Hadits Amar Ma'ruf Nahi Munkar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dipandang
dari sudut syariah perkataan amar
ma’ruf nahi munkar itu
telah menjadi istilah yang merupakan ajaran (doktrin) pokok agama islam, malah
menjadi tujuan yang utama. Mengenai hal ini abul a’la al-maududi menjelaskan
bahwa tujuan yang utama dari syariat ialah untuk membangun kehidupan manusia
diatas dasar ma’rufat (kebaikan- kebaikan ) dan membersihkannya dari hal-hal
yang munkarat (kejahatan-kejahatan). Lebih jauh, beliau memberikan definisi
sbb: istilah amar
ma’ruf nahi munkar itu
menunjukan semua kebaikan-kebaikan dan sifat-sifat yang baik, yang sepanjang
massa diterima oleh hati nurani manusia sebagai sesuatu yang baik.
B. Rumusan
Masalah
1. Hadis
tentang amar ma’ruf nahi munkar.
2. Penjelasan
amar ma’ruf nahi munkar.
BDFGXFGXCGT
BAB II
PEMBAHASASAN
HADIS TENTANG AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
A. Lafal
Hadis dan Terjemah
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ رَاَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذٰلِك اَضْعَفُ
الْااِيْمَانِ
Terjemah Hadis
Dari Abu
Said Al-Khudri. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapapun di antara
kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan dan
kekuasaannya. Apabila tidak mampu dengan cara ini, hendaklah menggunakan
lisannya (menasehatinya). Apabila dengan cara ini tidak mampu, hendaklah dengan
hatinya. Dan demikian itu (mengubah dengan hati) adalah termasuk
selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim no. 70)[1]
Dalam shahih muslim
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ. حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ. ح وَحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ. حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ, عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَاب.
وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرِ. قَالَ: أَوَّلُ
مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ
إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَا
هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيمَانِ.[2]
Terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah
telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam riwayat lain
disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami
Syu'bah keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dan ini adalah
hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum
shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan
berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca
khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah
banyak ditinggalkan." Kemudian Abu Said berkata, "Sungguh, orang ini
telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu
melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya.
jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga,
hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."
B.
Penjelasan Hadis
Hadis di
atas menegaskan bahwa apabila melihat kemungkaran kapan dan dimana saja berada,
kita diperintahkan untuk mencegah dan mengubahnya sesuai dengan kemampuan dan
kondisi masing-masing. Bagi yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan, hendaknya
mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan atau kekuatan. Bagi yang tidak
mempunyai kekuasaan atau kekuatan, Namun, apabila tidak kuasa menjalankan kedua
hal tersebut, dapat kita tempuh dengan hati. Caranya dengan mendoakan orang
yang berbuat zalim, mungkar, atau sesat itu supaya diberi kesadaran untuk dapat
menginsafi perbuatannya. Akhirnya, orang tersebut dapat meninggalkan
kemungkaran. Hanya, cara yang terakhir ini merupakan cerminan orang-orang
mukmin yang lemah imannya.
Dari hadis
di atas, kita melihat betapa besar tugas yang dipikul di atas pundak umat
dakwah itu. Orang Islam wajib berusaha merebut kedudukan yang memungkinkan
dengan tangan, dia dapat menegakkan yang ma’ruf dan memerangi yang mungkar.
Artinya dengan kekuasaan. Kalau itu tidak tercapai, hendaklah lidahnya kuat
berkata, yaitu dengan kewibawaan.Dengan demikian, walaupun tidak atau belum
dapat memiliki keleluasaan, lidah dan ucapannya didengar orang. Kalau keduanya
belum tercapai, kita lebih baik diam. Kita menolak kemungkaran ini dengan hati.
Oleh karena itu, berdiam diri bukan bararti berhenti sebab berhenti artinya
mati.[3]
Banyak
petunjuk dan tuntunan Alaah SWT dalam mewujudkan hubungan manusiawi yang
positif dan efektif melalui firman-Nya di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat
2, potongan ayat tersebut:
…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…
Dari
firman Allah SWT itu jelas bahwa hubungan manusia yang positif dan efektif yang
diridhai Allah SWT adalah yang berkenaan dengan kebajikan dan ketaqwaan
kepada-Nya.[4]
Nabi Muhammmad saw. juga
mengingatkan kepada orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam
sebuah hadis sebagai berikut.
عَنْ اَبِيْ
بَكْرٍ الصِّدٍّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ خَطَبَ فَقَالَ يَااَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّكُمْ تَقْرَءُوْنَ هٰذِهِ اْلأٰيَةَ وَتَضَعُوْنَهَا عَلَى
غَيْرِمَا وَضَعَهَا اللهُ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا عَلَيْكُمْ
اَنْفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَاهْتَدَيْتُمْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّ النَّاسَ اِذَا
رَاَوُالْمُنْكَرَ بَيْنَهُمْ فَلَمْ يُنْكِرُوْهُ يُوْشِكُ اَنْ يَعُمَّهُمُ
اللهُ بِعِقَابِهِ. رواه احمد
Artinya:
Dari Abu
Bakar As-Siddiq r.a., bahwasanya ia berkhotbah dengan berkata, “Wahai manusia! Sungguh kamu sekalian telah
membaca ayat ini: Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu, (karena)
orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat
petunjuk. Sungguh, saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya
manusia apabia telah melihat kemungkaran di antara mereka, lalu mereka tidak
mencegahnya, hampir-hampir Allah meratakan kepada mereka dengan suatu siksa
dari sisi-Nya.
Menurut hadis tersebut, Abu Bakar
memberikan isyarat tentang firman Allah swt. yang mewajibkan orang Islam
sebagai satu kesatuan untuk memelihara diri dan menjaga masyarakat dari hal-hal
yang menyesatkan. Mereka hendaknya selalu bersama-sama mengikuti dan mendukung
petunjuk agama. Selama orang Islam berada dalam petunjuk Allah, kesesatan orang
lain tidak akan menimpa mereka.[5]
Allah tidak akan menurunkan musibah
kepada beberapa gelintir manusia yang berbuat zhalim saja, karena seorang yang
melobangi kapal bukan dia sendiri yang
tenggelam, tetapi semua yang ada di kapal itu juga ikut karam, tenggelam.
Inilah pernyataan Allah dalam
Al-Qur’an:
Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. (Al-Anfal: 25)
Disinilah
fungsi dari perintah Allah SWT agar setiap muslim terhadap muslim yang lain
harus saling nasehat menasehati. Allah SWT berfirman:
…dan
saling menasehatilah tentang kebenaran dan saling menasehatilah tentang
kesabaran.(Al-‘Ashr: 3).[6]
Firman
Allah:
.....“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa
yang diperbuatnya.” (QS. Ath-Thur:21)
Sekalipun Islam
menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia, tetapi juga
menekankan kepada tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai
masyarakat solidaritas, berpadu dan bekerja sama membina dan mempertahankan
pendidikan. Semua anggota masyarakat bertanggung jawab membina, memakmurkan,
memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, saling
mengingatkan untuk menghindari yang munkar.
Firman
Allah:
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”
(QS. Ali ‘Imran: 110).
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar...” (QS.
At-Taubah:71)
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعَيَّتِه (رواهه البخارى)
“Semua kamu adalah pemimpin, dan setiap
kamu bertanggung jawab atas yang dipimpin.”
Dengan
demikian jelaslah bahwa tanggung jawab masyarakat bersifat perseorangan/
pribadi dan bertanggung jawab pula dalam sosial masyarakat.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Hadis di atas menegaskan
bahwa apabila melihat kemungkaran kapan dan dimana saja berada, kita
diperintahkan untuk mencegah dan mengubahnya sesuai dengan kemampuan dan
kondisi masing-masing. Bagi yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan, hendaknya
mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan atau kekuatan. Bagi yang tidak
mempunyai kekuasaan atau kekuatan, Namun, apabila tidak kuasa menjalankan kedua
hal tersebut, dapat kita tempuh dengan hati. Caranya dengan mendoakan orang
yang berbuat zalim, mungkar, atau sesat itu supaya diberi kesadaran untuk dapat
menginsafi perbuatannya. Akhirnya, orang tersebut dapat meninggalkan
kemungkaran. Hanya, cara yang terakhir ini merupakan cerminan orang-orang
mukmin yang lemah imannya.
·
Hubungan
manusia yang positif dan efektif yang diridhai Allah SWT adalah yang berkenaan
dengan kebajikan dan ketaqwaan kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Lilis Fauzitah R.A, Andi Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an
dan Hadis, (Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri), 2009.
Software Kutubut Tis’ah.
Hadari Nawawi, Hakikat
Manusia Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas), 1993.
Abdullah Salim, Akhlaq Islam.
Zakiah
daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam DEPAG), 1992.
[1] Lilis Fauzitah R.A, Andi
Setyawan, Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis,
(Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), h. 87-88.
[3] Lilis Fauzitah R.A, Andi
Setyawan , Op.cit, h. 88.
[4] Hadari Nawawi, Hakikat
Manusia Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 171-172.
[5] Lilis Fauzitah R.A, Andi
Setyawan, Op.cit, h. 88-89.
[6] Abdullah Salim, Akhlaq
Islam, h. 130.
[7] Zakiah daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam DEPAG, 1992), h. 46-47.
No comments:
Post a Comment