Wednesday 21 December 2016

Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Makalah hadits)

Hadits Amar Ma'ruf Nahi Munkar
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dipandang dari sudut syariah perkataan amar ma’ruf nahi munkar itu telah menjadi istilah yang merupakan ajaran (doktrin) pokok agama islam, malah menjadi tujuan yang utama. Mengenai hal ini abul a’la al-maududi menjelaskan bahwa tujuan yang utama dari syariat ialah untuk membangun kehidupan manusia diatas dasar ma’rufat (kebaikan- kebaikan ) dan membersihkannya dari hal-hal yang munkarat (kejahatan-kejahatan). Lebih jauh, beliau memberikan definisi sbb: istilah amar ma’ruf nahi munkar itu menunjukan semua kebaikan-kebaikan dan sifat-sifat yang baik, yang sepanjang massa diterima oleh hati nurani manusia sebagai sesuatu yang baik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar.
2.      Penjelasan amar ma’ruf nahi munkar.
BDFGXFGXCGT
  
BAB II
PEMBAHASASAN
HADIS TENTANG AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

A.    Lafal Hadis dan Terjemah
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ رَاَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِك اَضْعَفُ الْااِيْمَانِ
Terjemah Hadis
            Dari Abu Said Al-Khudri. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapapun di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan dan kekuasaannya. Apabila tidak mampu dengan cara ini, hendaklah menggunakan lisannya (menasehatinya). Apabila dengan cara ini tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Dan demikian itu (mengubah dengan hati) adalah termasuk selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim no. 70)[1]
Dalam shahih muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ. حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ. ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ. حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ, عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَاب. وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرِ. قَالَ: أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.[2]

Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian Abu Said berkata, "Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."

B.     Penjelasan Hadis
            Hadis di atas menegaskan bahwa apabila melihat kemungkaran kapan dan dimana saja berada, kita diperintahkan untuk mencegah dan mengubahnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Bagi yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan, hendaknya mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan atau kekuatan. Bagi yang tidak mempunyai kekuasaan atau kekuatan, Namun, apabila tidak kuasa menjalankan kedua hal tersebut, dapat kita tempuh dengan hati. Caranya dengan mendoakan orang yang berbuat zalim, mungkar, atau sesat itu supaya diberi kesadaran untuk dapat menginsafi perbuatannya. Akhirnya, orang tersebut dapat meninggalkan kemungkaran. Hanya, cara yang terakhir ini merupakan cerminan orang-orang mukmin yang lemah imannya. 
            Dari hadis di atas, kita melihat betapa besar tugas yang dipikul di atas pundak umat dakwah itu. Orang Islam wajib berusaha merebut kedudukan yang memungkinkan dengan tangan, dia dapat menegakkan yang ma’ruf dan memerangi yang mungkar. Artinya dengan kekuasaan. Kalau itu tidak tercapai, hendaklah lidahnya kuat berkata, yaitu dengan kewibawaan.Dengan demikian, walaupun tidak atau belum dapat memiliki keleluasaan, lidah dan ucapannya didengar orang. Kalau keduanya belum tercapai, kita lebih baik diam. Kita menolak kemungkaran ini dengan hati. Oleh karena itu, berdiam diri bukan bararti berhenti sebab berhenti artinya mati.[3]
            Banyak petunjuk dan tuntunan Alaah SWT dalam mewujudkan hubungan manusiawi yang positif dan efektif melalui firman-Nya di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2, potongan ayat tersebut:
…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…
                Dari firman Allah SWT itu jelas bahwa hubungan manusia yang positif dan efektif yang diridhai Allah SWT adalah yang berkenaan dengan kebajikan dan ketaqwaan kepada-Nya.[4]
            Nabi Muhammmad saw. juga mengingatkan kepada orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam sebuah hadis sebagai berikut.
عَنْ اَبِيْ بَكْرٍ الصِّدٍّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ خَطَبَ فَقَالَ يَااَيُّهَا النَّاسُ اِنَّكُمْ تَقْرَءُوْنَ هٰذِهِ اْلأٰيَةَ وَتَضَعُوْنَهَا عَلَى غَيْرِمَا وَضَعَهَا اللهُ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَاهْتَدَيْتُمْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّ النَّاسَ اِذَا رَاَوُالْمُنْكَرَ بَيْنَهُمْ فَلَمْ يُنْكِرُوْهُ يُوْشِكُ اَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ. رواه احمد
Artinya:
Dari Abu Bakar As-Siddiq r.a., bahwasanya ia berkhotbah dengan berkata,  “Wahai manusia! Sungguh kamu sekalian telah membaca ayat ini: Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu, (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Sungguh, saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya manusia apabia telah melihat kemungkaran di antara mereka, lalu mereka tidak mencegahnya, hampir-hampir Allah meratakan kepada mereka dengan suatu siksa dari sisi-Nya.
            Menurut hadis tersebut, Abu Bakar memberikan isyarat tentang firman Allah swt. yang mewajibkan orang Islam sebagai satu kesatuan untuk memelihara diri dan menjaga masyarakat dari hal-hal yang menyesatkan. Mereka hendaknya selalu bersama-sama mengikuti dan mendukung petunjuk agama. Selama orang Islam berada dalam petunjuk Allah, kesesatan orang lain tidak akan menimpa mereka.[5]
            Allah tidak akan menurunkan musibah kepada beberapa gelintir manusia yang berbuat zhalim saja, karena seorang yang melobangi kapal  bukan dia sendiri yang tenggelam, tetapi semua yang ada di kapal itu juga ikut karam, tenggelam.
            Inilah pernyataan Allah dalam Al-Qur’an:
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. (Al-Anfal: 25)
                Disinilah fungsi dari perintah Allah SWT agar setiap muslim terhadap muslim yang lain harus saling nasehat menasehati. Allah SWT berfirman:
…dan saling menasehatilah tentang kebenaran dan saling menasehatilah tentang kesabaran.(Al-‘Ashr: 3).[6]
   Firman Allah:
            .....“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya.” (QS. Ath-Thur:21)
Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia, tetapi juga menekankan kepada tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan bekerja sama membina dan mempertahankan pendidikan. Semua anggota masyarakat bertanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, saling mengingatkan untuk menghindari yang munkar.
Firman Allah:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS. Ali ‘Imran: 110).
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar...” (QS. At-Taubah:71)
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعَيَّتِه (رواهه البخارى)
“Semua kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab atas yang dipimpin.”
Dengan demikian jelaslah bahwa tanggung jawab masyarakat bersifat perseorangan/ pribadi dan bertanggung jawab pula dalam sosial masyarakat.[7]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Hadis di atas menegaskan bahwa apabila melihat kemungkaran kapan dan dimana saja berada, kita diperintahkan untuk mencegah dan mengubahnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Bagi yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan, hendaknya mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan atau kekuatan. Bagi yang tidak mempunyai kekuasaan atau kekuatan, Namun, apabila tidak kuasa menjalankan kedua hal tersebut, dapat kita tempuh dengan hati. Caranya dengan mendoakan orang yang berbuat zalim, mungkar, atau sesat itu supaya diberi kesadaran untuk dapat menginsafi perbuatannya. Akhirnya, orang tersebut dapat meninggalkan kemungkaran. Hanya, cara yang terakhir ini merupakan cerminan orang-orang mukmin yang lemah imannya.
·         Hubungan manusia yang positif dan efektif yang diridhai Allah SWT adalah yang berkenaan dengan kebajikan dan ketaqwaan kepada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Lilis Fauzitah R.A, Andi Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis,  (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri), 2009.

Software Kutubut Tis’ah.

Hadari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas), 1993.

Abdullah Salim, Akhlaq Islam.

Zakiah daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG), 1992.





[1] Lilis Fauzitah R.A, Andi Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis,  (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), h. 87-88.
[3] Lilis Fauzitah R.A, Andi Setyawan , Op.cit, h. 88.
[4] Hadari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 171-172.
[5] Lilis Fauzitah R.A, Andi Setyawan, Op.cit, h. 88-89.
[6] Abdullah Salim, Akhlaq Islam, h. 130.
[7] Zakiah daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG, 1992), h. 46-47.

No comments: