Makalah Model Evaluasi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pada konteks pembelajaran,
evaluasi pada umumnya berorientasi pada tujuan pendidikan yang di dalamnya
mencakup beberapa macam tujuan termasuk tujuan pendidikan nasional, tujuan
institusi, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus yang di
dalamnya mengandung penampilan (Performance). Model evaluasi muncul
karena adannya usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan dari
perkembangan pengukuran dan keinginan manusia untuk berusaha menerapkan prinsip-prinsip
evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak pada bidang ilmu pendidikan, perilaku
dan seni.
B.
Rumusan Masalah
Di antara model-model evaluasi
yang ada pada makalah ini adalah:
1.
Model CIPP
2. Model Kirkpatrick
3.
Model Alkin/ UCLA
4. Model Brinkerhoff
5. Model
Countenance
6. Model
Tyler
7. Goal Free evaluation Model (Model Bebas Tujuan)
BAB II
PEMBAHASAN
MODEL-MODEL
EVALUASI
A.
Model CIPP
Decision
Oriented evaluation Model atau Model CIPP (Contex,
Input, Proces, Product) adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Danial
Stufflebeam dan kawan-kawan di Ohio State University. Evaluasi ini
menitikberatkan pada penilaian program dan penyajian informasi untuk pembuatan
keputusan. Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh,
tetapi Stufflebeam mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya seorang evaluator
tidak harus menggunakan keseluruhannya. Keunikan pada model-model tersebut
adalah, pada setiap tipe evaluasi terkait pada perangkat pengambilan keputusan
dan operasi sebuah program. Dalam hal lain, keempat model evaluasi Stufflebeam
tersebut dapat dipadukan dengan model-model evaluasi yang dikembangkan oleh
beberapa ahli-ahli lain yang sudah dianggap baku dan standar, serta telah
teruji kehandalannya dalam berbagai penerapan pendidikan.
Ditinjau
dari pelaksanaan suatu program, Evaluasi Model CIPP memberikan suatu format
evaluasi yang komprehensif pada setiap tahapan evaluasi yaitu: konteks, input,
proses, dan output.[1]
Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Evaluasi komponen konteks, sebagai
fokus institusi, yaitu mengidentifikasi target populasi dan menilai kebutuhan.
Evaluasi konteks dilaksanakan sebagai need assessment atas suatu
kebutuhan, memberikan informasi bagi pengambilan keputusan dalam perencanaan
suatu program yang akan dijalankan. Menurut Stufflebeam, evaluasi konteks ini
adalah evaluasi yang paling mendasar, yang mempunyai misi untuk menyediakan
suatu rasional/landasan untuk penentuan tujuan pendidikan, evaluasi konteks
berupaya untuk memisahkan masalah dengan kebutuhan yang tidak diinginkan di
dalam setting pendidikan, konteks melibatkan analisis secara konseptual
yang berhubungan dengan elemen-elemen lingkungan pendidikan yang lebih
deskriptif dan komparatif. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar menyatakan bahwa Evaluasi Konteks adalah upaya untuk menggambarkan
dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel
yang dilayani, dan tujuan proyek.[2]
Sejalan dengan pendapat di atas Djuju Sudjana menyatakan bahwa Evaluasi Konteks
program menyajikan data tentang alasan-alasan untuk menetapkan tujuan-tujuan
program dan prioritas tujuan. Evaluasi ini menjelaskan mengenai konteks
lingkungan yang relevan, menggambarkan kondisi yang ada dan yang diinginkan
dalam lingkungan, dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi
dan peluang yang belum dimanfaatkan.[3]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi konteks meliputi
analisis masalah yang berhubungan dengan lingkungan program, kebutuhan yang
tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi dan peluang yang
belum dimanfaatkan yang secara khusus mempunyai pengaruh terhadap konteks
masalah yang menjadi komponen program. Dapat dikatakan pula bahwa evaluasi konteks
adalah evaluasi terhadap kebutuhan, yaitu memperkecil kesenjangan antara
kondisi faktual dengan kondisi yang diharapkan. Tujuan utama evaluasi konteks
adalah mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari sasaran dan memberikan arah
perbaikan.
2.
Evaluasi komponen Input, digunakan
sebagai bahan pertimbangan membuat keputusan, penentuan strategi evaluasi,
meliputi analisis persoalan yang berhubungan dengan bagaimana penggunaan
sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif dan strategi yang harus
dipertimbangkan untuk mencapai suatu program, desain prosedur untuk strategi
implementasi, pembiyaan dan penjualan.[4]
Evaluasi input pada program pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal
secara menyeluruh, lebih baku, selalu berhubungan dengan peserta didik, pendidik,
kurikulum, sarana prasarana dan kelengkapan administrasi. Menurut Djuju Sudjana
Evaluasi masukan (input) program menyediakan data untuk menentukan
bagaimana penggunaan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
program. Hal ini berkaitan dengan relevansi, kepraktisan, pembiyaan,
efektifitas yang dihendaki, dan alternatif-alternatif yang dianggap unggul.[5]
Sejalan dengan pendapat di atas Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar menyatakan bahwa Evaluasi Input adalah kemampuan awal warga belajar
dan sekolah dalam menunjang PMTAS, antara lain kemampuan sekolah dalam
menyediakan petugas yang tepat, pengatur menu yang andal, ahli kesehatan yang
berkualitas, dan sebagainya.[6]Evaluasi
input pada program Paket C sama seperti pada sekolah regular lainnya yakni,
warga belajar, guru, dan tenaga kependidikan, bahan ajar, kurikulum serta
sarana belajar.
3.
Evaluasi komponen Proses, digunakan
dalam program sebagai data untuk mengimplementasikan keputusan, merupakan
evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam proses (pelaksanaan) atau
membimbing dalam implementasi kegiatan, evaluasi program juga digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan prosedur implementasi pada tata laksana kejadian dan
aktifitas. Setiap aktifitas di monitor dan di catat perubahan-perubahan yang
terjadi secara jujur dan cermat. Pentingnya pencatatan aktivitas keseharian
sebagai pertimbangan pengambilan keputusan untuk menentukan tindak lanjut dan
penyempurnaan program. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar menyatakan bahwa Evaluasi Proses diarahkan pada seberapa jauh
kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana.[7]
Sedangkan menurut Djuju Sudjana Evaluasi proses menyeediakan umpan balik yang
berkenaan dengan efisiensi pelaksanaan program, termasuk di dalamnya pengaruh
system dan keterlaksanaannya. Evaluasi ini mendeteksi atau memprediksi
kekurangan dalam rancangan prosedur kegiatan program dan pelaksanaannya,
menyediakan data untuk keputusan dalam implementasi program, dan memelihara
doumentasi tentang prosuder yang dilakukan. Dalam program pendidikan, evaluasi
inipun menyediakan informasi terhadap jenis keputusan yang mungkin dilakukan
oleh pendidik.[8]
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa evaluasi proses adalah pengawasan secara
terus menerus pada pelaksanaan program yang sangat berguna dan menentukan
kelemahan/hambatan dan kekuatan/pendukung sehingga prosedur dapat dimonitor dan
diperbaiki.
4.
Evaluasi komponen Produk/Output, digunakan
sebagai bahan pertimbangan menolong keputusan selanjutnya, merupakan kumpulan
deskripsi dan judgement dari outcomes, hubungan dengan konteks, masukan dan
proses dan kemudian diinterpretasikan harga dan jasa yang diberikan. Evaluasi
produk adalah evaluasi yang dilakukan dalam mengukur keberhasilan pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan, merupakan catatan pencapaian hasil dan
keputusan-keputusan untuk perbaikan pelaksanaan atau aktualisasi pengukuran
dikembangkan dan diadministrasikan secara cermat dan teliti. Keakuratan
analisis data akan menjadi acuan dalam penarikan kesimpulan dan pengajuan saran
apakah program diteruskan, dimodifikasi atau dihentikan. Evaluasi produk
merupakan tahap akhir, berfungsi untuk membantu penanggungjawab program dalam mengambil
keputusan. Dalam analisis hasil ini, diperlukan pembanding antara tujuan yang
ditetapkan dalam rancangan dengan hasil program yang dicapai. Pada dasarnya
mempertanyakan apakah sasaran yang ingin dicapai pada suatu program telah
tercapai. Hasil yang dinilai berupa grafik skor tes, presentasi, data
observasi, diagram data , sosiometri dan sebagainya yang masing-masing dapat
ditelusuri kaitannya dengan tujuan-tujuan yang lebih rinci. Evaluasi
produk/output pada penelitian evaluasi ini adalah hasil belajar warga belajar
pada ujian semester (ujian sumatif) dan persentase kelulusan warga belajar
dalam mengikuti Ujian Akhir Nasional. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin Abdul Jabar menyatakan bahwa Evaluasi Produk diarahkan pada hal-hal
yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi produk
merupakan tahap akhir dari serangkaian evaluasi program.[9]
Sedangkan menurut Djuju Sudjana Evaluasi Produk mengukur dan menginterpretasi
pencapaian program selama pelaksanaan program pada akhir program. Evaluasi ini
berkaitan dengan pengaruh utama, pengaruh sampingan, biaya, dan keunggulan
program, evaluasi produk melibatkan upaya penetapan criteria, melakukan
pengukuran, membandingkan ukuran keberhasilan dengan standar absolut atau
relative, dan melakukan interpretasi rasional tentang hasil dan pengaruh dengan
menggunakan data tentang konteks, input dan proses.[10]
B. Model Kirkpatrick
Kirkpatrick salah seorang ahli
evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal dengan istilah
Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan (training) menurut Kirkpatrick (1998) mencakup empat level evaluasi,
yaitu: level 1reaction, level 2 learning, level 3 behavior, dan level 4 result.
1. Evaluasi tahap 1 : Reaksi
(Reaction Evaluating).
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta
pembelajaran berarti mengukur kepuasan siswa. Pembelajaran dianggap efektif
apabila proses pembelajaran dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi siswa
sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan
kata lain siswa akan termotivasi apabila proses pembelajaran berjalan secara
memuaskan bagi siswa yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari siswa yang
menyenangkan. Sebaliknya apabila siswa tidak merasa nyaman terhadap proses
pembelajaran yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti
pembelajaran lebih lanjut. Partner (2009) mengemukakan “the interest, attention
and motivation of the participants are critical to the success of any training
program, people learn better when they react positively to the learning
environment”. Disimpulkan bahwa keberhasilan proses kegiatan pembelajaran tidak
terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi peserta pelatihan dalam mengikuti
jalannya kegiatan pembelajaran. Siswa akan belajar lebih baik manakala mereka
memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar. Kepuasan siswa dapat dikaji
dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia,
strategi penyampaian materi yang digunakan oleh guru, media pembelajaran yang
tersedia, waktu pelaksanaan pembelajaran, hingga gedung tempat pembelajaran
dilaksanakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk
angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif.
2. Evaluasi tahap 2 : Evaluasi Belajar (Learning Evaluating)
Kirkpatrick (1998:20) mengemukakan
“learning can be defined as the extend to which participans change attitudes,
improving knowledge, and/or increase skill as a result of attending the
program”. Terdapat tiga hal yang dapat guru ajarkan dalam pelaksanaan program
pembelajaran, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Siswa dikatakan telah
belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan
pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur
efektivitas program pelatihan maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan
keterampilan pada siswa maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian
evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output)
belajar. Oleh karena itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement)
berarti penentuan satu atau lebih hal berikut: a) pengetahuan yang telah
dipelajari, b) perubahan sikap, dan c) keterampilan yang telah dikembangkan
atau diperbaiki. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu
dibandingkan dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan
reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif.
Menurut Kirkpatrick (1998: 40), penilaian terhadap hasil belajar dapat
dilakukan dengan: “a control group if practical, evaluate knowledge, skill
and/or attitudes both before and after the program, a paper-and-pencil test to
measure knowledge and attitudes, and performance test to measure skills”.
Dengan demikian untuk menilai hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok
pembanding. Kelompok yang ikut pelatihan dan kelompok yang tidak ikut pelatihan
diperbandingkan perkembangannya dalam periode waktu tertentu. Dapat juga
dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dengan posttest, tes tertulis
maupun tes kinerja (performance test).
3. Evaluasi tahap 3 :
Tingkah Laku (Behavior Evaluating)
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah
laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian
sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada
saat kegiatan pembe;ajaran dilakukan sehingga lebih bersifat internal,
sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku siswa
setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga penilaian tingkah laku ini
lebih bersifat eksternal. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran dan kembali ke lingkungan mereka maka evaluasi
level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan
pelatihan.
4. Evaluasi tahap 4 : Evaluasi Hasil (Result Evaluating). Evaluasi
hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang
terjadi karena siswa telah mengikuti suatu program pembelajaran. Termasuk dalam
kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran diantaranya adalah
peningkatan hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan keterampilan
(skills). Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun
membangun teamwork (kerjasama tim) yang lebih baik. Dengan kata lain adalah
evaluasi terhadap impact program (pengaruh program). Tidak semua pengaruh dari
sebuah program dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu evaluasi level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada
level-level sebelumnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan
membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta pembelajaran, mengukur
kemampuan siswa sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran apakah ada
peningkatan atau tidak.[11]
C. Model Alkin/ UCLA
Model evaluasi ini dikembangkan
oleh Alkin ketika beliau menjabat sebagai ketua The Centre for the Study of
Evaluation di UCLA (University of Californiain at Los Angles). Alkin
mengembangkan alur evaluasi yang mirip dengan model CIPP. Alkin mengemukakan
lima macam evaluasi, yakni: System Assessment, Program Planning, Program
Implementation, Program Improvement, Program Certification.
1. Sistem
assessment,
yaitu untuk memberikan informasi tentang keadaan atau posisi dari suatu sistem.
2. Program
planning,
yaitu untuk membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil
memenuhi kebutuhan program.
3. Program implemantation, yaitu untuk
menyiapkan informasi apakah suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok
tertentu yang tepat sebagaimana yang direncanakan.
4. Program imporovement, yaitu memberikan
informasi tentang bagaimana suatu program dapat berfungsi, bekerja atau
berjalan. Apakah sesuai dengan pencapaian tujuan? Apakah hal-hal atau
masalah-masalah baru yang muncul secara tiba-tiba.
5. Program certification, yaitu memberikan
informasi tentang nilai atau manfaat suatu program.[12]
D. Model Brinkerhoff
Model O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan ada tiga jenis
evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama yaitu:
1.
Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun
secara sistemik-terstruktur sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian,
desain fixed dapat juga disesuaikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat
berubah. Desain evaluasi ini dikembangakn berdasarkan tujuan program, kemudian
disusun pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam
desain fixed ini, antara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan
menyiapkan instrumen, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil
evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Formative
vs Summative Evaluation
Istilah formatif dan sumatif pertama kali dipopulerkan oleh
Michael Scriven. Model ini menunjukan adanya tahapan dan lingkup objek yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan
(disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir
(disebut evaluasi sumatif).[13]
Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat dari fungsinya.
Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran,
sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan
pembelajaran secara menyeluruh. Artinya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran
memang bermanfaat bagi semua pihak yang terkait (terutama peserta didik) maka
kurikulum dan pembelajaran dapat dilanjutkan. Sebaliknya, jika hasil kurikulum
dan pembelajaran tidak mempunyai manfaat, maka kurikulum dan pembelajaran dapat
dihentikan.
3. Experimental
and quasi experimental design vs natural/ unobstrusiveinquiry
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan
kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan dan mengukur dampak,
tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan program pembelajaran.
Untuk itu, perlu dilakukan manipulasi terhadap lingkungan dan pemilihan
strategi yang dianggap pantas. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit
dilakukan karena pada umumnya proses pembelajaran sudah atau sedang terjadi.
Jika prosesnya sudah terjadi, evaluator cukup melihat dokumen-dokumen sejarah
atau menganalisis hasil tes. Jika prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat
melakukan pengamatan atau wawancara dengan orang-orang yang terlibat.
E. Model
Countenance
Model Countenance adalah model pertama evaluasi
kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian Countenance adalah keseluruhan,
sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable). Menurut
Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka
untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake
adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan
sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut, karena Stake melihat adanya
ketidak-sesuaian antara harapan penilai dan guru.
Penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama
hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian. Jadi, menurut
Porvus model Countenance Stake dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data
yang dikumpulkan dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan
oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa penilai harus mengumpulkan data
deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar siswa dan data pelaksanaan
pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, judgment data
harus dikumpulkan. Sedangkan menurut Howard, H (2008) evaluasi Stake’s
orientasinya adalah tujuan dan pendekatan mekanik dalam program pendidikan.
Oleh karena itu, Kemble & Charles (2010) mengatakan bahwa model countenance
stake sangat berpengaruh pada program pendidikan.
Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu
kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian “checklist, structured
visitation by peers, controlled comparisons, and standardized testing of
students” (Hasan, 2008, 207). Dalam hal checklist Shepard (1997) menyebutkan
bahwa terdapat lima ketegori yaitu:
1. Obyektivitas
atau tujuan evaluasi.
2. Spesifikasi
program meliputi filsafat pendidikan yang dianut pada mata pelajaran, tujuan
pembelajaran, dan lain sebagainya.
3. Outcome
program, seperti pengalaman belajar, pencapaian hasil siswa.
4. Hubungan dan
indikator mencakup kongruensi kenyataan dan harapan, kontingensi meliputi sebab
akibat.
5. Judgment
nilai.
Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa
model Countenance stake bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai
suatu yang mutlak. Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah
memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model
ini stake sangat menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan
kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi
pengukuran behavioristik dan kuantitatif.
Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks.
Matriks pertama dinamakan matriks deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks judgement. Matriks judgement baru dapat
dikerjakan oleh evaluator setelah matriks deskripsi diselesaikan. Matriks Deskripsi
terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi. Matriks Judgement terdiri atas
kategori standard dan judgement. Pada setiap kategori terdapat tiga fokus yaitu antecedents
(masukan) yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang mungkin
berhubungan dengan hasil, contohnya: latar belakang guru, Kurikulum yang sesuai,
Ketersediaan sumber daya, transaction (proses) yaitu pertemuan dinamis yang
merupakan proses instruksi (kegiatan, proses, dll), contohnya: interaksi guru
dan siswa, Komponen partisipasi, Outcomes (hasil) yaitu efek dari pengalaman
pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru,
Peningkatan kinerja.
1. Matriks
Deskripsi
Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan
pengembang kurikulum atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah
kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan.
Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang
dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan
keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu.
Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain
sebagainya dari peserta didik.
Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan
apa yang sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan pada kategori yang
pertama. Kategori ini juga sebagaimana yang pertama terdiri atas antecendents,
transaksi, dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data)
mengenai antecendents, transaksi, dan hasil yang ada di suatu satuan
pendidikan.
2. Matriks
Pertimbangan (judgement)
Terdiri atas kategori standard dan pertimbangan, dan
fokus antecendents, transaksi, dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar
adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang
dijadikan evaluan. Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki
kurikulum, tetapi dapat juga dari yang lain (pre-ordinate, mutually adaptive,
proses). Kategori kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki
evaluator melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori
yang pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks
Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan.
Keseluruhan matriks yang mendukung model Stake ini terdiri dari 12 kotak.
RASIONAL INTENTES OBSERVATIONS STANDARS JUDGEMENT
ANTECE
DENTS
TRANSAC
TIONS
OUTCOMES
DESCRIPTION MATRIX JUDGEMENT MATRIX
Berdasarkan gambar konsep evaluasi countenance di atas, penerapan
evaluasi model countenance dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai berikut:
Kategori
pertama dari matriks deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent)
pengembang program. Program adalah silabus atau rencana program pengajaran
(RPP) yang dikembangkan oleh guru. Seorang guru sebagai pengembang program
merencanakan keadaan (persyaratan) yang diinginkannya untuk suatu kegiatan di
kelas tertentu. Baik persyaratan tersebut berhubungan dengan peserta didiknya
seperti minat, kemampuan, pengalamannya, dan lain sebagainya yang biasa
diistilahkan dengan entry behaviors, ataupun persyaratan yang berhubungan dengan lingkungan di
kelas, yang kesemuanya dapat dicantumkan dalam antecedent yang direncanakan. Lebih lanjut, guru
tersebut merencanakan apa yang
diperkirakan
akan terjadi pada waktu interaksi di kelas, dan kemampuan apa yang diharapkan
dimiliki peserta didik setelah proses interaksi berlangsung.[14]
Kategori
kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan
pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan kedua dari
matriks deskripsi dan kategori pertama dari matriks pertimbangan. Evaluator
harus mengumpulkan data mengenai pertimbangan tersebut dari sekelompok orang
yang dianggap memiliki kualifikasi untuk memberikan pertimbangan tersebut.
Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu
program pendidikan kita, melakukan perbandingan yang relative antara satu
program dengan yang lain, atau perbandingan yang absolute (satu program dengan
standard).
Penekanan yang umum atau hal yang
penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang
program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description disatu pihak
berbeda dengan judgement (pertimbangan). Dalam model ini, Antecedents (masukan),
transactione (proses), dan outcome (hasil) data dibandingkan tidak hanya
untuk menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan sebenarnya, tetapi
juga dibandingkan dengan standard yang absolute, untuk menilai manfaat program.
Stake mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat diandalkan apabila tidak
dinilai.[15]
F. Model
Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi
yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah
buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi
terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar,
yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi
harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan
kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut.
Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi
kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan
tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini
adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan
sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus
mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum
berbasis kompetensi.
2.
Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan
kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama
supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang
dirancang kurikulum.
3. Menentukan
alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik.
Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara
dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan
reliabilitasnya.
4. Inilah
tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini
adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan
mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses
belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen
penting dari kurikulum. Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah
kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu
dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan
proses tidak menjadi fokus evaluasi.[16]
G. Goal Free evaluation Model (Model Bebas Tujuan)
Goal Free Evaluation Model adalah model
evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Dalam Goal Free Evaluation,
Scriven mengemukakan bahwa dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak
perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan
dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program,
dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh)
baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang
negatif (yang tidak diharapkan).
Evaluasi model goal free evaluation, fokus pada adanya perubahan
perilaku yang terjadi sebagai dampak dari program yang diimplementasikan,
melihat dampak sampingan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, dan
membandingkan dengan sebelum program dilakukan. Evaluasi juga membandingkan
antara hasil yang dicapai dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk program
tersebut atau melakukan cost benefit analysis.
Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena kemungkinan
evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing
tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi evaluator
lupa memperhatikan sejauh mana masing-masing penampilan tersebut mendukung
penampilan terakhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah
penampilan khusus ini tidak banyak bermanfaat. Dapat disimpulkan bahwa, dalam
model ini bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan
khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh
program, bukan secara rinci perkomponen yang ada.
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi
Judgement ataupun explanation dan evaluator yang merupakan pengambil keputusan
dan sekaligus penyedia informasi. Ciri – Ciri Evaluasi Bebas Tujuan yaitu
1. Evaluator
sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program.
2. Tujuan
yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan menyempitkan fokus evaluasi.
3. Evaluasi
bebas tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil yang
direncanakan.
4. Hubungan
evaluator dan manajer atau dengan karyawan proyek dibuat seminimal mungkin.
5. Evaluasi
menambah kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak diramalkan
Mungkin akan lebih baik apabila evaluasi yang berorientasi
pada tujuan dan evaluasi bebas tujuan dikawinkan,karena mereka akan saling
mengisi dan melengkapi. Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi yang
berorientasi pada tujuan,karena ia sulit menghindar atau mau tidak mau ia akan
mengetahui tujuan program,akan tidak pantas apabila ia tidak acuh. Menejer
progam jelas ingin mengetahui sampai seberapa jauh progam telah dicapai, dan
evaluator internal akan dan harus menyediakan informasi untuk menejernya.
Di samping itu, perlu diketahui bagaimana orang luar menilai
program bukan hanya untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, apa yang
dilakukan di semua bagian, pada semua yang telah dihasilkan, secara sengaja
atau tidak sengaja. Yang belakangan ini merupakan tugas operator bebas tujuan yang tidak mengetahui tujuan
program. Jadi, evaluasi yang berorientasi pada tujuan dan evaluasi bebas tujuan
dapat bekarja sama dengan baik.
Evaluasi bebas tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya
bukan pada hasil yang direncanakan.
Dalam evaluasi bebas tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk menambah
temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan.[17]
BAB III
PENUTUP
Decision Oriented evaluation Model atau Model
CIPP (Contex, Input, Proces, Product) adalah model evaluasi yang
dikembangkan oleh Danial Stufflebeam dan kawan-kawan di Ohio State University.
Evaluasi ini menitikberatkan pada penilaian program dan penyajian informasi
untuk pembuatan keputusan.
Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan
dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang
dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal dengan istilah Kirkpatrick Four Levels
Evaluation Model. Evaluasi ini adalah evaluasi program pelatihan (training).
Alkin mengembangkan alur evaluasi
yang mirip dengan model CIPP. Alkin mengemukakan lima macam evaluasi, yakni: System
Assessment, Program Planning, Program Implementation, Program Improvement,
Program Certification.
Model O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan ada tiga jenis evaluasi
yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama yaitu: fixed
vs emergent evaluation design, formative vs summative evaluation, experimental
and quasi experimental design vs natural/ unobstrusiveinquiry.
Model Countenance adalah model pertama evaluasi
kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian Countenance adalah keseluruhan,
sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable). Menurut
Provus (1972), Tujuan dari model Countenance Stake adalah melengkapi kerangka
untuk pengembangan suatu rencana penilaian kurikulum. Perhatian utama Stake
adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan
sifat data yang dikumpulkan. Hal tersebut, karena Stake melihat adanya
ketidak-sesuaian antara harapan penilai dan guru.
Goal Free Evaluation Model adalah model
evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Model ini mengemukakan bahwa dalam
melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan program.
DAFTAR PUSTAKA
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar, Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi
Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara), 2007.
Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan
Luar Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2006.
George F Madaus, Michael S Sriven dan Daniel L
Stufflebeam, Evaluation Models,: View point on Educational and Human
Services Educations (Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing), 1983.
Daniel L
Stufflebeam and Antony J Shinkfield, Sistematic Evaluation, A Self Instructional
Guide to Theory and Practice (Boston: Kluwer Nijhoff Publissing), 1968.
Farida Yusuf
Tayibnafis, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta), 2000.
Zainal Arifin, Evaluasi
Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2011.
[1] George F Madaus, Michael S Sriven dan Daniel L
Stufflebeam, Evaluation Models,: Viewpoint on Educational and Human Services
Educations (Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing, 1983), h.128
[2]Suharsimi
Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan Pedoman
Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h.
29
[3]Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan
Luar Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), h. 54-55
[4]Daniel L Stufflebeam and Antony J Shinkfield, Sistematic
Evaluation, A Self Instructional Guide to Theory and Practice (Boston:
Kluwer Nijhoff Publissing, 1968), h. 169-170
[5]Djuju
Sudjana, op.cit., h. 55
[6] Suharsimi Arikunto, Op.Cit,
h. 30
[7]Ibid, h. 30
[8] Djuju Sudjana, Op.Cit,
h. 56
[9] Suharsimi Arikunto, Op.Cit,
h. 30
[10] Djuju Sudjana, Op.Cit,
h. 56
[11]Riza Faishol, http://rizafaishol.blogspot.co.id/2010/11/evaluasi-model-kirkpatrick.html,
Rabu, 10 November 2010, diakses pada tanggal 21 April pukul 14.27 WITA
[12] Farida Yusuf Tayibnafis, Evaluasi
Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 15
[13] Zainal
Arifin, Evaluasi Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h.
74
[14] S. Hamid Hasan, Evaluasi
Kurikulum, (Bandung: Remaja rosda karya, 2008), h. 208
[15]Hakekat pendidikan, http://hakekat
pendidikan. blogspot.co.id/2011/10/ evaluasi kurikulum-model countenance.html,
Selasa, 25 Oktober 2011, diakses pada tanggal 21 April 2016 pukul 14.36 WITA
[16] Erlina Yuanita, http://elinayuanita.blogspot.co.id/2013/01/model-black-box-tyler.html, Kamis 03 Januari 2013, diakses pada tanggal 21 April
2016 pukul 14.03 WITA
No comments:
Post a Comment