Bayazid Bushtami adalah setelah zaman Rasul, para sahabat dan
angkatan pertama kaum sufisme.[27] Ini
berarti mengabaikan pengaruh kehidupan Rasul, para sahabat dan tokoh pertama sufisme.
b.
Pendapat kedua, irfan dan
kristen memang ada kemiripan antara tasawuf Islam dengan mistisisme Kristen,
tetapi hal itu tidak dapat dijadikan alasan bahwa irfan berasal dari sumber
Kristen. Begitu pula tidak diingkari ada pengaruh ajaran Kristen pada sebagian
tokoh sufis, seperti al-Hallaj (858-913 M) yang menggunakan terminologi Kristen,
seperti malakut, lahut dan nasut. Tetapi gejala itu hanya muncul pada masa
akhir, setelah masa kedua dan ketiga sufisme cukup mapan dan berpotensi menyangga
munculnya angkatan tasawuf berikutnya.
c.
Pendapat ketiga, irfan dari
sumber India. Tidak ada bukti bahwa kaum sufi mengetahui doktrin dan ltihan
ruhani kaum Hindu kecuali pada Abd al-Haqq ibn Sabi’in (w. 1270 M), yang
menulis al-Risalah al-Nuriyah. Di sana ada bentuk pujian yng dikutip dari
kalangan Hindu. Tapi hal itu tidak ada rtinya, karena sufisme dan irfan telah
terpancang kuat lebih ddari 6 abad sebelumnya. Kaum orientalis sendiri seperti
Nicholson, O’leary dan EG. Browne menolak pendapat tersebut.[28]
d.
Pendapat keempat, irfan
dari Yunani atau Neo-platinis atau Hermes. Tidak diingkari adanya pengaruh
Yunani terhadap irfan. Pemikiran illumminasi dan wujud tunggal Plotinis
(205-270 M) berpengaruh pada beberapa tokoh sufi, seperti Suhrawardi (1153-1191
M), Ibn Arabi (1165-1240 M), ibn Faridl (w. 1234 M), Abd Karim al-Jilli
(1365-1402 M), dan lainnya. Namun menurut Taftazani, hal itu bukan berarti
semua tasawuf atau irfan Islam mesti bersumber dari Yunanu. Sebab sikap
angkatan pertama kaum sufis terhadap filsafat Yunani berbeda denngan kaum
teeolog dan filosop abad-abad berikutnya. Para sufi tidak membuka diri terhadap
filssafat Yunani kecualiperiode akhir, yakni ketika mereka dengan sengaaja
berusaha mengkompromikan intuisinya dengan wawasan intelektualnya, setelah
massuk abad kenam hijriah.
Dengan demikian, irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam
perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu
atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis Massignon,
Spencer Trimingham, juga menyatakan hal yang sama tentang sumber asal irfan
atau sufisme Islam.[29]
3.
Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
a.
Fase pembibitan, terjadi
pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru dalam bentuk laku
zuhud (askestisme). Para tokoh sufisme juga tidak berbicara terbuka mengenai
irfan. Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran
dan sunnah, yakni m,enjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri
dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori
atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motifasi zuhudnya adalah rasa takut,
yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
b.
Fase kelahiran, terjadi
pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara
terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali
ri’ayat huquq Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan
pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan
atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah
Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada tuhan, bebas dari
rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah
model prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.[30]
c.
Fase pertumbuhan, terjadi
abad 3-4 hijriah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku,
sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut
sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau
hubungan manusia dengan-Nya. Dengan demikian, pada fase ini irfan telah
mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif
langsung pada Tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak.[31]
Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral,
belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara
jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum
sufis fase ini telah merancang suatu system yang sempurna tentang irfan. Akan
tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap
problem-problem metafisika.
d.
Fase puncak, terjadi pada
abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi
besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048
M) yang menulis ruba’iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf
al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah
satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’
ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut
Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan
kebahagiaan.
e.
Fase Spesikasi, terjadi abad
ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani menjadi
semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam.[32] Pada
fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam
dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah Taftazani, yang cenderung pada
perilaku praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang
didominasi pemikiran filsafat. Disamping itu, dalam pandangan jabirin, ditambah
aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut
Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda
dengan filsafat.
f.
Fase kemunduran, terjadi
sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti,
bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada
pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lebih menekan
bentuk ritus dan formalisme, yang mendorong mereka menyimpang dari substansi
ajarannya sendiri.[33]
4.
Metode Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak
juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani
ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh
berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk
dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.
Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,
yaitu:
a. Persiapan
Dalam epistemologi
irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang
harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh
tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan
itu adalah:
1. Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang
kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti
dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
2. Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
tidak jelas statunya (subhât).
3. Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia.
4. Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan
dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki
apapun kecuali Tuhan swt.
5. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan
dan rela namun tidak berarti diam.
6. Tawakkal, yakni percaya
dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
7. Ridha (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang
akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif
(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu
melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut,
keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama,
sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu
sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’
atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).
c.
Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang
lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk
tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,
sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.[34]
5. Konsep
irfani
Sesuai
dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentaral irfan adalah zahir dan
batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut
Muhasibi (w. 857 M) al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para
sufis yang lain, teks keagamaan Al-Quran dan Hadis tidak hanya mengandung apa
yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aaspek zahirnya
adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika
dianalogikan dengan bayani, konsep zahir batin ini tidak berbeda dengan lafaz
makna. Bedanya dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafaz menuju
makna, sedangkan dalam irfani seseorang justru berangkat dari makna menuju
lafaz, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai
ashl, sedangkan lafaz mengikuti makna (furu’). [35]
Ta’wil disini diartikan sebagai transportasi ungkapan dzahir ke bathin
dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin). Apabila dalam ta’wil bayani
memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya pertalian
lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-ma’nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak
memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman pada dzahir
lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang menurut
mereka, disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini,
pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al- irfani, dan karenanya bersifat
langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak
memiliki dimensi kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin
sama-sama berasal dari tuhan, yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari
tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman
(al-fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini kaum
irfaniyyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin,
termasuk menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra
(al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah.
Dengan demikian firman Tuhan secara batin sama dengan hukum yang terdapat pada
dzahir yang terindra. Ruh (spirit) maknawi yang bersifat keTuhanan, yang hadir
dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di sebut sebagai I’tibar
al-bathin.[36]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomenologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri. Fenomenologi juga
dapat diartikan sebagai kejadian yang dapat diamati oleh indera.
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia adalah pendiri
fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia
dapat mempercayainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah
bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada
benda-benda itu sendiri. Fenomenologi Max Scheler, yang diutamakannya
adalah penyelidikan secara fenomenologis etika dan filsafat agama. Heidegger
menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutika. Terkadang
fenomenologi Heidegger juga disebut dengan analisis eksistensial, karena fokus
pengamatan Heidegger atau fenomenologinya diarahkan kepada dunia manusia atau
dalam istilah Heidegger in-der-welt-sein (ada dalam dunia). Persoalan utama
yang diangkat Heidegger adalah lupa akan makna ada. Berbicara ihwal
fenomenologi Ponty, salah satu hal utama fenomenologi Ponty adalah menolak
pandangan dualisme (jiwa/kesadaran dan tubuh sebagai dua realitas yang
terpisah). Bagi Ponty, jiwa/ ksadaran dan tubuh adalah kesatuan utuh.
Secara terminologis, irfan bisa
diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah rohani
(riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah
aspek esoteric syariat. Irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam
perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu.
Perkembangan irfani terbagi menjadi fase pembibitan, fase kelahiran, fase pertumbuhan,
fase puncak, fase Spesikasi, fase kemunduran.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia), 2008.
Akhyar Lubis,, Filsafat Ilmu Klasik Hingga
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers), 2015.
Asmoro Akhmadi, Filsafat
Umumi, (Jakarta: RajaGrafindo), 1997.
Poedjawijatna, Pembimbing
Ke arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Rineka Cipta), 2002.
[1] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cetakan
pertama, h. 403
[2] Akhyar Lubis,, Filsafat
Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cetakan
kedua, h. 206
[3] Asmoro Akhmadi, Filsafat
Umumi, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), Cetakan kedua, h. 122
[4] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 206
[5] Ibid, h. 207
[6] Poedjawijatna, Pembimbing
Ke arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cetakan kesebelas,
h. 139
[7] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 403-404
[8] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 210
[9] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 404
[10] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 211
[11] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 404
[12] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 211
[13] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 405
[14] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 211
[15] Loc.Cit
[16] Ibid, h. 212
[17] Loc.Cit
[18] Ibid, h. 213
[19] Poedjawijatna, Op.Cit,
h. 140
[20] Akhyar Lubis, Op.Cit,
h. 214
[21] Ibid, h. 215
[22] Ibid, h. 217
[23] Ibid, h. 218
[24] A. Khudori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Cetakan kedua, h.
194
[25] Loc.Cit
[26] Ibid, 195
[27] Ibid, 196
[28] Ibid, 197
[29] Ibid, 198
[30] Ibid, 199
[31] Ibid,
h. 200
[32] Ibid, h. 201
[33] Ibid, h. 202
[34] http://nabildaffa.blogspot.co.id/2012/01/epistemologi-irfani.html,
akses pada tanggal 07 Oktober 2015 pukul 22.03 WITA.
[35] Ibid, h. 208
[36]http://mampirsajadisini.blogspot.co.id/2012/03/makalah-filsafat-ilmu-tentang-manusia.html,
akses npada tanggal 08 Okttober 2015 pukul 14.07
No comments:
Post a Comment