Wednesday, 21 December 2016

khawarij dan Murji'ah (Makalah Aliran Kalam)



Makalah Aliran Kalam Khawarij dan Murji'ah
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keputusan  Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim membuat para pengikutnya keluar dari barisannya. Kemudian kelompok yang keluar dari barisan Ali membentuk suatu jamaah yang disebut dengan khawarij. Mereka memperdebatkan mengenai sikap Ali dan Muawiyah.
Selain khawarij, terdapat juga golongan murji’ah. Bagi mereka soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya sekarang, mereka mempunyai pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah munculnya aliran khawarij, pemikiran dan aliran-alirannya?
2.      Bagaimana sejarah munculnya aliran murji’ah, pmikiran dan aliran-alirannya?








BAB II
PEMBAHASAN
KHAWARIJ DAN MURJIAH


A.      Khawarij
1.      Sejarah munculnya aliran khawarij
Calon khalifah terkuat untuk menggantikan Usman adalah Ali bin Abi Thalib. Pada tanggal 24 Juni 656 M secara resmi Ali diangkat sebagai khalifah, di mesjid Madinah. Namun, pengangkatannya tidak disetujui oleh banyak pihak. Ia juga dipersalahkan karena tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan Usman bin Affan. Akibatnya, situasi dan kondisi politik dalam negeri menjadi tidak menentu. Keresahan terjadi dimana-mana.
Selama pemerintahan Ali banyak tantangan yang menentang kepemimpinan Ali, antara lain :
a.       Pihak pertama dari sahabatnya sendiri yaitu Thalhah dan Zubair yang didukung oleh Aisyah, isteri Nabi Muhammad SAW. Akibat dari tantangan ini timbulah peperangan, yang dikenal dengan perang Jamal(Unta). Pada peperangan ini dimenangkan oleh pihak Ali.
b.      Pihak kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus (syria) yang tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menuntut bela atas kematian Usman. Akibat dari tantangan dari Muawiyah ini memicu timbulnya perang Shiffin, perang antara pasukan Ali dan Muawiyah. Dengan kepandaian Amr bin al-Ash, pendukung Muawiyah, perang yang hampir dimenangkan pasukan Ali tersebut diakhiri dengan tahkim (arbitrase). Sebagian tentara Ali tidak menerima tahkim itu. Golongan ini, yang semula mendukung Ali, menjadi berbalik membenci dan memusuhi Ali. Mereka ini kemudian diberi nama Khawarij yang berarti “Kaum yang keluar dan memisahkan diri dari Ali”.[1]
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.[2] Kaum khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang bararti “ golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah”.[3]
Nama lain bagi khawarij adalah Hururiyah, yaitu nama kota di dekat kufah. Di tempat ini mereka menumpahkan rasa penyesalan kepada Ali bin Abi Thalib yang mau berdamai dengan Muawiyah. Kota ini dijadikan tempat bertemunya orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Pemilihan imam dimusyawarahkan dan yang terpilih adalah Abdullah bin Wahab Al-Rasidi.[4]
Setelah Abdullah bin Whab Ar-Rasidi meninggal dunia, Khawarij pecah menjadi bermacam-macam aliran, antara lain :
a.       Muhakkimah
Anggota golongan Muhakkimah terdiri dari pengikut Ali. Mereka adalah khawari asli. Prinsip pendapat dari golongan ini adalah soal tahkim. Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui tahkim dianggap dosa dan menjadi kafir.
Pendapat lainnya bahwa dosa besar yang diperbuat oleh seseorang dapat digolongkan kafir. Dalam arti yang luas, bagi yang berbuat zina, karena merupakan dosa besar, maka penzina adalah kafir, bahkan keluar dari agama Islam.. Contoh lain bagi pelaku pembunuhan dinyatakan telah keluar dari agama Islam dan menjadi kafir.[5]



b.      Azariqah
Aliran ini dipimpin oleh Nafi ibnu al-Azraq yang berasal dari Bani Hanifah. Mereka merupakan pendukung tekuat khawarij yang paling banyak anggotanya dan terkemuka.[6]
Prinsip aliran azariqah:
1.      Mereka memandang orrang yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap musyrik, kekal di neraka serta halal untuk dibunuh..
2.      Wilayah tempat orang yang berbeda dengan aliran azarqah adalah wilayah perang.  
3.      Mereka juga berpendapat bahwa anak-anak dari orarng yang berbeda paham dengan azariqah adalah kekal di neraka.
4.      Dalam bidang fiqih mereka tidak mengakui adanya hukum rajam. Alasannya dalam Alquran tidak ditemukan hukuman bagi pelaku zina kecuali hukum jidl (cambuk seratus kali), tidak pula dikenal dalam sunnah Nabi.
5.      Hukuman dera bagi penuduh zina hanya ditujukan pada penuduhh zina wanita muhshan. Orang yang menuduh laki-laki muhshan tidak dikenakan hukuman itu.
6.      Mereka juga berpendapat bahwa para Nabi bisa saja mlakukan dosa besar dan kecil.[7]
c.       Najdat
Pemimpin aliran ini adalah Najdah ibnu Uwaimir yang berasal dari Bani Hudzaifah. Aliran ini tidak sependapat dengan aliran azariqah tentang kafirnya orang khawarij yang tidak mau turut berperang dan bolehnya membunuh anak-anak-anak.[8]
Najdah pernah berkirim surat kepada Nafi’ yang isinya menegur dan mengkritik ajaran-ajaran baru Nafi’. Pendapat-pendapat Najdah berbanding terbalik dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Nafi’.
Yang paling berbeda dari golongan ini yaitu mereka berpendapat bahwa dusta lebih jahat dari berzina dan mengerjakan dosa kecil merupakan syirik serta mengerjakan dosa besar tidak terus menerus tidaklah menjadi syirik.
Dinukilkan oleh Asy Sharastani dari Al Ka’bi bahwasanya golongan Najdah berpendapat bahwa masyarakat tidak memerlukan kepadanya kepala Negara. Masing-masing anggota masyarakat harus bersikap jujur dan insyaf kepada sesamanya, menghindari kesalahan dan kemaksiatan. Akan tetapi kalau dirasa perlu untuk mewujudkan kerukunan dalam masyarakat maka boleh mengangkat kepala Negara untuk itu.[9]
Aliran Najdah menetapkan satu prinsip yang belum pernah ada di kalangan-kalangan aliran-aliran Khawarij, yaitu prinsip taqiyyah. Dengan prinsip ini seorang khawarij boleh mengaku bahwa ia termasuk Islam mayorritas untuk melindungi nyawanya.[10]
Golongan ini banyak berkembang didaerah Yaman, Thaif, Amman, Bahrain, Wadi tammim dan ‘Amir.(ibid 180). Meskipun tumbuh dengan pesat Najdah ternyata masih berulah, hingga ia di pecat dan dibunuh oleh pengikut-pengikutnya. Yang menjadi sebab ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa agama itu dua bagian:
1.       Beriman kepada Allah dan Rasulnya dan beriman kepada apa yang didatangkan Rasul secara garis besar serta haram ditumpahkan darah-darah pengikutnya.
2.       Pada bagian ini tidak perlu semua orang mengetahuinya hingga ada keterangan yang mengharuskan dia mengetahuinya. Orang yang salah berijtihad dimaafkan. Maka orang yang menghalalkan yang haram karena suatu ijtihad, maka dimaafkan pula.[11]
Sebelum meninggal ia menunjuk Abu Fudaik sebagai penggantinya, akan tetapi tidak lama golongan ini terpecah menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Golongan yang memberontak Najdah dan tetap bersama Abu Fudaik, yang hancur oleh Abdul Malik Ibn Marwan tahun 73 H di Bahrain.
2.      Golongan yang dipimpin Athiyah Ibn Al Aswad yang pergi ke sijistan. Diantanya terdapat Abdul Karim Ibn Ajrad, dan kepadanyalah golongan ini dinisbahkan sehingga menjadi Aj-radiah.
3.      Golongan yang terakhir ini ialah kelompok Najdah yang tersisa, tetapi tidak berani menisbahkan kelompoknya kepada Najdah. Kelompok ini tetap bertahan walauppun tanpa pemimpin. Gerakan kelompok ini sudah terhenti.[12]
d.      Ajjaridah
Pendiri ajaran Ajjaridah ialah Abd Al-Karim ibn Ajrad. Sifat ajarannya lebih lunak dibandingkan dengan apa yang diajarkan Nafi ibn Al-Azraq dan Najdah. Bagi golongannya, berhijrah bukan kewajiban tetapi kebajikan.
Kaum Ajjaridah juga terpecah menjadi beberapa golongan antara lain :
1.      Golongan Maimuniyah, berpendapat bahwa baik dan buruknya perbuatan manusia timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri.
2.      Golongan Al-Syu’aibiyah dan Al-Hazimiyah, golongan ini berpendapat bahwa tuhan adalah sebab dari semua perbuatan/perilaku manusia. Dengan demikian, manusia dalam hal perbuatan tidak bisa menolak kehendak Allah.[13]
e.       Sufriyyah
Penganut aliran ini adalah pengikut Ziyad ibn Al-Ashfar. Pandangan mereka lebih lunak dari pada pandanngan azariqah, tetapi lebih ekstrim dibanding aliran khawarij lainnya.[14]  Golongan ini banyak menyalahi golongan-golongan yang telah terdahulu dalam beberapa hal, yaitu:
1.    Orang yang berdosa besar tidak dikenai had, misalnya tidak sholat, dipandang kafir, dan pendosanya juga tidak disebut kafir. Mereka menyetujui dan menyalahi golongan azariqiah tentang had.
2.    Orang yang tidak ikut perang juga tidak dikatakan kafir asalkan sama dalam hal aqidah. Melarang pembunuhan terhadap anak kecil dan merajam penzina muhshan.
Al-Shafariyyah  berpendapat bahwa apabila dalam perbuatan dosa itu terdapat hukuman yang jelas ukurannya, maka perbuatan itu tidak akan menyebabkan pelakunya, misalnya penzina, pencuri, dan penuduh palsu, menjadi kafir dan musyrik. Sedangkan dalam hal perbuatan dosa besar yang tidak disebutkan batas hukumannya lantaran besarnya dosa yang terdapat di dalamnya, maka perbuatan seperti itu dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir, misalnya meninggalkan salat.[15]
f.       Ibadhiyyah
Pada saat Abdullah Ibn Ibadi membaca surat dari Nafi Ibn Al azraq, ia berkata: Mudah-mudahan Allah membinasakan Nafi’. Jika orang-orang lain itu benar-benar musyrik, tentulah perkataan Nafi’ kita anggap paling benar. Akan tetapi ia berdusta dalam perkataannya. Orang-orang lain mengesakan Allah karena boleh nikah menikahi, waris mewarisi, memakan sembelijan mereka. Hanya nikmat Allah dan hukum-hukum Allah. Karena darah mereka sajalah yang halal bagi kita. Harta-harta mereka haram kita ganggu dan kita binasakan’’.
Kemudian Saffar berkata: Allah terlepas dari padamu, engkau terlalu jauh ketinggalan dari pada apa yang engkau harus lakukan dan terlepas pula Allah daripada Ibnul Az Raq karena dia terlalu berlebihan.[16] Karena itulah mereka berdua berpisah lalu masing-masing membentuk madzhab sendiri-sendiri.
Beberapa ajaran-ajaran Ibladiyah yaitu, mereka menganggap orang yang mengerjakan dosa besar tetap mengesakan Allah tetapi tidak dapat disebut mukmin karena iman mereka tidak sempurna dan tidak pula musyrik, karena dihati pendosa itu ada dasar tauhid.
Golongan ini adalah golongan paling moderat dan dekat kepada umat Islam lainnya, jadi hingga sekarang mereka hidup tentram karena tidak memusuhi penguasa. Mereka tersebar di Hadralmaut, ‘Amman, Zanzibar dan selatan Al Jazair.
2.        Tokoh-tokoh khawarij
Di antara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
1.      Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan khawarij pertama).
2.      Urwah bin Hadair
3.      Mustarid bin Sa’ad
4.      Hausarah al-Asadi
5.      Quraib bin Maruah
6.      Nafi’ bin al-Azraq (pimpinan aliran al-Azariqah), nama panggilan Abu Rasyid.
7.      Abdullah bin Basyir
8.      Zubair bin Ali
9.      Qathari bin Fujaah
10.  Najdah bin ‘Amir al-Hanafi (pimpinan aliran al-Najadat)
11.  Abd al-Rabih
12.  Abd al-Karim bin Ajrad (pimpinan aliran al-‘Ajaridah)
13.  Ziyad ibn al-Ashfar (pimpinan aliran al-Shafariyyah)
14.  Abdullah bin Ibad al-Tamimi (pimpinan aliran al-Ibadhiyyah).[17]

B.     MURJI’AH
            Murji’ah berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang berarti menangguhkan atau memberi harapan, dalam arti bahasa murji’ah artinya yang menangguhkan atau yang memberi pengharapan.[18]
            Golongan murji’ah mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah. Dinamakan murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya.[19]
Adapun yang dimaksud kaum murji’ah disini ialah orang-orang yang tidak mau ikut mengkafirkan sesama umat Islam seperti dilakukan kaum khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan orang yang berdosa besar adalah kafir. Bagi mereka soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang-orang islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya sekarang, mereka mempunyai pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.
            Karena mereka menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah. Ada juga yang mengatakan mereka kaum murji’ah karena mereka member pengharapan. Mereka berpendapat bahwa orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, melainkan masih tetap mukmin dan tidak akan kekal didalam neraka. Dalam hal ini, karena menurut pendapat kekal bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mu’min dan tidak akan kekal didalam neraka, berarti mereka memberi harapan akan masuk surga bagi orang islam yang berdosa besar. Itulah sebabnya meraka disebut kaum murji’ah. Mereka yang disebut kaum khawarij ini semula merupakan orang-orang yang bersikap netral dalam menyikapi situasi politik pada waktu itu. Setelah peristiwa tahkim, umat islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu: golongan syiah, khawarij, dan mu’awiyah dan ketiga golongan ini saling bermusuhan. Golongan syi’ah menentang Mu’awiyah karena dianggap yang bersangkutan merampas Ali. Sedangkan kaum khawarij menentang Mu’awiyah karena menganggap yang bersangkutan telah menyeleweng dari ajaran Islam. Pertikaian diantara mereka tidak hanya dalam politik saja akan tetapi tuduhan kafir diantara mereka juga terjadi.
Kaum murji’ah tidak mengakui bahwa iman bercabang-cabang seperti yang diyakini kaum ahlu sunnah, yaitu lebih dari tujuh puluh cabang. Mereka beriktikad bahwa iman hanya bulat tidak terbagi-bagi. Dalam kitabnya yang berjudul Maqalat al islamiyin.[20]
Pada umumnya, golongan Murji’ah dibagi dalam dua golongan, yaitu;
1.      Golongan Ekstrim
            Golongan ini dipimpin oleh AL-Jahamiyah (pengikut Jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan iman dan kafir bertempat dihati yang lebih lanjut.
            Pengikut Abu Al-hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada tuhan. Masalah sembahyang  tidak  merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
            Al-baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihi, berpendapat bahwa sembahyang, jakat, puasa , dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.
            Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum murji’ah yang disebut iman hanyalah mengetahui tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.
            Atas pendapat diatas, Al-‘Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam keadaan iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan yang bersangkutan.
            Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat banyak ataupun sedikit, tidak merusakan iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seorang musyrik.
            Menurut Al-Khassaniyah, apabila seseoarang mengatakan, “saya tahu banwa tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu kambing ini”. Orang yang demikian ini tetap mukmin dan bukan kafir. Apabila seseorang berkata, “saya tahu tuhan mewajibkan naik ke Kabah, tetapi saya tidak tahu apakah kabah diindia atau tempat lain”. Juga tetap mukmin.
            Apabila diamati, bahwa pendapat ektrim murji’ah timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidak penting, tetapi yang paling penting adalah iman. Iman adalah penentu, apakah seseorang mukmin atau tidak. Dan perbuatan tidak banya memiliki pengaruh dalam persoalan iman. Manusia tidak mengetahui iman, sebab iman berada didalam hati. Tidak semua perbuatan manusia menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, yang penting adalah iman yang ada dihati. Jadi perbuatan dan ucapan tidak dapat merusak iman seseorang.
2.      Golongan Moderat
            Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan sebesar apa dosa yang dilakukannya. Kemungkinan tuhan akan memberi ampun terhadap dosanya. Oleh karena itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.
            Tokoh dari golongan ini antara lain: Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Haniffah mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang tuhan, tentang rasul-rasulnya, dan tentang segala apa yang datang dari tuhan dan keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman. Menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara orang yang berdosa besar dengan yang patuh menjalankan perintah allah. Dengan demikian Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima, namu para ulama kalau Abu Hanifah dimasukan dalam golongan kaum murji’ah. Karena tidak ada kesatuan pendapat tentang Abu Hanifah kepada golongan Murji’ah.
            Ajaran kaum Murji’ah moderat ini dapat diterima oleh golongan ahli sunah wal jamaah dalam islam. Asy’ari berpendapat iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-rasul dan tentang apa yag mereka bawa.[21]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Lahirnya kelompok khawarij akibat tahkim yang diterima Ali, kelompok Ali yang tidak setuju keluar dari barisan Ali. Pemilihan imam khawarij dimusyawarahkan dan yang terpilih adalah Abdullah bin Wahab Al-Rasidi. Setelah meninggalnya pimpinan khawarij, khawarij terpecah. Aliran-aliran khawarij antara lain: muhakkimah, azariqah, najdah, ajjaridah, surfiyyah, dan ibadhiyyah. Tokoh-tokoh khawarij antara lain: Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, Urwah bin Hadair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al-Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-Azraq (pimpinan al-Azariqah), Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al-Rabih, Abd al-Karim bin Ajrad, Zaid bin Asfar dan Abdullah bin Ibad.
            Golongan murji’ah mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah. Dinamakan murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya. Adapun yang dimaksud kaum murji’ah disini ialah orang-orang yang tidak mau ikut mengkafirkan sesama umat Islam seperti dilakukan kaum khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir dan mengatakan orang yang berdosa besar adalah kafir. Bagi mereka soal kafir berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya sekarang, mereka mempunyai pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan menyerahakannya kepada Allah di hari kemudian.




DAFTAR PUSTAKA


Asmuni, Yusran, ilmu Tauhid, (cet. 3, jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, 1996

Muhammad Ahmad, , Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 1998

Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Pustaka Setia), 2003

Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teolgi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu), 1987

Imam  Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Penerjemah: Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos), 1996

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1992
Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij. (Jakarta: Lentera), 1993
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press), 2010

Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1994

Z.A. Syihab Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara), 1998



[1] Yusran Asmuni, ilmu Tauhid, (cet. 3, jakarta: PT. RakaGrafindo Persada, 1996), h. 101-103
[2]  Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2003), Cet. 2, h. 49
[3] Yusrani Asmuni,  Op. cit. Hlm 103
[4] Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teolgi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), h. 13
[5] Muhammad Ahmad, , Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 153
[6]Imam  Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Penerjemah: Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), Cet. 1, h. 78
[7] Ibid, h. 79
[8] Ibid, h. 80
[9] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 192
[10] Imam  Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 80
[11] Ibid
[12]  Imam  Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 81
[13] Muhammad Ahmad, Op.Cit, h 156
[14] Imam  Muhammad Abu Zarah, Op.Cit, h. 81
[15] Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij. (Jakarta: Lentera, 1993), Cet. 1, h. 83
[16] ibid
[17] Yusran Asmuni,, Op. Cit, h.  104
[18]Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), h. 59
[19] Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 148
[20] Z.A. Syihab Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara. 1998), h. 71-72
[21] Muhammad Ahmad, Op.Cit, h. 160-162

No comments: