Makalah Aliran Kalam Khawarij dan Murji'ah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keputusan Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim
membuat para pengikutnya keluar dari barisannya. Kemudian kelompok yang keluar
dari barisan Ali membentuk suatu jamaah yang disebut dengan khawarij. Mereka memperdebatkan
mengenai sikap Ali dan Muawiyah.
Selain
khawarij, terdapat juga golongan murji’ah. Bagi mereka soal kafir atau tidaknya
orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya
sekarang, mereka mempunyai pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian
persoalan tersebut dan menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah munculnya aliran khawarij, pemikiran dan
aliran-alirannya?
2.
Bagaimana sejarah munculnya aliran murji’ah, pmikiran dan
aliran-alirannya?
BAB II
PEMBAHASAN
KHAWARIJ
DAN MURJIAH
A.
Khawarij
1.
Sejarah munculnya aliran khawarij
Calon khalifah terkuat untuk menggantikan Usman adalah Ali bin Abi
Thalib. Pada tanggal 24 Juni 656 M secara resmi Ali diangkat sebagai khalifah,
di mesjid Madinah. Namun, pengangkatannya tidak disetujui oleh banyak pihak. Ia
juga dipersalahkan karena tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan Usman bin
Affan. Akibatnya, situasi dan kondisi politik dalam negeri menjadi tidak
menentu. Keresahan terjadi dimana-mana.
Selama pemerintahan Ali banyak tantangan yang menentang
kepemimpinan Ali, antara lain :
a.
Pihak pertama dari sahabatnya sendiri yaitu Thalhah dan
Zubair yang didukung oleh Aisyah, isteri Nabi Muhammad SAW. Akibat dari
tantangan ini timbulah peperangan, yang dikenal dengan perang Jamal(Unta). Pada
peperangan ini dimenangkan oleh pihak Ali.
b.
Pihak kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur
Damaskus (syria) yang tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menuntut bela
atas kematian Usman. Akibat dari tantangan dari Muawiyah ini memicu timbulnya
perang Shiffin, perang antara pasukan Ali dan Muawiyah. Dengan kepandaian Amr
bin al-Ash, pendukung Muawiyah, perang yang hampir dimenangkan pasukan Ali
tersebut diakhiri dengan tahkim (arbitrase). Sebagian tentara Ali tidak
menerima tahkim itu. Golongan ini, yang semula mendukung Ali, menjadi berbalik
membenci dan memusuhi Ali. Mereka ini kemudian diberi nama Khawarij yang
berarti “Kaum yang keluar dan memisahkan diri dari Ali”.[1]
Secara etimologis kata khawarij berasal dari
bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap
orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi ini
pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan
umat islam.[2] Kaum
khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang bararti “ golongan
yang mengorbankan dirinya untuk Allah”.[3]
Nama lain bagi khawarij adalah Hururiyah, yaitu
nama kota di dekat kufah. Di tempat ini mereka menumpahkan rasa penyesalan
kepada Ali bin Abi Thalib yang mau berdamai dengan Muawiyah. Kota ini dijadikan tempat bertemunya orang-orang yang
keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Pemilihan imam dimusyawarahkan dan yang
terpilih adalah Abdullah bin Wahab Al-Rasidi.[4]
Setelah Abdullah bin Whab Ar-Rasidi meninggal dunia, Khawarij pecah menjadi bermacam-macam
aliran, antara lain :
a.
Muhakkimah
Anggota golongan Muhakkimah terdiri dari pengikut Ali.
Mereka adalah khawari asli. Prinsip
pendapat dari golongan ini adalah soal tahkim. Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu
Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui tahkim dianggap dosa dan
menjadi kafir.
Pendapat lainnya bahwa dosa besar yang diperbuat oleh seseorang dapat
digolongkan kafir. Dalam arti yang luas, bagi yang berbuat zina, karena
merupakan dosa besar, maka penzina adalah kafir, bahkan keluar dari agama
Islam.. Contoh lain bagi pelaku pembunuhan dinyatakan telah keluar dari agama
Islam dan menjadi kafir.[5]
b.
Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh Nafi ibnu al-Azraq yang berasal
dari Bani Hanifah. Mereka
merupakan pendukung tekuat khawarij yang paling banyak anggotanya dan
terkemuka.[6]
Prinsip
aliran azariqah:
1. Mereka memandang orrang yang berbeda pendapat dengan
mereka dianggap musyrik, kekal di neraka serta halal untuk dibunuh..
2.
Wilayah tempat orang yang berbeda dengan aliran azarqah adalah wilayah
perang.
3.
Mereka juga berpendapat bahwa anak-anak dari orarng yang berbeda paham
dengan azariqah adalah kekal di neraka.
4.
Dalam bidang fiqih mereka tidak mengakui adanya hukum rajam. Alasannya
dalam Alquran tidak ditemukan hukuman bagi pelaku zina kecuali hukum jidl
(cambuk seratus kali), tidak pula dikenal dalam sunnah Nabi.
5.
Hukuman dera bagi penuduh zina hanya ditujukan pada penuduhh zina wanita
muhshan. Orang yang menuduh laki-laki muhshan tidak dikenakan hukuman itu.
6.
Mereka juga berpendapat bahwa para Nabi bisa saja mlakukan dosa besar
dan kecil.[7]
c.
Najdat
Pemimpin aliran ini adalah Najdah ibnu Uwaimir yang berasal dari Bani
Hudzaifah. Aliran ini tidak sependapat
dengan aliran azariqah tentang kafirnya orang khawarij yang tidak mau turut
berperang dan bolehnya membunuh anak-anak-anak.[8]
Najdah pernah berkirim surat kepada Nafi’ yang isinya menegur dan
mengkritik ajaran-ajaran baru Nafi’. Pendapat-pendapat
Najdah berbanding terbalik dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh
Nafi’.
Yang
paling berbeda dari golongan ini yaitu mereka berpendapat bahwa dusta lebih
jahat dari berzina dan mengerjakan dosa kecil merupakan syirik serta
mengerjakan dosa besar tidak terus menerus tidaklah menjadi syirik.
Dinukilkan
oleh Asy Sharastani dari Al Ka’bi bahwasanya golongan Najdah berpendapat bahwa
masyarakat tidak memerlukan kepadanya kepala Negara. Masing-masing anggota
masyarakat harus bersikap jujur dan insyaf kepada sesamanya, menghindari
kesalahan dan kemaksiatan. Akan tetapi kalau dirasa perlu untuk mewujudkan
kerukunan dalam masyarakat maka boleh mengangkat kepala Negara untuk itu.[9]
Aliran
Najdah menetapkan satu prinsip yang belum pernah ada di kalangan-kalangan
aliran-aliran Khawarij, yaitu prinsip taqiyyah. Dengan prinsip ini seorang
khawarij boleh mengaku bahwa ia termasuk Islam mayorritas untuk melindungi
nyawanya.[10]
Golongan
ini banyak berkembang didaerah Yaman, Thaif, Amman, Bahrain, Wadi tammim dan
‘Amir.(ibid 180). Meskipun tumbuh dengan pesat Najdah ternyata masih berulah,
hingga ia di pecat dan dibunuh oleh pengikut-pengikutnya. Yang menjadi sebab
ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa agama itu dua bagian:
1. Beriman kepada Allah dan Rasulnya dan
beriman kepada apa yang didatangkan Rasul secara garis besar serta haram
ditumpahkan darah-darah pengikutnya.
2.
Pada
bagian ini tidak perlu semua orang mengetahuinya hingga ada keterangan yang
mengharuskan dia mengetahuinya. Orang yang salah berijtihad dimaafkan. Maka
orang yang menghalalkan yang haram karena suatu ijtihad, maka dimaafkan pula.[11]
Sebelum meninggal ia menunjuk Abu Fudaik sebagai
penggantinya, akan tetapi tidak lama golongan ini terpecah menjadi tiga bagian,
yaitu:
1.
Golongan yang memberontak Najdah dan tetap bersama Abu
Fudaik, yang hancur oleh Abdul Malik Ibn Marwan tahun 73 H di Bahrain.
2.
Golongan yang dipimpin Athiyah Ibn Al Aswad yang pergi ke
sijistan. Diantanya terdapat Abdul Karim Ibn Ajrad, dan kepadanyalah golongan
ini dinisbahkan sehingga menjadi Aj-radiah.
3.
Golongan yang terakhir ini ialah kelompok Najdah yang tersisa, tetapi tidak berani
menisbahkan kelompoknya kepada Najdah. Kelompok ini tetap bertahan walauppun
tanpa pemimpin. Gerakan kelompok ini sudah terhenti.[12]
d.
Ajjaridah
Pendiri ajaran Ajjaridah ialah Abd Al-Karim ibn Ajrad.
Sifat ajarannya lebih lunak dibandingkan dengan apa yang diajarkan Nafi ibn
Al-Azraq dan Najdah. Bagi golongannya, berhijrah bukan kewajiban tetapi
kebajikan.
Kaum Ajjaridah juga terpecah menjadi beberapa golongan
antara lain :
1.
Golongan Maimuniyah, berpendapat bahwa baik dan buruknya
perbuatan manusia timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri.
2.
Golongan Al-Syu’aibiyah dan Al-Hazimiyah, golongan
ini berpendapat bahwa tuhan adalah sebab dari semua perbuatan/perilaku manusia.
Dengan demikian, manusia dalam hal perbuatan tidak bisa menolak kehendak Allah.[13]
e.
Sufriyyah
Penganut aliran ini adalah pengikut Ziyad ibn Al-Ashfar. Pandangan mereka lebih lunak dari pada pandanngan
azariqah, tetapi lebih ekstrim dibanding aliran khawarij lainnya.[14]
Golongan
ini banyak menyalahi golongan-golongan yang telah terdahulu dalam beberapa hal,
yaitu:
1.
Orang yang berdosa besar tidak dikenai had, misalnya
tidak sholat, dipandang kafir, dan pendosanya juga tidak disebut kafir. Mereka
menyetujui dan menyalahi golongan azariqiah tentang had.
2.
Orang
yang tidak ikut perang juga tidak dikatakan kafir asalkan sama dalam hal
aqidah. Melarang pembunuhan terhadap anak kecil dan merajam penzina muhshan.
Al-Shafariyyah
berpendapat bahwa apabila dalam perbuatan dosa itu terdapat hukuman yang
jelas ukurannya, maka perbuatan itu tidak akan menyebabkan pelakunya, misalnya
penzina, pencuri, dan penuduh palsu, menjadi kafir dan musyrik. Sedangkan dalam
hal perbuatan dosa besar yang tidak disebutkan batas hukumannya lantaran besarnya
dosa yang terdapat di dalamnya, maka perbuatan seperti itu dapat menyebabkan
pelakunya menjadi kafir, misalnya meninggalkan salat.[15]
f.
Ibadhiyyah
Pada saat Abdullah Ibn Ibadi membaca surat dari Nafi Ibn
Al azraq, ia berkata: Mudah-mudahan Allah membinasakan Nafi’. Jika orang-orang lain itu benar-benar musyrik,
tentulah perkataan Nafi’ kita anggap paling benar. Akan tetapi ia berdusta
dalam perkataannya. Orang-orang lain mengesakan Allah karena boleh nikah
menikahi, waris mewarisi, memakan sembelijan mereka. Hanya nikmat Allah dan
hukum-hukum Allah. Karena darah mereka sajalah yang halal bagi kita. Harta-harta
mereka haram kita ganggu dan kita binasakan’’.
Kemudian Saffar berkata: Allah terlepas dari padamu,
engkau terlalu jauh ketinggalan dari pada apa yang engkau harus lakukan dan
terlepas pula Allah daripada Ibnul Az Raq karena dia terlalu berlebihan.[16]
Karena itulah mereka berdua berpisah lalu masing-masing membentuk madzhab
sendiri-sendiri.
Beberapa
ajaran-ajaran Ibladiyah yaitu, mereka menganggap orang yang mengerjakan dosa
besar tetap mengesakan Allah tetapi tidak dapat disebut mukmin karena iman
mereka tidak sempurna dan tidak pula musyrik, karena dihati pendosa itu ada
dasar tauhid.
Golongan
ini adalah golongan paling moderat dan dekat kepada umat Islam lainnya, jadi
hingga sekarang mereka hidup tentram karena tidak memusuhi penguasa. Mereka
tersebar di Hadralmaut, ‘Amman, Zanzibar dan selatan Al Jazair.
2.
Tokoh-tokoh khawarij
Di antara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
1.
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu
mereka berkumpul di Harura (pimpinan khawarij pertama).
2.
Urwah bin Hadair
3.
Mustarid bin Sa’ad
4.
Hausarah al-Asadi
5.
Quraib bin Maruah
6.
Nafi’ bin al-Azraq (pimpinan aliran al-Azariqah), nama
panggilan Abu Rasyid.
7.
Abdullah bin Basyir
8.
Zubair bin Ali
9.
Qathari bin Fujaah
10. Najdah bin ‘Amir
al-Hanafi (pimpinan aliran al-Najadat)
11. Abd al-Rabih
12. Abd al-Karim bin
Ajrad (pimpinan aliran al-‘Ajaridah)
13. Ziyad ibn al-Ashfar
(pimpinan aliran al-Shafariyyah)
14. Abdullah bin Ibad
al-Tamimi (pimpinan aliran al-Ibadhiyyah).[17]
B.
MURJI’AH
Murji’ah berasal dari kata “arja’a”
atau “arja” yang berarti menangguhkan atau memberi harapan, dalam arti bahasa murji’ah
artinya yang menangguhkan atau yang memberi pengharapan.[18]
Golongan murji’ah mula-mula timbul
di Damaskus, pada akhir abad pertama
hijriah. Dinamakan murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan
tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai
matinya.[19]
Adapun yang dimaksud kaum murji’ah disini
ialah orang-orang yang tidak mau ikut mengkafirkan sesama umat Islam seperti
dilakukan kaum khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim
adalah kafir, dan mengatakan orang yang berdosa besar adalah kafir. Bagi mereka
soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang
islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya
sekarang, mereka mempunyai pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian
persoalan tersebut dan menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.
Karena mereka menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka
kemudian disebut kaum Murji’ah. Ada juga yang mengatakan mereka kaum murji’ah karena
mereka member pengharapan. Mereka berpendapat bahwa orang islam yang berdosa
besar tidak menjadi kafir, melainkan masih tetap mukmin dan tidak akan kekal
didalam neraka. Dalam hal ini, karena menurut pendapat kekal bahwa orang islam
yang berdosa besar masih tetap mu’min dan tidak akan kekal didalam neraka,
berarti mereka memberi harapan akan masuk surga bagi orang islam yang berdosa
besar. Itulah sebabnya meraka disebut kaum murji’ah. Mereka yang disebut kaum
khawarij ini semula merupakan orang-orang yang bersikap netral dalam menyikapi
situasi politik pada waktu itu. Setelah peristiwa tahkim, umat islam terpecah
menjadi tiga golongan, yaitu: golongan syiah, khawarij, dan mu’awiyah dan
ketiga golongan ini saling bermusuhan. Golongan syi’ah menentang Mu’awiyah
karena dianggap yang bersangkutan merampas Ali. Sedangkan kaum khawarij
menentang Mu’awiyah karena menganggap yang bersangkutan telah menyeleweng dari
ajaran Islam. Pertikaian diantara mereka tidak hanya dalam politik saja akan
tetapi tuduhan kafir diantara mereka juga terjadi.
Kaum murji’ah tidak mengakui bahwa iman bercabang-cabang seperti
yang diyakini kaum ahlu sunnah, yaitu lebih dari tujuh puluh cabang. Mereka
beriktikad bahwa iman hanya bulat tidak terbagi-bagi. Dalam kitabnya yang
berjudul Maqalat al islamiyin.[20]
Pada umumnya, golongan Murji’ah dibagi dalam dua golongan, yaitu;
1. Golongan Ekstrim
Golongan ini dipimpin oleh
AL-Jahamiyah (pengikut Jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat bahwa orang Islam
yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan
tidaklah kafir. Dengan alasan
iman dan kafir bertempat dihati yang lebih lanjut.
Pengikut Abu Al-hasan Al-Salihi,
berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada
tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah
iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Al-baghdadi menerangkan pendapat
Al-Salihi, berpendapat bahwa sembahyang, jakat, puasa , dan haji hanya
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya
ibadah hanyalah iman.
Al-Yunusiyah berkesimpulan atas
pendapat kaum murji’ah yang disebut iman hanyalah mengetahui tuhan, bahwa
melakukan maksiat atau pekerjan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman
seseorang.
Atas pendapat diatas, Al-‘Ubaidiyah
berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam keadaan iman, dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan yang bersangkutan.
Adapun Muqatil ibn Sulaiman
mengatakan, perbuatan jahat banyak ataupun sedikit, tidak merusakan iman seseorang,
dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik.
Menurut Al-Khassaniyah, apabila
seseoarang mengatakan, “saya tahu banwa tuhan melarang makan babi, tetapi saya
tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu kambing ini”. Orang yang demikian
ini tetap mukmin dan bukan kafir. Apabila seseorang berkata, “saya tahu tuhan
mewajibkan naik ke Kabah, tetapi saya tidak tahu apakah kabah diindia atau
tempat lain”. Juga tetap mukmin.
Apabila diamati, bahwa pendapat ektrim
murji’ah timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidak penting,
tetapi yang paling penting adalah iman. Iman adalah penentu, apakah seseorang
mukmin atau tidak. Dan perbuatan tidak banya memiliki pengaruh dalam persoalan
iman. Manusia tidak mengetahui iman, sebab iman berada didalam hati. Tidak
semua perbuatan manusia menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, yang penting
adalah iman yang ada dihati. Jadi perbuatan dan ucapan tidak dapat merusak iman
seseorang.
2.
Golongan Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat
hukuman dalam neraka sesuai dengan sebesar apa dosa yang dilakukannya.
Kemungkinan tuhan akan memberi ampun terhadap
dosanya. Oleh karena itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan
masuk neraka selamanya.
Tokoh dari golongan ini antara lain:
Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan
beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Haniffah mendefinisikan iman adalah
pengetahuan dan pengakuan tentang tuhan, tentang rasul-rasulnya, dan tentang
segala apa yang datang dari tuhan dan keseluruhan dan tidak dalam perincian,
iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan
manusia dalam hal iman. Menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang islam
adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang yang berdosa besar dengan yang
patuh menjalankan perintah allah. Dengan demikian Abu Hanifah berpendapat bahwa
perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima, namu para ulama kalau Abu
Hanifah dimasukan dalam golongan kaum murji’ah. Karena tidak ada kesatuan
pendapat tentang Abu Hanifah kepada golongan Murji’ah.
Ajaran kaum Murji’ah moderat ini
dapat diterima oleh golongan ahli sunah wal jamaah dalam islam. Asy’ari
berpendapat iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang
kebenaran Rasul-rasul dan tentang apa yag mereka bawa.[21]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lahirnya kelompok khawarij akibat tahkim yang diterima Ali, kelompok Ali yang tidak setuju keluar dari barisan
Ali. Pemilihan imam khawarij dimusyawarahkan dan yang terpilih adalah Abdullah
bin Wahab Al-Rasidi. Setelah meninggalnya pimpinan khawarij, khawarij terpecah.
Aliran-aliran khawarij antara lain: muhakkimah, azariqah,
najdah, ajjaridah, surfiyyah, dan ibadhiyyah. Tokoh-tokoh
khawarij antara lain: Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, Urwah bin Hadair, Mustarid
bin Sa’ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-Azraq (pimpinan
al-Azariqah), Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd
al-Rabih, Abd al-Karim bin Ajrad, Zaid bin Asfar dan Abdullah bin Ibad.
Golongan murji’ah mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad
pertama hijriah. Dinamakan murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan
tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya. Adapun yang dimaksud kaum murji’ah disini ialah orang-orang yang tidak mau
ikut mengkafirkan sesama umat Islam seperti dilakukan kaum khawarij yang
mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir dan mengatakan
orang yang berdosa besar adalah kafir. Bagi mereka soal kafir berdosa besar,
kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya sekarang, mereka mempunyai
pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan
menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, ilmu Tauhid, (cet. 3, jakarta: PT.
RakaGrafindo Persada, 1996
Muhammad Ahmad, , Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung:
CV. Pustaka Setia), 1998
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Pustaka
Setia), 2003
Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teolgi Islam, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu), 1987
Imam Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
Penerjemah: Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos), 1996
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1992
Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij. (Jakarta:
Lentera), 1993
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah
Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press), 2010
Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada), 1994
Z.A. Syihab Akidah Ahlus Sunnah,
(Jakarta: Bumi Aksara), 1998
[1] Yusran Asmuni, ilmu
Tauhid, (cet. 3, jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, 1996), h. 101-103
[2] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2003), Cet. 2, h. 49
[3] Yusrani Asmuni, Op. cit. Hlm 103
[4] Bakir Yusuf
Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teolgi Islam, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), h. 13
[5] Muhammad Ahmad, , Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998), h. 153
[6]Imam Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
Penerjemah: Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), Cet. 1, h. 78
[7] Ibid, h. 79
[8] Ibid, h. 80
[9] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
192
[10] Imam Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 80
[11] Ibid
[12] Imam Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 81
[13] Muhammad Ahmad, Op.Cit, h 156
[14] Imam Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 81
[15] Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij. (Jakarta: Lentera, 1993), Cet. 1, h. 83
[16] ibid
[17]
Yusran Asmuni,, Op. Cit, h. 104
[18]Hadariansyah
AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2010), h. 59
[19] Salihun A.
Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 148
[20] Z.A. Syihab Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara. 1998),
h. 71-72
[21] Muhammad
Ahmad, Op.Cit, h. 160-162
No comments:
Post a Comment