Wednesday, 21 December 2016

Fenomenologi dan Irfani (Makalah Filsafat)



Makalah Filsafat Fenomenologi dan Filsafat Irfani

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah
Dengan metode fenomenologi kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri.
Epistemologi atau teori tentang ilmu menjadi perhatian utama para cendekiawan muslim dimasa silam. Sehingga banyak muncul epistemologi pada pemikiran Islam, salah satunya adalah irfani.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan fenomenologi?
2.    Siapa tokoh fenomenologi dan bagaimana pemikirannya tentang fenomenologi?
3.      Apa yang dimaksud dengan irfani?
4.      Dari mana asal sumber irfani?
5.      Bagaimana pekembangan, metode dan konsep irfani?

BAB II
PEMBAHASAN
FENOMENOLOGI DAN FILSAFAT IRFANI

A.     Fenomenologi
1.      Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari yunani, yaitu fenomenom yang berarti sesuatu yang tampak. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai dengan istilah  gejala. Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri.[1] Dengan demikian, semua wilayah fenomena (realitas) yang menampakkan diri (manusia, gejala sosial budaya atau objek-objek yang lain) dapat dikatakan sebagai objek fenomenologi.[2]
Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai kejadian yang dapat diamati oleh indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti tersebut berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat dari batin.
Filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis. Pemikiran ini besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan positif. Tokohnya: Edmund Husserl (1859-1939) dan pengikutnya Max Scheler (1874-1928).[3]
Sebelum istilah fenomenologi dipergunakan oleh Husserl, istilah tersebut sudah digunakan sebelumnya oleh Imanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831). Kant mengemukakan istilah fenomena dan noemena. Fenomena pada Kant mengacu pada apa yang tampak dan sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan dimengerti. Kant membedakan antara fenomena dengan noemena. Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi, sedangkan noemena adalah hakikat realitas yang berada dibalik fenomena (metafisik). Noemena berada di luar jangkauan pengamataan, menurut Kant kita tidak bisa memahaminya sebab tidak ada jalan masuk indrawi ke noemena itu. Jadi, fenomenologi Kant adalah bentuk epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui fenomena saja dan bukan noemena.
Sedangkan fenomenologi bagi Hegel adalah seluruh fenomena hanyalah penampakkan diri dari akal yang tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam pandangan idealisme Hegel, seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya tetap pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Hegel menekankan adanya hubungan antara esensi (hakikat) dengan penampakkan (fenomena) yang teramati. Bagi Hegel tidak ada pertentangan antara yang dapat diamati (empiri) dengan yang dapat dipikirkan secara rasional.[4]
2.      Tokoh Fenomenologi
a.      Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Proznitz daerah Moravia yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria-Hongaria dan sejak perang dunia I masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl berasal dari golongan Yahudi menengah dan pada usia 27 tahun masuk Protestan karena pengaruh temannya yakni G.Alberch. Husserl belajar matematika, filsafat dan astronomi di Universitas Leipzig, Berlin, dan Wina. Minat pada filsafat tumbuh sewaktu Husserl mengikuti kuliah Franz Brentano merupakan filsuf yang paling berpengaruh di Universitas tempat Husserl belajar dan Brentano dalam pemikirannya mengupayakan menggabungkan pemikiran Skolastik dengan empirisme. Kelak pengaruh pemikiran Brentano pada Husserl terlihat pada konsep intensionalitas yang menjadi salah satu pemikiran penting dari Husserl.
Husserl meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi mengenai filsafat matematik. Husserl kemudian menjadi dosen privat di Universitas Helle dari tahun 1887-1901. Tahun 1901 Husserl diangkat menjadi profesor di Gottingen (1901-1916) dan waktu iilah pemikirannya tentang fenomenologi mencapai kematangan. Setelah tahun 1916, Husserl memenuhi undangan menjadi profesor di Universitas Freiburg im breisgau. Pemikiran Husserl khususnya fenomenologi melalui tulisan-tulisannya telah mempengaruhi filsafat abad ke 20.[5]
      Filsafat Husserl memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia berfilsafat tentang ilmu pasti, tetapi kemudian sampai jugalah ia pada renungan tentang filsafat umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu Descartes ia berpendapat bahwa adanya bermacam-macam aliran dalam filsafat yang satu sama lain bertentangan itu, karena orang tidak mulai dengan metode dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu haruslah dicari satu metode yang memungkinkan kita berpikir, tanpa mendasarkan pikiran itu kepada suatu pendapat lebih dulu.biasanya orang berpikir setelah mempunyai suatu teori atau pemikiran sendiri. Itu tidak benar, demikian Hesserl, orang harus memulai dengan mengamat-amati hal sendiri tanpa dasar suatupun: (Zun den Sachen Selbest). Ia memerlukan analisa kesadaran. Maka analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu selalu terarah kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah nampak obyek dalam kesadaran (gejala fenomenon), maka gejala itu diselidiki pula. Sungguh tidaknya obyek tidaklah masuk dalam penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah sungguh-sungguh merupakan intisarinya. Adapun yang diluar intisari itu tidak dihiraukan. Tetapi bukanlah cara abstraksi seperti ajaran Tomisme melainkan inti itu tercapai oleh intuisi : inti itu terpandang oleh budi, demikian terdapat inti susunan kesadaran, akan tetapi hal ini lain dari kesadaran empiri : inti itu terpandang oleh budi.[6]
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mempercayainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada benda-benda itu sendiri. Dalam bentuk slogan, pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sactien (to the things). Kembali pada benda-benda, yaitu bahwa benda-benda diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat benda-benda tidak lagi bergantung pada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh benda-benda itu sendiri.
Akan tetapi, benda-benda tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu pada pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau, melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.
Dalam rangka memahami fenomenologi Husserl, kita akan bahas masing-masing istilah tersebut:
1.      Epoche, yaitu melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian sebelumnya.[7] Hal utama yang menunjang keberhasilan metode fenomenologis tersebut adalah ketika seorang peneliti, ilmuan, dan sebagainya mampu membebaskan dirinya dari praduga-paduga atau penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian. Praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian itu dapat berbentuk keyakinan-keyakinan, stigma-stigma, stereotipe-streotipe, teori-teori atau langgam berpikir yang sudah menjadi kebiasaan (kelaziman). Hal-hal semacam itu oleh Husserl mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung ( ). Maksud disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung bukanlah berarti menafikan atau menyingkirkan hal-hal yang terdapat di dalam tanda kurung terssebut (seperti praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian), melainkan menunda atau mengosongkan diri dari praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian. Dengan kata lain, tanpa memberi keterangan benar-salah terlebih dahulu kepada fenomena yang muncul atau tampak itu. Inilah yang dimaksud dengan epoche (penundaan). Tujuannya agar keterangan yang tampak dalam fenomena itu benar-benar asli, genuine atau tidak terlebih dahulu disusupi/ dicampuri oleh  praduga-praduga, pengandaian-pengandaian, penilaian-penilaian (presuposisi) pengamat.[8]
2.      Reduksi, yaitu penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum dilakukan pengamatan intuitif. Reduksi juga dapat diartikakn penyaringan atau pengecilan. Reduksi merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada, dalam hal ini diberi kesempatan berbicara tentang dirinya sendiri.[9] Menurut Husserl ada 3 jenis reduksi yang dapat digunakan, yaitu:
a.       Reduksi fenomenologis, reduksi ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap menyisihkan (penyaringan) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya setiap pengalaman pribadi dan indrawi dan subjektif disaring, disisihkan, ditunda terlebih dahulu.[10] Yang timbul dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Reduksi pertama ini adalah pembersihan diri dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas.[11]
b.      Reduksi Eidetis, reduksi ini dapat dikatakan sebagai sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah pemilihan hakikat yang sebenarnya, bukan sesuatu yang sifatnya imajinasi semata.[12] Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomenan. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.[13]
c.       Reduksi transendental, fokus dari reduksi ini adalah subjek itu sendiri. Reduksi ini agak berbeda dengan dua jenis reduksi lainnya. Dua reduksi lainnya lebih terkait erat terhadap pemahaman subjek terhadap objek. Dengan kata lain, reduksi transendental ini merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. Contoh, si a dipukul, dengan sadar dia tidak membalas pukulan setelah dia meletakkan “aku” (subjek yang dipukul/ subjek yang empiris) di dalam tanda kurung. Dia tiak membalas pukulan karena takut, tidak berani atau sebagainya, namun karena dia meletakkan subjek empiris di dalam tanda kurung untuk mencapai subjek sejati.[14]
3.      Intensionalitas, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah pada suatu objek, inilah yang disebut dengan intensionalitass.[15] Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalits Husserl, salah satunya adalah intensionalitas mengadakan konstitusi. Konstitusi bisa diartikan sebagai aktivitas kesadaran menuju suatu penampakan fenomena dalam kesadaran. Dengan kata lain, melalui konstitusi itulah fenomena-fenomena tampak pada kesadaran kita.[16]
4.      Lebenswelt, yaitu dunia sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/ dunia yang dihayati/ dunia sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati itu bukanlah mengacu kepada dunnia nyata yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah eperti seumpama yang terdapat pada pandangan idealisme maupun realisme.[17] Idealisme memandang dunia nyata adalah dunia yang dipikirkan subjek. Realisme menyatakan dunia nyata adalah dunia yang berada di luar subjek, dengan kata lain subjek hanya menerima rangsangan dari luar secara passif. Sedangkan Lebenswelt adalah lebih mengacu kepada dunia yang belum ditafsirkan atau dikategorikan ilmu pengetahuan (ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain, lebenswelt adalah dunia yang disadari secara pra filosofis, pra ilmiah dan pra reflektif.[18]
b.      Max Scheler
Di samping Husserl filsuf fenomenologi adalah Max Sheller (1874-1928). Ia mempergunakan metode Husserl. Yang diutamakannya adalah penyelidikan secara fenomenologis etika dan filsafat agama. Manusia itu bukanlah pencipta nilai tingkah laku, melainkan nilai-nilai itu berlaku lepas dari manusia. Tugas manusia ialah mengakui nilai-nilai itu sertta mengikutinya. Adapun mengenai gejalanya tidaklah demikian, kita harus tahu apakah yang menurut kewajiban itu harus kita lakukan.[19]

c.       Martin Heidegger
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutika. Terkadang fenomenologi Heidegger juga disebut dengan analisis eksistensial, karena fokus pengamatan Heidegger atau fenomenologinya diarahkan kepada dunia manusia atau dalam istilah Heidegger in-der-welt-sein (ada dalam dunia). Persoalan utama yang diangkat Heidegger adalah lupa akan makna ada. Lupa akan makna ada ini secara teoritis maksudnya dapat dilihat dari berbagai pandangan ilmu pengetahuan atau teori-teori modern yang mengabaikan nilai dan makna eksistensi manusia seperti pandangan yang bersifat deterministik (determinesme/behaviorisme). Dari segi praktis maksudnya adalah ditandai dengan gejala seperti rutinitas, kedangkalan hidup serta ketidakotentikan dalam menjalankan kehidupan.
Tujuan fenomenologi Heidegger ialah untuk mengembangkan suatu metode untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang makna ada yang telah dilupakan.[20] Heidegger mengemukakan bahwa berbagai pendekatan dalam ilmu dan filsafat yang selama ini digunakan tidak pernah terlepas dari asumsi-asumsi metafisis yang mengasalkan ada (sein) dari adaan (sciende). Heidegger kemudian melakukan dekontruksi metodologis yang bertujuan menghilangkan kabut metafisis tersebut. Caranya kembali pada fenomena itu sendiri yang disebut kembali pada realitas pertama dan sebenarnya. Maksudnya kembali pada realitas sebelum dicampuri oleh berbagai asumsi dan prasangka. Untuk sampai pada fenomena seperti ini, dalam pandangan Heidegger diperlukan metode yang disebutnya interpretasi. Interpretasi diperlukan untuk menggali dan mengangkat kepermukaan setiap makna dari gejala ada. Heidegger lantas menyebut fenomenologinya sebagai metode interpretasi (fenomenologi hermeneutik), ia gunakan untuk mengungkapkn makna tersembunyi dari eksistesi manusia. Tujuannya untuk menginterpretasikan makna tersembunyi dari ada melalui mengadanya manusia (dasein). Artinya, penyelidikan tentang makna ada tersebut secara langsung amat berhubungan dengan manusia yakni makhluk yang mampu mempertanyakan makna ada itu.[21]
d.      Merleau Ponty
Berbicara ihwal fenomenologi Ponty, salah satu hal utama fenomenologi Ponty adalah menolak pandangan dualisme (jiwa/kesadaran dan tubuh sebagai dua realitas yang terpisah). Bagi Ponty, jiwa/ ksadaran dan tubuh adalah kesatuan utuh.[22]
Persepsi adalah salah satu konsep yang penting dalam memahami fenomenologi Ponty. Dalam pandangan empirisme umpamanya, persepsi diartikan sebagai kumpulan-kumpulan data yang kita terima lewat pengindraan/pengalaman. Adapun dalampengertian fenomenologi Ponty, persepsi ini diartikan sebagai suatu intensi dari seluruah ada kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-objektif yang disebut berada di dalam dunia. Dari sini dapat kita pahami bahwa persepsi menunjukkan manusia itu mendunia.
Terkait dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dapat pula dipahami sebagai tubuh-subjek. Tubuh-subjek ini dipahami berbeda dengan tubuh-objek. Bila tubuh-objek berarti tubuh sejauh “aku” mengambil jarak terhadapnya atau menontonnya sebagai objek, tubuh-subjek adalah tubuh yang kuhayati atau belum dikonseptualisasikan oleh pandangan-pandangan fisiologis dan lain sebagainya. Pada tubuh-subjek ini, ada kesatuan utuh antara tubuh dan jiwa/kesadaran atau dengan kata lain ada kesatuan utuh antara tubuh yang menyadari dan kesadaran yang menubuh.[23]
B.     Filsafat Irfani
1.      Pengertian Irfani
Irfani berasal dari bahasa arab, yaitu arafa yang semakna dengan ma’rifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syariat.[24]
2.      Sumber Asal Irfani
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfani. Perbedaan tersbut yaitu:
a.       Pertama menganggap bahwa irfan islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma’ruf Al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).[25]
b.      Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz, Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery. Alasanya, (1) Adanya interaksi antara orang-orang arab dan kaum nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah) dan mengasing diri (khalwat).
c.       Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman. Alasanya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh (w.810 M) dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
d.      Keempat, irfan beraal dari sumber-sumber yunani, khususnya neo-platonisme dan hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, “theology aristoteles” merupakan paduan antara system porphyry dan proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun, menurut Dzun Al-Nun al-Misri (796-861 M), irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang pengambilan dari teks-teks Al-Qur’an lebih dikarnakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqamat yang secara Lafzi dan maknawi diambil dari Al-Qur’an (QS. Al-Fushilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi’raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan.[26]
Mengenai persoalan sumber asal irfani, berdasarkan landasan di atas kita mencoba melihat asal dan sumber irfani:
a.        Pendapat pertama bahwa irfan berasal dari sumber Persia dan Majusi tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. Alasan yang pertama, perkembangan irfan dan sufisme tidak sekedar upaya Ma’ruf al-Kharki dan Bayazid Bushtami. Banyak tokoh sufis arab yang hidup di Mesir, Syiria, dan Baghdad, seperti Dzun al-Nun al-Misri (w. 861 M), Abd al-Qadir Jilani (w. 1165 M), ibn Arabi (w. 1240 M), Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan ibn Athaillah al-Iskandari (w.1309 M). Mereka bahkan tokoh yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan irfan di kemudian hari. Alasan yang kedua, kemunculan Ma’ruf al-Kharki dan Bayazid Bushtami adalah setelah zaman Rasul, para sahabat dan angkatan pertama kaum sufisme.[27] Ini berarti mengabaikan pengaruh kehidupan Rasul, para sahabat dan tokoh pertama sufisme.
b.      Pendapat kedua, irfan dan kristen memang ada kemiripan antara tasawuf Islam dengan mistisisme Kristen, tetapi hal itu tidak dapat dijadikan alasan bahwa irfan berasal dari sumber Kristen. Begitu pula tidak diingkari ada pengaruh ajaran Kristen pada sebagian tokoh sufis, seperti al-Hallaj (858-913 M) yang menggunakan terminologi Kristen, seperti malakut, lahut dan nasut. Tetapi gejala itu hanya muncul pada masa akhir, setelah masa kedua dan ketiga sufisme cukup mapan dan berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf berikutnya.
c.       Pendapat ketiga, irfan dari sumber India. Tidak ada bukti bahwa kaum sufi mengetahui doktrin dan ltihan ruhani kaum Hindu kecuali pada Abd al-Haqq ibn Sabi’in (w. 1270 M), yang menulis al-Risalah al-Nuriyah. Di sana ada bentuk pujian yng dikutip dari kalangan Hindu. Tapi hal itu tidak ada rtinya, karena sufisme dan irfan telah terpancang kuat lebih ddari 6 abad sebelumnya. Kaum orientalis sendiri seperti Nicholson, O’leary dan EG. Browne menolak pendapat tersebut.[28]
d.      Pendapat keempat, irfan dari Yunani atau Neo-platinis atau Hermes. Tidak diingkari adanya pengaruh Yunani terhadap irfan. Pemikiran illumminasi dan wujud tunggal Plotinis (205-270 M) berpengaruh pada beberapa tokoh sufi, seperti Suhrawardi (1153-1191 M), Ibn Arabi (1165-1240 M), ibn Faridl (w. 1234 M), Abd Karim al-Jilli (1365-1402 M), dan lainnya. Namun menurut Taftazani, hal itu bukan berarti semua tasawuf atau irfan Islam mesti bersumber dari Yunanu. Sebab sikap angkatan pertama kaum sufis terhadap filsafat Yunani berbeda denngan kaum teeolog dan filosop abad-abad berikutnya. Para sufi tidak membuka diri terhadap filssafat Yunani kecualiperiode akhir, yakni ketika mereka dengan sengaaja berusaha mengkompromikan intuisinya dengan wawasan intelektualnya, setelah massuk abad kenam hijriah.
Dengan demikian, irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis Massignon, Spencer Trimingham, juga menyatakan hal yang sama tentang sumber asal irfan atau sufisme Islam.[29]
3.      Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
a.       Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud (askestisme). Para tokoh sufisme juga tidak berbicara terbuka mengenai irfan. Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan sunnah, yakni m,enjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3) motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
b.      Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq Allah karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfani. Laku askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah model prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.[30]
c.       Fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijriah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya. Dengan demikian, pada fase ini irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak.[31] Pencapaian kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu system yang sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem metafisika.
d.      Fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang menulis ruba’iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf al-mahjub, dan Abdullah al-anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
e.       Fase Spesikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam.[32] Pada fase ini, secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan Sunni, menurut istilah Taftazani, yang cenderung pada perilaku praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didominasi pemikiran filsafat. Disamping itu, dalam pandangan jabirin, ditambah aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
f.       Fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lebih menekan bentuk ritus dan formalisme, yang mendorong mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.[33]
4.      Metode Irfani
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.  Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu:

a.       Persiapan
            Dalam epistemologi irfani, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, ketujuh tahapan itu adalah:
1.       Taubat, yakni meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai dengan penyesalan yang mendalam yang kemudian diganti dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji.
2.       Wara` yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statunya (subhât).
3.       Zuhud yakni tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
4.       Faqir, yakni mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini ataupun kehidupan yang akan datang, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.
5.       Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela namun tidak berarti diam.
6.       Tawakkal, yakni percaya dan memnyandarkan diri atas apa yang ditentukan oleh tuhan.
7.       Ridha (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b.      Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).

c.       Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[34]
5.      Konsep irfani
Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentaral irfan adalah zahir dan batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasibi (w. 857 M) al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan Al-Quran dan Hadis tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aaspek zahirnya adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir batin ini tidak berbeda dengan lafaz makna. Bedanya dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafaz menuju makna, sedangkan dalam irfani seseorang justru berangkat dari makna menuju lafaz, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai ashl, sedangkan lafaz mengikuti makna (furu’). [35]
Ta’wil disini diartikan sebagai transportasi ungkapan dzahir ke bathin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin). Apabila dalam ta’wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh syibh (illat) ataupun adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-ma’nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan. Takwil irfani tidak berpedoman pada dzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya pada wilayah pengetahuan yang menurut mereka, disebut dengan hakekat melalui isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau al- irfani, dan karenanya bersifat langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak memiliki dimensi kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin sama-sama berasal dari tuhan, yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman (al-fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini kaum irfaniyyun. Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra (al-shurah al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan demikian firman Tuhan secara batin sama dengan hukum yang terdapat pada dzahir yang terindra. Ruh (spirit) maknawi yang bersifat keTuhanan, yang hadir dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di sebut sebagai I’tibar al-bathin.[36]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Fenomenologi adalah ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri. Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai kejadian yang dapat diamati oleh indera.
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mempercayainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada benda-benda itu sendiri. Fenomenologi Max Scheler, yang diutamakannya adalah penyelidikan secara fenomenologis etika dan filsafat agama. Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai fenomenologi hermeneutika. Terkadang fenomenologi Heidegger juga disebut dengan analisis eksistensial, karena fokus pengamatan Heidegger atau fenomenologinya diarahkan kepada dunia manusia atau dalam istilah Heidegger in-der-welt-sein (ada dalam dunia). Persoalan utama yang diangkat Heidegger adalah lupa akan makna ada. Berbicara ihwal fenomenologi Ponty, salah satu hal utama fenomenologi Ponty adalah menolak pandangan dualisme (jiwa/kesadaran dan tubuh sebagai dua realitas yang terpisah). Bagi Ponty, jiwa/ ksadaran dan tubuh adalah kesatuan utuh.
Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syariat. Irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu. Perkembangan irfani terbagi menjadi fase pembibitan, fase kelahiran, fase pertumbuhan, fase puncak, fase Spesikasi, fase kemunduran.
DAFTAR PUSTAKA

Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia), 2008.

Akhyar Lubis,, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers), 2015.

Asmoro Akhmadi, Filsafat Umumi, (Jakarta: RajaGrafindo), 1997.

Poedjawijatna, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Rineka Cipta), 2002.





[1] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cetakan pertama, h. 403
[2] Akhyar Lubis,, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cetakan kedua, h. 206
[3] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umumi, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), Cetakan kedua, h. 122
[4] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 206
[5] Ibid, h. 207
[6] Poedjawijatna, Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cetakan kesebelas, h. 139
[7] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 403-404
[8] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 210
[9] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 404
[10] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 211
[11] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 404
[12] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 211
[13] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, h. 405
[14] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 211
[15] Loc.Cit
[16] Ibid, h. 212
[17] Loc.Cit
[18] Ibid, h. 213
[19] Poedjawijatna, Op.Cit, h. 140
[20] Akhyar Lubis, Op.Cit, h. 214
[21] Ibid, h. 215
[22] Ibid, h. 217
[23] Ibid, h. 218
[24] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Cetakan kedua, h. 194
[25] Loc.Cit
[26] Ibid, 195
[27] Ibid, 196
[28] Ibid, 197
[29] Ibid, 198
[30] Ibid, 199
[31] Ibid, h. 200
[32] Ibid, h. 201
[33] Ibid, h. 202
[34] http://nabildaffa.blogspot.co.id/2012/01/epistemologi-irfani.html, akses pada tanggal 07 Oktober 2015 pukul 22.03 WITA.
[35] Ibid, h. 208

No comments: