Wednesday 21 December 2016

Hakikat Kehidupan Sebagai Dasar Pendidikan (Makalah Ilmu Pendidikan)



Makalah

 
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Alam semesta merupakan realitas yang dihadapi oleh manusia, yang sampai kini baru sebagian kecil saja yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagi seorang ilmuwan akan menyadari bahwa manusia diciptakan bukanlah untuk menaklukkan seluruh alam semesta, akan tetapi menjadikannya sebagai fasilitas dan sarana ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dari potensi manusia yang sudah ada saat ajali.
Alam semesta merupakan ciptaaan Allah Swt yang diperuntukkan kepada manusia yang kemudian diamanahkan sebagai khalifah untuk menjaga dan memeliharaan alam semesta ini, selain itu alam semesta juga merupakan mediasi bagi manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang terproses melalui pendidikan.
Untuk memahami hidup, tentu kita harus menilik kepada unsur-unsur yang terlibat di dalamnya yaitu siapa penciptanya, untuk apa diciptakan, dan bagaimana seharusnya kita hidup, dan bagaimana hubungan antara ketiganya pada sebelum dan sesudahnya. Ketika kita memperhatikan alam, manusia, dan kehidupan, kita akan mendapatkan suatu yang sangat seimbang dan sempurna tanpa cacat. Sesuatu yang apik seolah-olah tak henti-hentinya diatur oleh sesuatu. Dan sesuatu itu adalah mesti bersifat maha kuasa dan maha sempurna serta maha cerdas, dikarenakan terlihatnya ciptaan-ciptaan yang bergitu agung yang berada pada diri kita juga di sekeliling kita tempat kita menjalani kehidupan yang keberadaannya bergitu nyata.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat alam semesta?
2.      Apa hakikat kehidupan?


BAB II
PEMBAHASAN
HAKIKAT KEHIDUPAN SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM

A.    Hakikat Alam Semesta
Dilihat dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah dan alam semesta. Allah adalah pencipta, sedangkan alam yang diciptakan. Menurut Osman Raliby, alam adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera, kendatipun samar-samar. Mulai dari partikel/ dzarroh yaitu benda yang sangat kecil sampai kepada benda yang berdimensi besar, dari yang inorganik sampai pada organik, dari yang sederhana susunan tubuhnya sampai kepada yang kompleks. Ruang dan waktu, juga manusia termasuk dari bagian alam semesta. [1]
Dalam pandangan ilmu kalam apa yang selain Allah itulah alam, termasuk manusia sendiri. Akan tetapi dalam pandangan kosmologi, yang dimaksud alam adalah jagat raya yang terdiri dari bumi, langit, planet dan lain-lain. Alam diciptakan Allah bukan bermain-main, tetapi sungguh-sungguh/ real dengan hukum-hukumnya yang pasti (sunnatullah). Alam diciptakan Tuhan dengan hak, nyata, bukan bayangan atau maya (QS. Ad-Dukhan: 38-39, QS. Al-Ahqaf: 3)[2]
Langit dan bumi dengan segala isi dan peristiwa yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang sangat mengesankan dan menakjubkan akal dan hati sanubari manusia. Manusia sejak zaman dahulu telah mengerahkan daya akal untuk menyelidiki rahasia serta mencari hubungannya dengan kebutuhan dan tujuan hidupnya di atas bumi ini.[3]
Ada beberapa ayat Alquran yang berbicara mengenai kejadian alam (kosmologi). Mengenai metafisika penciptaan, Alquran hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan oleh Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya, jadilah. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan hal tersebut antara lain:
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia. (QS. Al-Baqarah: 117)
 
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. (QS. Al-An’am: 73)
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia. (QS. An-Nahl: 40)

Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha suci Dia. apabila Dia telah menetapkan sesuatu, Maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia. (QS. Maryam: 35)
 
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (QS. Yasin: 82)
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia. (QS.Al-Mu’min: 68) [4]
            Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah yang menciptakan alam semesta ini dan Allah pula pemiliknya. Karena kekuasaan Allah yang mutlak, maka jika Allah hendak menciptakan langit dan bumi, Dia hanya berkata kepada keduanya: Jadilah kalian, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa, seperti diungkapkan pada QS. Fussilat ayat 11:
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".[5]
                Dalam hal proses penciptaan alam, Allah menginformasikannya dalam kurun waktu enam hari yang tentunya tidak dapat dipahami secara harfiah. Informasi tersebut terdapat pada QS. Al-A’raf ayat 54, QS. Yunus ayat 3, QS. Hud ayat 7, QS. Al-Furqan ayat 59.[6]
            Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta merupakan ciptaan (makhluk) Allah sebagai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Karena itu manusia tidak habis-habisnya mengagumi isi alam ini  dan terus mengambil pelajaran yang bermanfaat dari padanya. Firman Allah dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4:
 
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.[7]
            Allah menciptakan alam semesta dengan tatanan kerja yang teratur, rapi dan serasi. Keteraturan, kerapian dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung.[8] Sunnatullah atau hukum Allah yang menyebabkan alam semesta selaras, serasi, seimbang dipatuhi sepenuhnya oleh partikel atau dzarrah yang menjadi unsur alam semesta itu. Ada 3 sifat utama sunnatullah yang disinggung dalam Alquran yang dapat ditemukan oleh para ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah pasti, tetap dan objektif.[9]
            Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang kemudian diserahkan-Nya kepada manusia yang merupakan bagian dari alam itu sendiri untuk dikelola dan dimanfaatkan.[10] Berpegang pada dalil-dalil Alquran, alam semesta diciptakan untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia, Firman Allah:
  
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk: 15)
 
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 29)
 
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman: 20)[11]
            Telah disebutkan dalam Alquran, Allah menyuruh kita memikirkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, hujan dan halilintar, langit dan bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan logam, serta yang lainnya. Alquran menunjukkan kepada manusia mengenai alam semesta dengan beragam bentuk dan jenis benda untuk diteliti, yaitu materi yang mendasari penciptaan, proses penciptaan sendiri, proses perubahan fenomena alam, juga hubungan manusia dengan alam.[12]
            Dengan potensi yang ada manusia berusaha untuk iqro (membaca, memahami, meneliti dan menghayati) fenomena yang nantinya dapat menimbulkan ilmu pengetahuan. Fenomena ini dapat berupa kauniah. Fenomena ini menurut Albert Einstein digambarkan: “ Nature for him was an open book whose letters he could read without effort. In one person he combined the experimenter, the theorist, the mechanic and, not less, the artist in expression” (alam semesta adalah sebuah buku terbuka yang huruf-hurufnya dapat dibaca tanpa susah payah. Dalam satu pribadi dikumpulkannya ahli eksperimen, ahli teori, ahli mekanik dan tidak kurang dari itu seorang seniman dalam mengucapkannya). Fenoomena lainnya dapat berupa quraniyah yaitu Alquran. Ia bukan hanya sekedar buku atau dokumen sejarah, yang lebih penting lagi sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam kehidupan ummat manusia. [13]
            Selain alam yang nyata dan tampak/ empiris, juga ada alam gaib, baik alam gaib nisbi maupun gaib mutlak. Alam gaib nisbi seperti alam jin, malaikat. Sedangkan alam gaib mutlak yaitu yang berada di akhirat kelak seperti surga dan neraka.
            An-Nahlawi melihat keistimewaan pandangan Islam tentang alam yaitu tidak melihat alam semata-mata hanya menggunakan akal, tetapi juga melibatkan perasaan manusia, yakni menggerakkan perasaan kekaguman kepada penciptanya, kekerdilan manusia di hadapan-Nya dan keniscayaan untuk tunduk kepada-Nya. Implikasi pendidikan yang ingin ditanamkan tentang alam di antaranya:
1.      Menciptakan hubungan yang erat seorang muslim dengan Tuhannya dan mengingatkan bahwa tujuan tertinggi dari kehidupan ini adalah beribadah kepada Allah.
2.      Mendidik manusia untuk bersungguh-sungguh, karena alam ini seluruhnya ditegakkan berdasarkan atas kebenaran (al-haq) dan diwujudkan untuk tujuan yang jelas serta memiliki batas tertentu di sisi Allah. Alam tidak diciptakan untuk bersenda gurau dan berlaku sia-sia (QS. Al-Anbiya: 16-17). Mengajarkan manusia untuk meneliti tentang tujuan dari realitaas alam ini dan menjauhkan dari berpikir tentang hal yang melalaikan, main-main dan sia-sia dan juga mengajarkan untuk merenungi alam ini.[14]

B.     Hakikat Kehidupan
Makhluk-makhluk ciptaan Allah pada dasarnya dapat dikategorikan kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Makhluk yang diberi akal dan nafsu yang terdiri atas jin dan manusia. Kepada makhluk ini Allah berikan taklif (beban agama). Firman Allah pada QS. Adz-Dzariyat ayat 56:
 
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
2.      Makhluk yang hanya diberi akal oleh Allah dan tidak diberikan nafsu. Oleh karena itu makhluk ini selalu taat melaksanakan apa yang Allah perintahkan. Makhluk ini adalah para malaikat, sebagaimana yang diinformasikan QS. At-Tahrim ayat 6:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
3.      Jenis binatang yang hanya diberi nafsu. Mereka tidak diberri akal, karena itu mereka tidak dimintai pertanggungjawaban. Dalam hal ini termasuk juga langit, bumi, tumbuhan. Allah pernah menawarkan taklif agama kepada langit, bumi, gunung-gunung, namun mereka enggan menerimanya, sebagaimana pada firman Alllah QS. Al-Ahzab ayat 72:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.[15]
            Selain tiga kategori makhluk yang telah disebutkan di atas, ada juga yang memberikan kelompok makhluk terbagi atas dua kelompok, yaitu:
1.      Makhluk nyata, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, bakteri, virus, tanah, air, udara, bulan, matahari dan lain-lain.
2.      Makhluk gaib, meliputi malaikat, jin, roh, surga, neraka dan lain-lain.[16]
Adapun mengenai kehidupan, terkait dengan pemahaman mengenai hakikat manusia dalam hubungannya dengan alam, yakni untuk memakmurkannya. Kehidupan lawannya kematian, bagi kaum optimistik kehidupan adalah sesuatu yang mengandung makna, sementara kaum pesimistik memandang hidup penuh kesengsaraan. Sesungguhnya hidup dan mati sebagai ujian untuk membuktikan siapa di antara kita yang terbaik amalnya. Firman Allah pada QS. Al-Kahfi ayat 7:
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.
            Hidup dan kehidupan sesungguhnya sebagai amanah sekaligus ujian agar diketahui siapa yang selalu berkualitas amal perbuatannya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Hakikat kehidupan di dunia ini adalah periode dan tempat ujian untuk berkompetisi atau berlomba-lomba menggapai prestasi (amal) kehidupan yang terbaik atau menggapai kualitas hidup yang terbaik (fastabiqul khairat), QS. Al-Baqarah ayat 148.[17]
            Adapun kedudukan manusia dalam kehidupan yaitu:
1.      Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam, firman Allah:
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. Al-Baqarah: 6)
2.      Sebagai peneliti alam, Allah memerintahkan kepada manusia agar menggunakan akalnya untuk mempelajari alam semesta dan dirinya sendiri, di samping untuk kemanfaatan hidupnya juga untuk mengagungkan nama Tuhannya yang telah menciptakan dirinya. Firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah: 164)
3.      Sebagai khalifah di muka bumi, firman Allah:
 
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am: 165)
4.      Sebagai makhluk yang paling tinggi dan mulia, firman Allah:
 
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5.      Sebagai hamba Allah, firman Allah:
 
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
6.      Sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa-apa yang telah dilakukan di atas dunia ini, firman Allah:
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya). (QS. An-Nur: 24-25)
7.      Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik, firman Allah:
  
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣)
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)[18]
8.      Sebagai pemakmur dunia, firman Allah:

Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS. Hud: 61) [19]
            Sifat-sifat kehidupan dunia menurut An-Nahlawi sebagai berikut:
1.      Kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara, karena itu tidak boleh dijadikan sebagai tujuan kehidupan.  Menjadikan dunia sebagai puncak kehidupan dan tujuan akhir akan melalaikan dan membuat manusia lupa akan penciptaan dunia yang sebenarnya, yaitu tempat ujian manusia. Tempat kehidupan sejati adalah akhirat.
2.      Kehidupan dunia penuh dengan hiasan indah (az-zinah) dan perhiasan (az-zukhruf), syahwat serta berbagai kelezatan (al-muladzzzat) yang pada hakikatnya menjadi bagian instrumen dunia yang menambah sempurnanya ujian dan cobaan kepada manusia (QS. Hud: 15-16, QS. Ali Imran: 14)
3.      Seorang muslim tidak saja boleh menikmati dunia bahkan memiliki hak penuh untuk menikmati kehidupan dunia asal sesuai dengan ketentuan syariah (QS. Al-Qashash: 77, Al-A’raf: 32)
4.      Siapapun yang berusaha di dunia maka hasil usahanya akan diperoleh secara penuh di dunia, dan siapapun yang menundukkan dunia karena mencari ridha Allah, maka ia akan beruntung di dunia dan akhirat.
5.      Masa kehidupan dunia ini sangat singkat tidak dapat dibandingkan dengan masa kehidupan di akhirat bahkan tidak sebanding satu jam atau satu hari waktu di akhirat (QS. At-Thaha: 102-104)
6.      Kehidupan dunia adalah tempat berusaha dengan segala keletihan, kepayahan dan kesungguhannya (QS. Al-Insyiqaq: 6)
7.      Allah akan menolong orang-orang yang beriman baik pada kehidupan dunia maupun akhirat, karena kehidupan dunia tidaklah ssemata-mata tempat menampakkan kekafiran dan kerusakan tetapi juga tempat penampakkan keimanan dan kebaikan dengan pertolongan Allah. (QS. Ghafir: 51)
8.      Kehidupan dunia adalah tempat permainan, kelalaian, perhiasan, saling membanggakan, dan perlombaan untuk menjadi yang terbanyak dari segi harta dan anak-anak. (QS. Al-Hadid: 20, QS. At-Takatsur: 1-2)[20]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam pandangan ilmu kalam apa yang selain Allah itulah alam, termasuk manusia sendiri. Akan tetapi dalam pandangan kosmologi, yang dimaksud alam adalah jagat raya yang terdiri dari bumi, langit, planet dan lain-lain. Alam diciptakan Allah bukan bermain-main, tetapi sungguh-sungguh/ real dengan hukum-hukumnya yang pasti (sunnatullah). Alam diciptakan Tuhan dengan hak, nyata, bukan bayangan atau maya (QS. Ad-Dukhan: 38-39, QS. Al-Ahqaf: 3). Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta merupakan ciptaan (makhluk) Allah sebagai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Allah menyuruh kita memikirkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, hujan dan halilintar, langit dan bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan logam, serta yang lainnya agar kita menyadari betapa kuasanya Allah.
            Mengenai hakikat kehidupan, terkait dengan pemahaman mengenai hakikat manusia dalam hubungannya dengan alam. Hidup dan kehidupan sesungguhnya sebagai amanah sekaligus ujian agar diketahui siapa yang selalu berkualitas amal perbuatannya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Hakikat kehidupan di dunia ini adalah periode dan tempat ujian untuk berkompetisi atau berlomba-lomba menggapai prestasi (amal) kehidupan yang terbaik atau menggapai kualitas hidup yang terbaik (fastabiqul khairat), QS. Al-Baqarah ayat 148




DAFTAR PUSTAKA


Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2002.

Alim, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2011.

Buseri, Kamrani, Dasar, Asas, dan Prinsip Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo), 2014.

Daradjat, Zakiah, Dasar-Dasar Agama Islam (Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum), (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1996.

Ihsan, Hamdani, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia), 1998.

Karim,  Abdullah, Pendidikan Agama Islam, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan), 2004.

Muhaimin, Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya), 1993.

Rahman, Fazlur, Tema Pokok Alquran, diterjemahkan Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka), 1980.



[1] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. Ke- 4, h. 1
[2] Kamrani Buseri, Dasar, Asas, dan Prinsip Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), Cet. Ke-1, h. 167
[3] Zakiah Daradjat, Dasar-Dasar Agama Islam (Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), Cet. Ke-10, h. 3
[4] Abdullah Karim, Pendidikan Agama Islam, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2004), Cet. Ke-1, h. 27-28
[5] Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, diterjemahkan Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1980), h. 95
[6] Abdullah Karim, Op.Cit, h. 29
[7] Zakiah Daradjat, Op.Cit, h.6
[8] Muhammad Daud Ali, Op.Cit, h. 2
[9] Ibid, h. 4
[10]Ibid, h. 9
[11] Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. Ke-1, h 50-51
[12] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. Ke-2, h. 210-211
[13] Abdul Majid Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), Cet. Ke-1, h.83
[14] Kamrani Buseri, Op.Cit, h. 168-169
[15] Abdullah Karim, Op.Cit, h. 30-32
[16] Zakiah Daradjat, Op.Cit, h. 10
[17] Kamrani Buseri, Op.Cit, h. 169-170
[18] Hamdani Ihsan, Fuad Ihsan, Op.Cit, h. 51-58
[19] Abdullah Karim, Op.Cit, h. 31
[20] Kamrani Buseri, Op.Cit, h. 171-173

No comments: