Makalah
BAB II
PEMBAHASAN
ILMU THABAQAH
AR-RUWAH
A.
Pengertian Ilmu
Thabaqatur Ruwah
Ilmu thabaqah itu, termasuk
bagian dari ilmu rijalul hadis, karena obyek yang dijadikan pembahasannya
ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadis. Hanya saja masalahnya berbeda.
Kalau di dalam ilmu rijalul hadis para
rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima
dan memberikan Al-Hadis dan lain sebagainya, maka dalam ilmu thabaqah,
penggolongan para perawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan, sesuai
dengan alat pengikatnya. Misalnya rawi-rawi yang sebaya umurnya, digolongkan dalam
satu thabaqah dan para rawi seperguruan, mengikatkan diridalam satu thabaqah.[1]
Thabaqah secara bahasa berarti hal-hal,
martabat-martabat, atau derajat-derajat. Seperti halnya tarikh, thabaqathjuga
adalah bagian dari disiplin ilmu hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi
hadits. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqah adalah keadaan yang berupa persamaan para
perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud, antara lain :
1. Bersamaan
hidup dalam satu masa.
2. Bersamaan
tentang umur.
3. Bersamaan
tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya.
4. Bersamaan
tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya.[2]
Para ulama
membuat ta’rif ilmu thabaqah, ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ
فِيْهِ عَنْ كُلِّ جَمَاعَةٍ تَشْتَرِكُ فِيْ أَمْرٍ وَاحِدٍ.
“Suatu ilmu pengetahuan
yang dalam pokok pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang yang
berserikat dalam satu alat pengikat yang sama.”
Misalnya
ditinjau dari alat pengikatnya, yaitu penjumpaannya dengan Nabi (shuhbah), para
sahabat termasuk dalam thabaqat pertama, para tabi’in termasuk dalam thabaqat
ketiga dan seterusnya. Dasar penggolongan yang demikian ini, ialah sabda
Rasulullah Saw:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِى ثُمِّ الَّذِيْنَ
يَلُونَهُمْ. رواه البخارىومسلم
“Sebaik-baik generasi
ialah generasiku, kemudian generasi orang-orang yang mengikutinya dan lalu
generasi orang-orang yang mengikutinya dan lalu generasi orang-orang yang
mengikutinya lagi.”[3]
Dalam pengertian lain, menurut
bahasa Thabaqat diartikan kaum yang serupa atau sebaya. Menurut
istilah thabaqat adalah:
قَوْمٌ
تَقَارَبُوْا فِى السُّنِّ وَالْاِسْنَادِ أَوْ فِي الْاِسْنَادِ.
Kaum
yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja.
Thabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi
atau satu masa dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam
periwayatan saja. Maksud berdekatan dalam isnad adalah satu perhuruan atau satu
guru atau diartikan berdekatan dalam berguru. Jadi para gurunya sebagian
periwayat juga para gurunya sebagian perawi lain. Misalnya thabaqat sahabat,
thabaqat tabi’in, thabaqat tabi’it tabi’in, dan seterusnya. Kemudian thabaqat
masing-masing ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa thabaqat lagi yang nanti
akan dijelaskan pada pembahasannya.
B. Tingkatan
Generasi Perawi Hadits
Menurut Ibnu Hajar Al-Asaqalani
thabaqat para perawi hadis sejak masa sampai pada akhir periwayatan ada 12
thabaqat yaitu sebagai berikut:
1. Sahabat
dengan berbagai tingkatannya.
2. Tabi’in
senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab.
3. Tabi’in
pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu
Sirin.
4. Tabi’in
dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah.
5. Tabi’in
yunior tetapi tidak mendengar dari seorang sahabat seperti Al-‘Amasy.
6. Hadir
bersama tabi’in yunior tetapi tidak bertemu
dengan seorang sahabat seperti
Ibnu Juraij.
7. Tabi’ Tabi’in senior seperti Malik bin Anas
dan Sufyan Ats-Tsauri.
8. Tabi’
Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah.
9. Tabi’
Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i.
10. Murid
Tabi’ Tabi’in senior yang tidak bertemu dengan Tabi’in seperti Ahmad bin
Hambal.
11. Murid
Tabi’ Tabi’in pertengahan dari mereka seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhari.
12. Murid
Tabi’ Tabi’in yunior dari mereka seperti At-Tirmidzi.(4)
C.
Faedah Mempelajari Ilmu Thabaqah Ar-Ruwah
Faedah mengetahui thabaqah sahabat dan tabi’in adalah untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadits. Sebab
suatu hadits tidak dapat ditentukan sebagai hadits muttashil atau mursal, kalau
tidak diketahui apakah tabi’iy yang meriwayatkan hadits dari shahaby itu hidup
segenerasi atau tidak. Kalau seorang tabi’iy itu tidak pernah segenerasi dengan
shahaby, sudah barang tentu hadits yang diriwayatkannya tidak muttashil, atau
apa yang didakwakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi itu adalah mursal.[5]
Untuk menghindarkan kesamaran antar dua
nama atau beberapa nama yang sama atau hampir sama.[6]
D.
Thabaqah Sahabat,
Tabi’in, Tabi’ Tabi’in
1.
Thabaah Sahabat
Menurut bahasa, sahabat adalah bentuk masdar dalam arti teman atau
persahabatan . dari kata itulah di ambil istilah sa-shahaby dan as-shahib,
bentuk jamaknya adalah ashab dan sahab. Yang sering digunakan adalah kata
as-shahabah dengan makna teman-teman.
Menurut istilah, sahabat adalah orang yang bertemu dengan nabi saw. Sebagai
seorang muslim dan telah meninggal dalam keadaan memeluk islam. Jika diantara
pertemuaanya dengan nabi saw. Dan wafatnya itu, dia pernah keluar dari agama
islam maka bertolak lah sahabat bagi orang tersebut.
Menurut ahlusunnah waljama’ah, semua
sahabat adalah ‘adil, karena Allah Swt telah memuji mereka dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah juga memuji terhadap akhlak dan perbuatan mereka, dan pengorbanan
mereka kepada Rasulullah baik harta dan jiwa mereka, hanya karena ingin
mendapatkan balasan dan pahala dari Allah SWT.[7]
Untuk jumlah sahabat tidak ada keterangan
yang pasti, ada yang mengatakan antara 100.000 orang, ada yang mengatakan
114.000 orang.[8]
Para penulis buku tentang shahabat
berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat shahabat. Ibn Sa’d menjadikan
mereka kedalam lima tingkat. Al Hakim menjadikan mereka kedalam dua belas
tingkat. Sebagian ulama menjadikan mereka lebih dari itu. Perbedaan ini
dikarnakan diantara mereka ada yang melihat dari segi masuk islam lebih dahulu
atau dari segi hijrahnya, atau dilihat dalam keikutsertaan dalam berbagai
peperangan penting. Namun yang populer adalah yang dikemukakan oleh al-Hakim
yaitu :
Thabaqat pertama,
ialah: sahabat yang masuk Islam pada permulaan Islam, seperti Khalifah empat
dan Bilal bin Abi Rabah.
Thabaqat kedua,
sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun
Nadwah, untuk mencelakakan Nabi. Pada masa itu, telah ada segolongan sahabat
yang mengangkat bai’ah, yaitu: setelah Umar ibn Khatab memeluk agama Islam.
Beliau membawa Rasul kepada menerima bai’ah dari Sa’ied ibn Zaid dan Sa’ad ibn
Abi Waqqash.
Thabaqat ketiga, Para
sahabat yang berhijrah ke Habsyah, seperti Hathib ibn Umar, Suhail ibn Baidla,
Abu Hudzaifah ibn Utbah.
Thabaqat keempat,
sahabat-sahabat yang mengadakan bai’at pada Aqabah pertama, seperti : Rafi’ ibn
Malik, Ubadah ibn Shamit, dan Sa’ad ibn Zurarah.
Thabaqat kelima,
sahabat-sahabat yang mengadakan bai’at pada Aqabah yang kedua, seperti: Barra
ibn Ma’mar, Jabir ibn Abdullah, Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Khaitsamah.
Thabaqat keenam,
sahabat-sahabat yang berhijrah yang digelar dengan muhajirin, sebelum Nabi
memasuki kota Madinah, yaitu sahabat-sahabat yang menyusuli Nabi di waktu Nabi
masih di Quba’, seperti: Ibnu Salamah, Ibnu Abdul Asad, dan Amer ibn Rabi’ah.
Thabaqat ketujuh,
sahabat-sahabat yang bertempur dalam perang Badr, yaitu sejumlah lebih dari 110
orang, seperti Hathib ibn Balta’ah dan Sa’ad ibn Mu’adz dan Al-Aswad.
Thabaqat kedelapan,
sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah setelah perang Badr, dan sebelum
Hudaibiyah, seperti: Al-Mughirah ibn Syu’bah.
Thabaqat kesembilan ,
sahabat-sahabat yang turun mengadakan Bai’atur Ridlwan, seperti: Salamah ibn
Al-Akwa’, Sinan ibn Abi Sinan dan Abdullah ibn Umar.
Thabaqat kesepuluh,
sahabat-sahabat yang berhijrah, setelah perdamaian Hudaibiyah sebelum
pengalahan Mekkah, seperti: Khalid ibn Walid dan Amer bin Ash.
Thabaqat kesebelas,
sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa pengalahan Makkah, seperti: Abu
Sufyan, Hakim ibn Hazan dan Athab ibn ‘Asid.
Thabaqat ke dua belas,
anak-anak yamh dapat melihat Nabi setelah pengalahan Mekkah dan Hajji wada’,
sepetri: Sa’id ibn Yazid dan Abdullah ibn Tsa’labah. Inilah dua belas Thabaqat.
Berikut pembagian
thabaqat ke dalam 5 thabaqat, yaitu:
a.
Badri, sahabat
yang turut dalam peperangan Badr.
b.
Sahabat yang
lebih dahulu masuk Islam, kebanyakannya ikut hijrah ke Habsyah dan menyaksikan
peperangan Uhud dan sesudahnya.
c.
Sahabat yang
dapat menyaksikan peperangan Khandaq.
d.
Sahabat yang
memeluk Islam pada penaklukan Mekkah dan sesudahnya.
e. Anak-anak dan budak-budak.[9]
2.
Tabi’in
Tabi'in adalah jamak dari kata tabi'i
atau tabi' yang berarti mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah
Tabi'in adalah sebagai berikut :
Adalah
orang muslim yang bertemu dengan seorang shahabat dan mati dalam beragama islam.
Jumlah tabi'in tidak terhitung karena setiap orang muslim
yang bertemu dengan seorang shahabat disebut tabi'in padahal shahabat yang
ditinggalkan oleh rasulullah lebih dari seratus ribu orang. Para ulama juga
berbeda dalam membagi thabaqat tabi'in tergantung dari segi tinjauan yang
mereka pakai. Imam muslim misalnya membaginya kedalam tiga thabaqat, Ibn Sa'd
membaginya 4 thabaqat, dan al-Hakim lebih banyak lagi yakni membaginya kedalam
15 thabaqat yang pertama adalah
orang yang bertemu dengan 10 orang yang digembirakan dengan surga. Para ulama sepakat bahwa akhir masa
tabi’in pada tahun 150 H dan akhir masa tabi’ tabi’in adalah 220 H. Tabi’in
terakhir yang bertemu Abu Ath-Thufail Amir bin Watsilah di Mekah adalah Khalaf
bin Khalifah (w. 181 H).[10]
Satu-satunya tabi'in yang berjumpa dengan 10 shahabat ahli
surga itu ialah Qais bin Abi Hazim. Ibnu's-Shalah berkata bahwa Qais mendengar
hadits dari 10 shahabat ahli surga tersebut dan meriwayatkannya. Tidak ada
seorangpun tabi'ain yang meriwayatkan hadits dari 10 shahabat ahli surga,
selain ia sendiri.
Menurut Hakim Abu Abdillah An-Naisabuy, selain Qais masih
banyak tabi'in yang meiwayatkan dari shahabt sepuluh, seperti Utsman An-Nahdy,
Qais bin Ubbad, Husain bin Al-Mundzir, Abi Wa'il dan Ibnu'l-Musayyab. Untuk
yang terakhir ini banyak mendapat tantangan, disebabkan Ibnu'l-Musayyab itu
baru dilahirkan pada waktu Khalifah Umar bin Khaththab menjabat Khalifah,.
Dengan demikian sudah barang tentu ia tidak pernah bertemu dengan 10 shahabat
yang telah wafat sebelum penobatan Umar bin Khaththab.
Thabaqat terakhir, ialah mereka yang bertemu
dengan Anas bin Malik, untuk yang berdiam di Bashrah, bertemu dengan Saib bin
Yazid bagi mereka yang bertempat tinggal di Madinah, berjumpa dengan Abu Umamah
bin 'Ajlan al-Bahily bagi mereka yang berdiam di Syam, bertemu dengan Abdullah
bin Abi Aufa bagi mereka yang berdiam di Hijaz, dan berjumpa dengan Abu Thufail
bagi mereka yang berdiam di Makkah.[11]
Dari segi masa hidupnya tabiin dapat dibagi
menjadi tiga kategori (tingkatan), yaitu :
a. Kibar at-tabi’ỉn (tabiin
besar), yaitu tabiin yang hidup s ebelum akhir
abad pertama, seperti Ibrahim bin Yazid an -
Nakha’i (w. 95 H) dan Sa’id bin Musayyab
(15-94 H).
b. Ausat at tabi’in (tabi’in pertengahan),
yaitu tabiin yang hidup antara awal dan pertengahan abad
kedua, seperti Nafi Maula bin Amr (w.117H).
c. Sigar at tabiin (tabiin
kecil) yaitu tabiin yang hidup sampai akhir abad kedua seperti
Imam Asy Syafi’i.[12]
Di antara tabi’in yang paling utama menurut penduduk Madinah
adalah Sa’id bin Al-Musayyah, menurut penduduk Kufah adalah Uways Al-Qarni, dan
menurut penduduk Bashrah adalah Al-Hasan Al-Bashri.
Di antara mereka ada yang digolongkan mukhadramin (bentuk
jamak) atau mukhadram adalah orang yang mendapati masa Jahiliyah dan masa Nabi,
beriman kepada Nabi tetapi tidak melihatnya. Seperti Abu Raja’ Al-Utharidi,
Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman An-Nahdi, dan Al-Aswad bin Yazid An-Nukha’i.
Imam Muslim menghitung 20 orang, tetapi menurut pendapat yang shahih lebih dari
20 orang.[13]
3. Tabi’
Tabi’in
Atba’ut
– Tabi’in (pengikut Tabi’in), yaitu orang yang bertemu dengan Tabi’in, beriman
kepada Nabi Saw dan meninggal dunia
dalam keadaan memeluk Islam, para ulama beranggapan bahwa Imam Malik Bin Anas
dan Iman Syafi’i termasuk kedalam thabaqat ini. Sedangkan Imam Ahmad Bin Hanbal
di anggap termasuk thabaqat sesudah Atba’ut – Tabi’in. sebab pada tahun 241 H.
sedangkan periode Atba’ut – Tabi’in terakhir pada 220 H.[14]
E. Kitab-Kitab
Thabaqah
1. At-Thabaqatu’l-Kubra karya
Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ Al-Hafidh Katib Al-Waqidy (168-230 H).
2. Thabaqatu’r-Ruwah karya
Al-Hafizh Abu ‘Amr Khalifah bin Khayyath Asy-Syaibani (240 H).
3. Thabaqatu’t-Tabi’in karya
Imam Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairy (204-261 H).
4. Thabaqatu’l-Muhadditsin war Ruwah karya
Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ashbihany (336-430 H).
5. Thabaqatu’l-Hufazh karya
Al-Hafizh Syamsuddin Adz-Dzahaby (673-748 H).
6. Thabaqatu’l-Hufazh karya
Jalaluddin As-Suyuthy (849-911 H).[15]
[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al Ma’arif, 1974), h. 301.
[2] A. Qadir Hasan, Ilmu
Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1987), h. 391.
[3] Op.cit, Fatchur Rahman, h.
301.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 109-110.
[5] Op.cit, Fatchur Rahman, h.
304-305.
[6] Op.cit Abdul Majid Khon,
h. 110.
[7] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 79.
[8] Op.cit, Abdul Majid Khon,
h. 111-112.
[9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, tt), h 271-273.
[10]
Op.cit, Abdul Majid Khon, h. 113
[11] http://ahmadfauzanelwahidi.blogspot.com/2011/05/thobaqot.html, diakses 29 April 2013,
pukul 07.48. (terdapat foot note).
[12] http://kkgpaigarutkota.blogspot.com/2011/09/makalah-ulumul-hadis.html,
diakses 29 April 2013, pukul 08.08. (terdapat foot note).
[13] Op.cit, Abdul Majid Khon,
h. 113-114.
[14] http://ricojunandaputra.blogspot.com/2011/03/thabaqat-pararawi.html, diakses 29 April 2013, pukul
07.56.
[15] Op.cit, Fatchur Rahman,
h. 305-306.
No comments:
Post a Comment